Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Esai Budaya

Anjing di Meja Makan


					Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Aku ini bukan binatang jalang

aku ini hanya kewan omahan

teman manusia dalam kesepian.

(“Kutukan Asu”, Gabriel Possenti Sindhunata)

 

Setahun lalu, polisi mencegat sebuah truk di gerbang tol Kalikangkung, Semarang. Kendaraan itu diamankan petugas lantaran mengangkut ratusan anjing yang hendak dibawa ke tempat jagal. Warganet memuji aksi polisi dan mendorong agar pelaku diganjar hukuman. Media menulis berita tersebut sebagai “upaya penyelamatan” seakan-akan anjing-anjing itu tawanan. 

Lalu, kabar peredaran daging anjing kembali mencuri perhatian publik. Aktivis dan pencinta binatang menggelar aksi, mendesak pemerintah melarang perdagangan daging anjing di Indonesia. Hasilnya, beberapa daerah menerbitkan surat edaran terkait perdagangan daging anjing. Para pedagang turun ke jalan, menuntut keadilan. “Kalau memotong anjing itu kejam, kenapa memotong sapi dan hewan lainnya tak dipermasalahkan?” Protes mereka. “Yang namanya membunuh, semuanya kejam.” 

Mengonsumsi daging anjing telah lama memicu kontroversi di dunia internasional. Sebagian warga di beberapa negara, seperti Tiongkok dan Korea Selatan, jelas-jelas makan anjing. Begitu juga di Indonesia. Konsumsi daging anjing lazim di beberapa suku. Batak dan Minahasa, misalnya. Jika jalan-jalan ke Yogyakarta, mungkin kalian akan menemukan warung yang menjual sengsu alias “tongseng asu”. Meski begitu, mayoritas orang ogah menyantap daging anjing di meja makan. Bagi banyak orang, anjing bukan hewan yang wajar dimakan. Sama halnya dengan biawak, musang, dan ular. 

Menengok posisinya di piramida makanan, anjing menempati trofik tiga sebagai konsumen sekunder. Oleh karena itu, anjing tak mengandung energi sebanyak sapi atau kambing yang merupakan konsumen primer. Secara ekologis, anjing tak cocok menjadi asupan nutrisi. Dan tampaknya, jalur evolusi anjing tidak menuntunnya ke atas piring makan kita.

Ribuan tahun lalu, anjing didomestikasi dari moyangnya, serigala. Manusia menjinakkan hewan itu dan mengangkatnya sebagai rekan berburu, sebuah simbiosis mutualisme yang akhirnya memisahkan anjing dari sang leluhur. Seperti yang dikisahkan dalam Alpha. Di film tersebut, Keda, seorang pemburu pengumpul muda, cemas kala dirinya dikerubungi sekawanan serigala. Bahkan saat ia berhasil melumpuhkan seekor dari mereka, dalam kondisi kepepet pun, ia tak tergoda memotong hewan itu dan memanggangnya di atas bara api. Sejak awal, manusia tahu bahwa anjing bukan makanan. Di sabana, bahkan singa enggan memangsa anjing liar. Tradisi makan anjing, saya pikir, merupakan produk budaya alih-alih kecenderungan alami.

Dalam lintasan sejarah Homo sapiens, binatang karnivora tak lazim dimakan. Meski begitu, agaknya, anjing merupakan kekecualian. Orang-orang Aztek kuno, lantaran miskinnya kandidat hewan domestik lokal, konon menyantap daging anjing sebagai asupan protein. Kondisinya tentu berbeda dengan masa kini, di mana orang bisa dengan mudah menemukan sumber protein hewani. Jared Diamond, dalam Guns, Germs, and Steel, menulis bahwa masyarakat manusia yang diberkahi bermacam-macam mamalia herbivora domestik tidak perlu repot-repot makan anjing.

Namun, bagi penikmatnya, makan daging anjing bukan soal tuntutan perut belaka. Daging anjing diyakini memiliki khasiat khusus, mulai dari obat mujarab hingga urusan syahwat. Ada dugaan bahwa awalnya manusia menyantap anjing untuk mengurangi populasi hewan tersebut. Boleh jadi, anjing yang mulanya rekan kerja mulai dipertimbangkan untuk dimakan setelah manusia meninggalkan cara hidup berburu.

Jonathan Foer menilai daging anjing sah-sah saja dikonsumsi. Baginya, jika dimasak dengan baik, daging anjing sama amannya dengan daging sapi. Karena anjing ada di mana-mana, pemikir Amerika itu bahkan berpendapat bahwa daging anjing bisa menjadi solusi dari masalah pangan global. “Anjing malah seperti meminta dimakan,” tulis Foer dalam bukunya, Eating Animals. Meski demikian, makan anjing tetap aneh bagi mayoritas orang. Dari sekian alasan, akhirnya persoalan etika menjadi rintangan utama mengapa orang-orang enggan mencicip daging anjing.

Sejumlah kisah menceritakan persahabatan antara anjing dan manusia. Karena dianggap teman, otomatis kita berpikir bahwa anjing patut diperlakukan secara etis. Anjing-anjing yang akan dijagal kerap disiksa. Mereka ditangkap dari jalanan, dimasukkan ke dalam karung, digebuki, atau disulut api. Dari sudut pandang mana pun, perlakuan semacam itu sulit diterima. 

Di era Antroposen, manusia memanfaatkan binatang demi kepentingannya belaka dan sering kali seenak jidat. Hewan dianggap makhluk inferior, bodoh, dan tak dapat berpikir. Kita tak segan-segan mengatai orang lain binatang saat berhadapan dengan tabiat buruk mereka. Karena dianggap tak berakal budi, binatang tidak layak menerima moral, seperti yang diyakini Immanuel Kant. Mereka dianggap “tak ada” karena “ada” hanya untuk entitas yang berpikir. Nalar antroposentris mencegah kita melekatkan posisi etis yang sama antara anjing dan manusia.

Jika Kant bersikap masa bodoh terhadap binatang, seorang filsuf lainnya memiliki pandangan yang lebih welas asih. Jeremy Bentham menganggap gagasan tentang yang etis hanya patut bagi entitas rasional itu absurd. “Pertanyaannya bukan ‘Dapatkah mereka berpikir?’ atau ‘Dapatkah mereka bicara?’ melainkan ‘Dapatkah mereka menderita?’,” tulisnya. Saya curiga, jangan-jangan Bentham penganut vegan.

Mengonsumsi dan menyiksa hewan merupakan dua hal yang berbeda. Dalam kasus daging anjing, hewan-hewan malang itu tidak sekadar dibunuh, tapi juga disiksa. Agama menganjurkan kita untuk mengakhiri hidup hewan konsumsi dengan cepat, tapi anjing-anjing itu dijagal dengan keji. Namun, perlakuan kejam tersebut saya pikir bukan tanpa alasan. Para pedagang tidak punya pilihan.

Tak seperti sapi, anjing merupakan predator dengan taring tajam dan rahang kuat. Gigitannya menyebabkan luka yang dapat menjadi pintu bagi virus dan bakteri. Begitulah anjing dan hewan karnivora lain mestinya tak masuk ke dalam daftar menu kita. Seperti yang diyakini Diamond, herbivora domestiklah yang menyokong peradaban umat manusia.

Maka, menangkap dan menahan anjing untuk disembelih jelas bukan perkara sederhana. Lebih-lebih, gelombang adrenalin dalam tubuh anjing saat ketakutan dipercaya menambah cita rasa. Jadi, memperlakukan anjing sebagaimana sapi di rumah jagal tampak mustahil. Kendatipun dagingnya dimasak dengan baik dan aman dikonsumsi, tidak dengan prosesnya. Perdagangan daging anjing tetap berpotensi menyebarkan rabies. Larangan peredarannya tidak hanya demi kesejahteraan satwa itu, tapi juga manusia.

Kalaupun alasan moral terasa bias—saya mendengar seseorang berbisik, ”Tapi kejam atau tidak, itu kan standar kita sebagai manusia?”—pertimbangan klinis mestinya cukup untuk menyadarkan orang bahwa anjing tak patut tersaji di meja makan. 

Penjagalan anjing yang barbar harusnya menggugah empati kita. Bagaimanapun, anjing juga bisa merasakan sakit. Mereka punya nosireseptor, sama seperti kita. Dengkingan mereka saat dipukul, digantung, atau disekap dalam karung bukan sekadar bunyi. Mungkin mereka “mengatakan” sesuatu. Anjing menggonggong, tapi kali ini kafilah tak boleh berlalu.

 

Asief Abdi adalah seorang naturalis.

 

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

17 September 2025 - 12:00 WIB

Banyak dibaca di Esai Budaya