Mengapa banyak maut dalam ceritamu? Pertanyaan itu ditujukan kepada saya oleh sang moderator kala membahas Akhir sang Gajah di Bukit Kupu-kupu. Saya terhenyak mendapatkan pertanyaan semacam itu. Saya tidak merasa menyematkan begitu banyak kematian. Namun, ketika satu demi satu judul ia dedahkan, yang memang di dalamnya tersematkan kematian, atau setidaknya sesuatu yang mengarah pada maut seperti luka, trauma, dan kebrutalan lainnya, saya tak bisa mengelak.
Meski begitu, saya tak bisa menyebutkan alasan pasti mengapa saya menulis demikian. Agaknya, segala tetek-bengek kematian itu hadir dari alam ketaksadaran yang terkatarsiskan ke permukaan. Toh, saya tak sendiri. Banyak penulis-penulis lain yang melakukan hal serupa: menyematkan kematian, baik secara harfiah maupun kiasan.
Untuk ini, mari kita mengintip karya Haruki Murakami dan Sayaka Murata. Keduanya adalah penulis Asia Timur favorit saya. Dalam karya-karyanya, Haruki Murakami sering menghadirkan kematian yang sesungguhnya. Misalnya Naoko yang bunuh diri dalam Norwegian Wood. Kematian ini mengguncang Watanabe secara emosional dan menghadapkan ia pada momen-momen keheningan. Namun, bersebab itu, ia melakukan perjalanan “spiritual” yang membuatnya mempertanyakan arti kehidupan. Bisa dibilang, bagi Haruki, kematian menjadi gerbang bagi manusia untuk mencari kebermaknaan.
Tak seperti Haruki, Sayaka Murata menyajikan kematian secara kiasan. Bukan kematian tubuh, tetapi kematian eksistensial. Keiko Furukura, tokoh dalam Gadis Minimarket, mati secara sosial. Ia menolak segala dorongan kehidupan seperti cinta, seksualitas, dan reproduksi. Ia juga menolak obsesi akan karier. Ia lebih memilih kehampaan dan ketiadaan eksistensi sebagai manusia. Ia memilih menjadi figuran, atau bahkan latar yang buram dan transparan. Menjadi protagonis dalam kisah hidup, baginya terlalu melelahkan.
Bersebab itu, hidup minimalis dan melewatkan jam-jam hidupnya melalui kegiatan yang repetitif dan membosankan adalah pilihan baginya. Tak bisa ditawar lagi. Bahkan, bila memungkinkan, bisa jadi ia lebih memilih menjadi sosok anorganik, seperti kerikil kecil tanpa nama yang bisa terbaring tenang di depan minimarket. Namun, berkat “kematian” itu, ia mampu menjalani kehidupan yang melelahkan ini, tanpa harus menyesuaikan diri dengan ekspektasi manusia lain.
Banyak penulis sastra lain di dunia, baik belahan timur maupun barat, yang menghadirkan maut, apa pun jenisnya: harfiah atau metaforis. Meski begitu, hadirnya maut ini tak pernah berdiri sendiri sebagai unsur murni. Kerap kali bertautan dengan cinta. Mengapa begitu? Untuk memahami ini, kita harus memutar waktu ke 1920, ketika Freud mengajukan teorinya melalui risalah Beyond the Pleasure Principle.
Freud berpostulat bahwa naluri manusia terbagi menjadi dua: dorongan hidup, yang ia sebut sebagai eros, dan dorongan mati—yang kemudian ditahbiskan menjadi thanatos oleh psikoanalis setelahnya.
Konsep yang pertama, yaitu eros, yang diambil dari nama dewa cinta, terkait insting melestarikan diri. Tujuannya untuk mempertahankan keberadaan individu atau spesies atau gen. Ini mengingatkan kita pada postulat Richard Dawkins yang mengamini perihal keegoisan gen untuk menempuh segala cara demi kesintasannya.
Bersebab itu, bentuk dorongan ini bisa bermacam-macam. Cinta dan seksualitas termaktub di dalamnya. Meski begitu, dorongan ini bisa juga diperluas menjadi segala daya upaya tubuh untuk memperpanjang dan memperluas kehidupan, seperti membangun komunitas dan menulis buku demi keabadian.
Sedangkan konsep kedua, thanatos, yang diambil dari nama dewa kematian, adalah “dorongan brutal” untuk mereduksi kondisi hidup menjadi tidak hidup. Bentuknya bisa berupa agresi, dorongan untuk menghancurkan, dan mengulang-ulang trauma; baik ke luar (ke orang lain, seperti sadisme atau pembunuhan) maupun ke dalam (ke diri sendiri, seperti masokisme atau upaya bunuh diri).
Tindakan itu bukannya tak beralasan. Menurut Freud, inti dari semua itu adalah harapan sapiens untuk kembali ke bentuk asalinya yang anorganik. Bukankah manusia awalnya hanyalah sekumpulan debu kosmis anorganik yang kemudian menjadi unsur organik? Karena itu, manusia rindu menjelma menjadi unsur-unsur yang tak hidup, menjadi karbon, nitrogen, atau oksigen yang gentayangan di ruang hampa.
Meski eros dan thanatos tampak paradoksal, sesungguhnya keduanya selalu hadir bersama dalam sebuah persenyawaan. Keduanya bukanlah dua energi yang terpisah, melainkan sisi psikis yang sama. Semisal cinta, tak pernah hadir murni. Tai kucing pernyataan bahwa cinta tak harus memiliki. Cinta selalu hadir dengan keinginan untuk menguasai secara eksklusif yang seringkali berdampingan dengan rasa cemburu dan agresi untuk mengendalikan objek cinta.
Keduanya pun terhubung secara dialektis. Tanpa eros, tidak ada dorongan untuk mempertahankan hidup, mencipta, atau terhubung dengan orang lain. Pun tak akan ada cinta, seks, atau reproduksi. Manusia akan jatuh dalam kehampaan. Satu-satunya yang bakal ia rindukan hanyalah kembali ke kondisi anorganik alias maut.
Sementara itu, tanpa thanatos, tanpa ketakutan akan maut, hidup yang abadi itu akan kehilangan urgensi. Tak ada makna yang dicari. Hidup terasa hambar tanpa ketegangan eksistensial, pun dangkal tanpa kedalaman. Dan karenanya, seni bisa jadi tanpa “rasa” atau bahkan tiada, bersebab karya seni, seperti sastra, musik, dan lukisan, kerap hadir dari kesadaran akan kehilangan, penderitaan, dan kematian.
Bersebab itu, eros dan thanatos mutlak ada, sebab manusia mencinta karena sadar akan kefanaannya, membangun karena sadar akan keruntuhan, dan mencipta karena tahu suatu saat eksistensinya akan lenyap.
Meski begitu, kita patut menyadari bahwa thanatos bukanlah lawan dari eros. Maut bukanlah paradoks dari cinta. Kematian bukanlah antipoda dari kehidupan. Untuk terus hidup, kita butuh maut. Sains, tepatnya, biologi, punya bukti empiris.
Mari kita berkenalan dengan apoptosis, sebuah kematian sel terprogram. Tak seperti nekrosis, kematian yang diinduksi proses eksternal, apoptosis terjadi melalui kaskade yang berasal dari internal korpus sel sendiri. Di sini, sel memutuskan bahwa ia akan mati dengan tenang, dengan cara yang damai dan tertata. Karena telah terprogram dari awal, tak ada huru-hara yang terjadi, dan dengan demikian tak ada reaksi keradangan di sekitar sel yang mati bunuh diri itu.
Keteraturan ini bisa kita lihat dari prosesinya yang tenang. Tak ada kerusakan membran. Sel hanya menyusut. Di tataran inti, terjadi fragmentasi DNA, kondensasi kromatin, dan pemadatan sitoplasma yang terjadi secara harmonis dan sentosa. Lantas, perlahan-lahan, membran plasma mengalami penojolan-penonjolan (blebbing) sehingga inti sel pun terpecah. Selanjutnya sel tersebut mengasingkan diri dari sel sekitar, lantas berubah menjadi fragmen dengan sitoplasma dan organela yang memadat. Di akhir prosesi yang syahdu itu, sel melepaskan sinyal-sinyal yang segera ditangkap oleh makrofag, sang pelahap maut. Tanpa ba-bi-bu, ia akan melahap fragmen ini hingga tuntas. Bukankah sebuah kematian yang hening tanpa drama?
Namun, akankah kematian ini sia-sia? Tidak. Sebaliknya, kematian sel ini sangat krusial bagi tubuh. Apoptosis ini seperti malaikat penjaga kesetimbangan dalam tubuh. Sel-sel darah merah kita akan mati setiap 120 hari untuk digantikan sel-sel yang lebih muda. Selaput di antara jari-jari kita, yang tumbuh saat kita serupa kadal dalam uterus, hilang karena prosesi ini sehingga kita tak mirip manusia katak. Dan karena apoptosis pula, kita tak jadi manusia pohon yang setiap musim bertambah ketebalan kulitnya karena epidermis kita mengalami apoptosis.
Bayangkan bila apoptosis ini terhambat. sapiens bakal menjelma makhluk hibrida sepertiga manusia dan sisanya katak, pohon yang bisa bicara seperti “eyang” Willow dalam Pocahontas, serta penderita kanker. Sejatinya, kanker tak lain dan tak bukan, adalah sel-sel yang menolak mati terencana, dan bertekad untuk terus belia, dan gemar bertamasya ke organ-organ lain yang sesungguhnya tak sudi dihinggapi mereka.
Maka, bukankah apoptosis ini sebuah prosesi kematian yang indah? Sebuah persembahan kecil agar tubuh tetap berada dalam sebuah kesetimbangan. Bukankah ini begitu identik dengan thanatos, naluri maut yang sesungguhnya memang ada dalam diri setiap manusia? Bisa dibilang, bahwa thanatos hanyalah tarian ritmis tubuh yang perlahan-lahan menuju keadaan anorganik.
Namun, ini bukan sekadar kembali ke ketiadaan. Kematian yang indah ini berujung pada terbukanya ruang bagi kehidupan baru dan keberlangsungan kehidupan yang lebih besar, yaitu tubuh. Maka, bisa disimpulkan, bahwa thanatos hadir demi eros.
Lantas, bagaimana eros di tingkat seluler? Untuk ini, kita perlu tahu tabiat sel. Tatkala mempelajari ilmu medis, saya menyadari bahwa sel tak ubahnya diri kita dalam bentuk mikroskopis. Sel pun punya dorongan untuk hidup, berkembang, dan terhubung. Kamu akan takjub bila mengetahui bagaimana antarsel mengirim sinyal, baik berupa hormon maupun neurotransmiter, seperti kita saling mengirim pesan elektronik satu sama lain. Melalui perpesanan itu, maujud kerja sama tingkat seluler. Bukankah ini serupa dengan manusia yang selalu ingin terhubung dengan manusia lain, yang pada akhirnya terikat dalam komunitas tertentu?
Dorongan untuk hidup bisa juga dilihat dari upaya sel untuk terus bertahan. Di tingkatan seluler, saat terjadi kerusakan, semisal pada DNA, tubuh akan melakukan perbaikan terus menerus sampai beres. Sedangkan di tingkatan yang lebih tinggi, tubuh melakukan serangkaian kompensasi bila terdapat usikan pada kesetimbangan. Misalnya, pada tubuh yang mengalami perdarahan masif, seluruh organ bekerja sama untuk melawan maut. Jantung akan makin aktif memompa darah, yang berakibat peningkatan denyut jantung, sebagai upaya untuk mengirimkan suplai oksigen ke organ-organ vital seperti otak. Bukankah upaya tubuh untuk bertahan ini sangat “eros”?
Eros juga bisa kita saksikan pada upaya sel-sel ini untuk selalu tumbuh dan berkembang. Karenanya, sel membelah diri, menggandakan dirinya secara utuh. Ini disebut sebagai proses mitosis. Sel-sel yang telah mati, digantikan sel-sel baru, seperti yang terjadi pada kulit arimu, pada vili-vili ususmu, pada sel-sel darahmu.
Di tingkatan lain, naluri untuk keabadian ini dilayani oleh proses meiosis. Bila Freud masih hidup saat ini, mungkin ia akan menyebut ini sebagai puncak eros biologis. Bagaimana tidak? Sel tidak sekadar memperbanyak diri sendiri untuk menghasilkan sel yang identik seperti pada proses mitosis, tetapi melakukan pengorbanan: memotong setengah kromosomnya untuk menghasilkan sel germinal, baik ovum atau pun spermatozoa—demi membentuk individu baru.
Ketika dua sel germinal yang berbeda ini, yang mengandung kromosom x atau y, melakukan prosesi penyatuan, hadirlah individu baru. Di sini, eros tak hanya berupaya melanjutkan kehidupan, tetapi melakukan kreativitas biologis untuk menciptakan entitas baru demi mencapai keabadian genetika.
Terkait penerusan informasi genetika ini, Richard Dawkins menyadari betapa gen—dengan keegoisannya—mampu memanipulasi manusia untuk melanggengkan keberadaannya melalui mekanisme bernama “cinta”. Agar sepasang manusia mau menyatukan setengah informasi genetikanya itu, manusia harus dibuat bodoh. Dan ini dalam artian sebenarnya.
Prosesi reproduksi sesungguhnya hal yang merepotkan. Butuh waktu dan energi yang tidak sedikit. Apalagi bagi mamalia betina. Setelah koitus, ia diminta kerelaannya untuk “mendestruksi tubuhnya” demi kehidupan baru. Tak hanya menginvestasikan tubuh, lewat mengandung dan menyusui, ia juga diminta menginvestasikan waktu dan keberadaannya hingga entitas baru itu mencapai kemandirian. Induk kucing mungkin sudah bisa bersantai ketika sang anak telah mampu menerkam belalang atau burung liar. Akan tetapi, induk manusia tak seberuntung itu. Masa kanak-kanak secara umum berlangsung dari lahir hingga usia 18 tahun. Setidaknya begitu menurut hukum Indonesia, dan 19 tahun bila merujuk pada definisi WHO. Maka, bisa dibayangkan berapa tahun waktu yang terkorbankan untuk mengasuh anak-anak manusia itu hingga mandiri?
Bersebab itu, mamalia butuh iming-iming agar bersedia menjalani prosesi perbanyakan spesies ini dan juga masa pemeliharaan sang anak. Tak lain dan tak bukan adalah kenikmatan persetubuhan. Dan karena pihak sapiens betina bakal harus berkorban lebih banyak, agaknya ia diberi iming-iming lebih besar: multiorgasme.
Akan tetapi, dalam hal kenikmatan ini, sapiens agaknya tak ingin disamakan dengan mamalia spesies lain terkait persenggamaan. Entah mendapat wangsit dari mana, manusia menganggap koitus yang biologis ini sebagai hal yang kotor dan rendah, dan karenanya butuh dipoles sehingga tampak agung dan indah. Untuk itu, prosesi percumbuan sebelum mengarah pada koitus ini mereka namai “jatuh cinta”. Meski tampak absurd dan di luar logika, sesungguhnya, kinerjanya sangat biologis dan bisa dijelaskan secara nalar.
Semua bermula ketika manusia menjumpai objek cinta. Target yang dituju biasanya memiliki kualitas unggul yang terwartakan secara visual, auditori, penghiduan, hingga perabaan. Sebut saja wajah yang cakep, suara yang merdu, aroma tubuh yang aduhai, hingga kulit yang halus dan lembut. Semua itu sesungguhnya anasir dari kesehatan dan kekuatan individu, sesuatu yang menentukan kesintasan spesies di dunia yang kompetitif ini. Sosok yang memiliki kualitas superior tersebut diharapkan memiliki sel gamet yang bermutu tinggi pula.
Begitu objek cinta telah “dikunci”, otak, tepatnya ventral tegmental area, melalui jalur mesolimbik, menghasilkan dopamin. Neurotranmitter ini kemudian merendam korteks pre frontal—yang merupakan pusat pengambilan keputusan dan kontrol kemampuan rasional. Hasilnya? Aktivitas korteks pre frontal pun anjlok sehingga kemampuan manusia berlogika menjadi jeblok. Tepatnya, manusia menjadi bebal, dalam artian sesungguhnya.
Mekanisme ini penting, agar manusia memandang targetnya “sempurna” dan segera bersenggama. Sebab, bila kemampuan rasional ini tetap utuh, tentu sapiens akan pilih-pilih dalam waktu lama, sehingga persentase terjadinya persenggamaan akan turun. Celakanya, dopamin—yang efeknya seperti candu—ini akan nongkrong di prefrontal korteks cukup lama sehingga menimbulkan efek adiksi. Pada fase ini, akan terjadi euforia sehingga manusia makin gigih mengejar objek cinta.
Di sisi lain, serotonin di awal fase eros akan turun. Hormon yang diproduksi di raphe nuclei batang otak ini berfungsi meregulasi mood atau mengontrol impuls. Fungsinya sebagai inhibisi atau rem bagi emosi kita. Bisa dibayangkan, ketika kadarnya anjlok, manusia akan mengalami lingkaran obsesif, seperti selalu memikirkan objek cinta dan kehilangan kosentrasi. Manusia pro-romantisme menyebutnya kerinduan.
Fase ini membuat sapiens akan berupaya sekuat tenaga—atau kompulsif—untuk berdekatan atau memiliki keterhubungan dengan objek cinta. Tujuannya untuk meredakan ketegangan atau obsesi tersebut. Selama keterhubungan itu belum tercapai, ia akan terus menerus berada dalam lingkaran kerinduan tak berujung.
Katakanlah, akhirnya, demi meredakan kutukan kangen itu, akhirnya keduanya bersentuhan. Entah melalui genggaman tangan atau cipokan. Ketika telah terjadi kontak fisik semacam itu dengan objek cinta, hormon yang lain mulai dilepaskan: oksitosin. Celaka, hormon ini bekerja tak ubahnya lem super. Bersebab itu, timbul kelekatan, rasa aman, dan kenyamanan yang mempererat ikatan keduanya, yang berujung pada upaya mempertahankan kelekatan tersebut.
Jejak kinerja ketiga neurotransmiter dalam menciptakan eros begitu mudah kita temukan dalam karya sastra. Pun dalam menciptakan thanatos, seperti pikiran obsesif dan kecemburuan yang menyiksa. Mari kita segarkan ingatan kita tentang Romeo dalam karya Shakespeare yang kehilangan hampir seluruh kemampuan berpikir logisnya hanya karena Juliet. Juga bagaimana ia kecanduan akan Juliet sehingga membuatnya terjerumus dalam rindu yang begitu ngilu dan asmara yang begitu membara. Dan puncaknya, kita lihat persenyawaan total antara eros dan thanatos dalam adegan puncak: Romeo yang memilih meminum racun karena rasa cintanya kepada Juliet, dan Juliet yang menusuk tubuhnya sendiri dengan belati Romeo karena tak sanggup hidup tanpa Romeo.
Jejak eros dan thanatos dalam karya sastra agaknya bukan sekadar tema, melainkan lebih dari itu. Keduanya bisa menjadi bahan bakar bagi ritus berkarya para pengarang. Misalnya saja, saya menduga thanatos-lah yang lebih dominan mendorong Hemingway berkarya. Sebagai penyintas perang dunia I dan II, ia menyaksikkan pelbagai kekerasan, penderitaan, dan absurditas perang. Ia bahkan mengalami sendiri kebrutalan itu: terluka parah akibat ledakan mortir. Pengalaman ketubuhannya, juga trauma yang mengendap agaknya ia sublimasikan dalam karya-karyanya seperti A Farewell to Arms, For Whom the Bell Tolls, dan Across the River and Into the Trees.
Sedangkan Dee Lestari, saya menduga, eros-lah yang lebih mendorongnya untuk berkarya. Terkaan saya ini bukannya tanpa alasan. Karya-karya Dee banyak mengusung perihal kasih, upaya untuk terus bertumbuh, hingga keterhubungan dengan semesta lewat laku spiritualitas. Ini bisa dilihat dari karya-karya, mulai dari Supernova seri pertama, Putri, Kesatria, dan Bintang Jatuh, hingga karya terakhirnya yang saya baca, Rapijali dan Aroma Karsa.
Jadi, kembali ke pertanyaan di awal esai ini: mengapa banyak kematian di cerita saya? Agaknya sekarang saya bisa menjawab dengan mantap: karena thanatos-lah yang menggerakkan saya menulis. Dengan dorongan itu, saya menyublimasikan insting destruktif di sel kelabu saya ke dalam baris-baris naratif yang brutal dan gelap. Meski begitu, bukankah pada akhirnya dorongan maut yang tersublimasi melalui sastra ini melakukan penyelamatan bagi saya, dan juga bagi pembaca yang merasa tersuarakan? Lantas, tidakkah penyelamatan diri ini sangat eros? Meski diawali dengan thanatos, pada akhirnya, sastra membawa saya menuju eros. Kepada cinta.
Pada akhirnya, eros dan thanatos memang tak bisa berdiri sendiri-sendiri sebagai unsur murni. Keduanya berkelindan, menjadi untaian yang tak bisa dipisahkan. Dalam teks, keduanya tarik menarik, sehingga menyajikan ruang perenungan bagi pembaca. Begitu juga sebaliknya, sastra menjadikan eros dan thanatos sebagai mesin naratif untuk menyajikan paradoks dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, persenyawaan eros dan thanatos mutlak adanya, tanpa bisa dipisahkan, karena tanpa keduanya tak akan ada manusia, dan … tak akan ada cerita.
Sasti Gotama adalah dokter dan penulis. Ia menerima penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa, Hadiah Sastra Rasa, dan Anugerah Sabda Budaya.
Editor: Ikrar Izzul Haq