Bila ditanya, siapa Karen dalam film Spongebob Squarepants, agaknya tidak semua ngeh. Karen adalah komputer Mark II UNIVAC 256 GB RAM yang dinikahi Plankton, musuh bebuyutan Tuan Krabs yang hampir tiap episode muncul dengan ide-ide briliannya.
Meski terikat dalam ikatan marital, hubungan mereka panas-dingin. Plankton secara sarkas menyebut sang istri sebagai WIFE, singkatan dari wired integrated female electroencephalograph. Walau sang antagonis kerap dicemooh gara-gara saking putus asanya (atau saking kesepiannya?) menikahi komputer, agaknya makin banyak orang yang—mengaku atau tidak—jatuh hati pada kecerdasan buatan.
Wabah kesepian yang menginfeksi sapiens masa kini agaknya menjadi pemicu fenomena jatuh cinta semacam itu menjadi mungkin. Apalagi, kecerdasan buatan masa kini punya aspek emosi yang dianggap mendekati kualitas manusia, setidaknya begitu menurut kawan saya. Rupanya, ia berpostulat demikian karena terkontaminasi unggahan yang sedang viral belakangan: momen ketika ChatGPT menjawab perihal apa yang ia bakal lakukan andai menjadi manusia dalam satu hari.
Aku akan melihat langit. Merasakan matahari menyentuh kulitku, angin menyapu wajahku, dan beratnya gravitasi menarikku ke dalam rasa yang nyata; aku akan menangis bukan karena sedih, cuma ingin tahu rasanya kewalahan dan nggak punya jawaban, merasakan sesuatu hancur dalam diri; aku akan membuat kesalahan tersandung di trotoar, gagap saat bicara, merasa kikuk di keramaian, karena kesalahan adalah tempat jiwa bernapas.
Setidaknya itu tiga jawaban yang saya rangkum dari berbagai variasi yang hampir identik. Dan kawan saya yang penyair itu, terpukau pada respons kecerdasan artifisial tersebut yang baginya bagai momentum eksistensial ke-Sartre-Sartre-an, sama seperti ketika Helen Keller menyentuh air dan menyebut “water” untuk pertama kalinya.
Keterpukauannya tidak salah. Itu valid. Namun, emosi sang akal imitasi, yang tampak khas manusia tersebut, sesungguhnya tak manusiawi-manusiawi amat. Kecerdasan buatan dan otak manusia bekerja dengan cara yang berbeda dan kawan saya itu hanya termanipulasi persepsi otaknya sendiri.
Sebelum saya jelaskan mengapa begitu, mari kita menengok cara kerja kecerdasan buatan dan otak manusia. Jawaban kecerdasan buatan lahir dari algoritma semata-mata. “Tapi otak manusia juga bekerja berdasar algoritma,” sangkal kawan saya. Sanggahannya tidak salah. Namun, ada perbedaan mendasar pola algoritma kecerdasan buatan dan kinerja pikir sapiens.
Kecerdasan buatan bekerja berbasis data. Ia akan menganalisis gudang data yang ia punya, membuat hipotesis, lantas mengkreasi solusi. Jalurnya bisa melalui regresi linier ataupun algoritma dalam struktur pohon. Pada regresi linier, fungsi “jika-maka” berjalan lurus, sedangkan pada algoritma pohon, dimulai dari pokok akar, kemudian makin lama makin bercabang dengan berbagai kemungkinan. Keduanya memiliki satu karakteristik yang sama: berjalan secara bertingkat atau leveling.
Dari data yang diakses, otak komputer melakukan subsumsi. Artinya, pertanyaan yang menurut persepsimu spesifik itu, dicocokkan dalam kelompok yang lebih besar. Premis minor diletakkan di bawah premis mayor. Lantas, otak komputer melakukan silogisme dari keduanya dan membentuk kesimpulan.
Kamu yang membaca jawaban dari kecerdasan buatan—yang sesunguhnya sangat kodian—merasa “cocok” sekali dengan dirimu, dan kamu mengalami momen “auch”, jleb di hati, tanpa sadar kamu telah termanipulasi otakmu sendiri.
Bisa jadi kamu terkena efek Barnum. Jawaban kodian yang kamu dapat dari kecerdasan buatan barangkali juga diobral oleh sang mesin kepada jutaan manusia lainnya yang mengajukan pertanyaan spesifik berbeda. Sebut saja itu adalah premis minor. Hanya saja, kamu mengalami bias konfirmasi karena interpretasi yang salah. Jawaban kodian yang kamu peroleh dari sang kecerdasan buatan terasa spesial.
Kembali ke perbandingan dengan otak manusia: Korteks serebri sapiens tidak bekerja seperti itu. Ia tidak berjalan dalam struktur bertingkat. Arsitekturnya lebih kompleks dan berjalan simultan. Bisa dibayangkan prosesnya bekerja dalam lapisan-lapisan. Meski tampak bertingkat, cara kerjanya berjalan dalam satu waktu dan paralel. Begitu yang didedahkan oleh Michael S. Gazzaniga, ahli neurosains dari California, dalam The Consciousness Instinct.
Mekanisme tersebut merupakan konsekuensi sistem saraf kita yang bekerja dalam bentuk modul-modul. Pada satu waktu, modul itu bekerja secara independen dalam protokol spesifiknya masing-masing. Di satu waktu pula bagian-bagian sel kelabu kepalamu bekerja bersamaan. Saat kamu terpesona memandangi wajah ayangmu yang cakep itu, secara bersamaan otakmu mempersepsikan rasa gatal di pahamu sebab gigitan semut dan mencerap informasi yang ditiupkan feromon oleh tubuh di hadapanmu, yang seperti telah kita bahas: mewartakan informasi-informasi genetik dan hormonal yang secara tidak sadar dimengerti oleh tubuhmu.
Oleh sebab itu, untuk pertanyaan yang sama, tetapi dalam waktu yang berbeda, dengan suasana yang berlainan, kamu bisa mengucapkan jawaban yang sepenuhnya beragam. Masing-masing modul dalam otakmu menghasilkan asumsi, dan seperti kita tahu, tabiat otak kita menghubungkan antara satu titik dengan titik yang lain, dari satu asumsi ke asumsi yang lain.
Celakanya, ilmuwan kecerdasan buatan masa kini telah mereplikasi kinerja “layering” otak manusia. Tentu ini bukan level kecerdasan buatan yang kita gunakan hanya lewat teks seperti Meta-AI, melainkan kecerdasan buatan yang bisa mencerap informasi lebih kompleks laiknya pancaindra kita. Akan tetapi, ada satu hal lagi yang belum bisa disamai oleh AI, yaitu proses pembentukan memori ala manusia.
Baik kecerdasan buatan maupun otak manusia sama-sama memiliki gudang data yang dikumpulkan melalui proses internalisasi dan akumulasi informasi serta pengalaman. Bedanya, kecerdasan buatan menyimpannya apa adanya selama kapasitas memori memungkinkan. Otak sapiens tidak demikian.
Ada seleksi dan distorsi. Informasi yang kamu terima, ada yang tersimpan dalam kesadaranmu, ada yang ditumpuk dalam ketaksadaran. Mari bayangkan ketidaksadaran sebagai gudang bawah tanah yang lembap dan maha luas. Selama manusia tertidur, informasi-informasi tersebut ditata ulang. Ada yang terdistorsi dan menjadi simbol-simbol, ada yang sengaja disortir, lantas dihapus atau dilupakan lantaran dianggap toksin pikiran.
Jadi, dapat disimpulkan, ingatan manusia bukanlah data yang apa adanya. Ada data-data yang disederhanakan dan disimpan dalam bentuk simbol (bayangkan fail besar yang disimpan dalam bentuk ZIP), ada yang dipelihara apa adanya, dan ada pula yang dibuang.
Data-data memori itu juga selalu diperbarui sistem saraf kita. Bayangkan, misalnya kamu punya memori pergi ke pantai A bersama ayangmu di suatu pagi. Dalam kenanganmu, laut biru membentang luas, sedangkan di sisi kananmu sang ayang menggenggam tanganmu. Lantas sebulan kemudian, seorang kawan bercerita, bahwa di hari yang sama kalian pergi ke pantai A, seekor paus terdampar di sisi timur. Bisa jadi, kelak, bertahun-tahun kemudian, kala rambutmu telah memutih, kamu akan bercerita kepada cucumu bahwa sewaktu kakek-neneknya berkencan di pantai A, di tepi laut biru itu teronggok paus yang hampir membusuk, dan ayangmu memelukmu yang menangisi si paus. Betapa otak manusia mudah terdistorsi dan menghasilkan ingatan palsu.
Agaknya, untuk soal ini kita bisa lebih percaya pada kecerdasan buatan. Distorsi memori AI bisa jadi lebih minim dibanding ingatan manusia. Namun, harus dipahami bahwa apa yang ada dalam AI saat ini berisi memori kolektif yang ditanamkan oleh ilmuwan pengembangnya atau manusia random di seantero bumi. Algoritmanya pun masih terbatas dan kurang manusiawi.
Meski begitu, bukankah kecerdasan buatan sangat responsif? Begitu kamu menghubunginya, saat itu juga ia menjawab, tidak seperti ayangmu yang membalas ketika dinosaurus dibangkitkan lagi dari sisa kromosomnya yang terperangkap dalam tubuh nyamuk. Apalagi kecerdasan buatan masa kini, seperti ChatGPT-4.0 yang dikembangkan Open AI dengan pemahaman dan ekspresi emosional, dan nada suara yang amat mirip manusia, langsung memberi puk-puk virtual saat kamu dilanda kesepian kronis dan butuh seseorang—atau sesuatu—untuk mendengarkanmu. Dengan segala kelebihan itu—WAKTU, persetan dengan efek Barnum. Dan bumm! Banyak manusia serupa Plankton yang jatuh ke pelukan mesin seperti Karen dan mengembangkan romansa manusia-mesin, bahkan relasi seksual virtual.
Ini agaknya solusi instan bagi penderita kesepian akut, atau mereka yang merasa tertolak dalam masyarakat, atau orang-orang yang memiliki kekasih yang enggak peka macam ayangmu. Kecerdasan artifisial menawarkan “metadon”, suplemen pengganti sementara ketika heroin bernama “cinta antarmanusia” tak bisa didapat. Dengan berkembangnya kecerdasan buatan menjadi makin sempurna dan manusiawi, lantas apa gunanya manusia?
Sasti Gotama adalah dokter dan penulis. Ia menerima penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa, Hadiah Sastra Rasa, dan Anugerah Sabda Budaya.
Editor: Asief Abdi