Politik pada dasarnya selalu mengandaikan demokrasi, karena hanya dengan demikian suatu sistem politik dapat diterima. Hal itu terjadi karena sistem tersebut memberikan nilai pada setiap pendapat sehingga tidak menafikan fitrah makhluk sebagai pribadi yang unik. Kemudian, katakanlah suatu sistem politik itu ingkar dari demokrasi, bagaimana kira-kira sistem itu direspons oleh setiap pelakunya? Jelas yang akan terjadi ialah semacam goncangan. Hilangnya demokrasi dalam suatu tatanan politik berarti memperlebar jurang ketimpangan antarkelas. Dengan kata lain, pendapat yang dihargai hanyalah pendapat yang datang dari kelas borjouis alias penguasa itu sendiri. Meski demikian, kelas penguasa (ruler class) tidak bisa membiarkan goncangan ini berlarut dan terus memanas. Sebab mereka tahu bahwa pengabaian semacam itu hanya mengakibatkan runtuhnya sistem yang mendukung mereka. Oleh karena itu, goncangan tersebut perlu mereka sikapi. Nahasnya, sikap yang kerap kali diambil guna meredam goncangan itu justru bersifat represif. Sikap semacam ini lazim dipilih oleh kelas penguasa. Selain sebagai jalan pintas, sikap represif itu ternyata ampuh untuk meredam setiap goncangan yang muncul. Saking berulangnya sikap ini, pada akhirnya siapa pun dapat membacanya sebagai pola sehingga bagi sesiapa yang mengamatinya niscaya akan sampai pada suatu pemahaman bahwa dalam rangka menjaga suatu sistem yang sejatinya telah gagal, kelas penguasa akan selalu mengambil tindakan represif— atau dengan kata lain, fasisme. Lantas, untuk apa pula suatu sistem yang gagal itu terus dijaga?
Suatu tatanan politik itu tidak pernah lepas dari bangunan bawahnya, yakni modal. Dengan kata lain, kekuatan politik hanya dimungkinkan melalui basis kekuatan ekonomi (inilah mengapa kelas borjuis sebagai pemilik modal kerap kali dikatakan sebagai kelas penguasa). Apakah kalian pikir para jawara dalam ‘pesta demokrasi’ kita dapat mengamankan suaranya tanpa cuap-cuap rupiah? Jangan bercanda. Dalam sebuah refleksi singkat, kadang saya merasa bahwa ‘serangan fajar’ sejatinya hanya selubung tipis untuk kegelapan yang kelak muncul. Menggelikan. Inilah yang saya pikir contoh paling sederhana, sekaligus paling dekat bahwa modal memegang setiap kontrol atas sistem-sistem lain. Namun, memang modal tak semerta-merta menancapkan kukunya pada setiap sistem itu. Ia butuh sesuatu yang lebih halus daripada kuku. Ia butuh muslihat. Di sinilah politik mendapatkan perannya.
Modal itu sejatinya telah lama kawin silang dengan politik. Modal membutuhkan politik untuk mengontrol pasar dan politik membutuhkan modal untuk tujuan yang sama. Dengan kata lain, pembacaan atas peristiwa politik, tak dapat rampung tanpa pembacaan terhadap jalin kelindan modalnya. Setiap manuver politik selalu berangkat dengan basis modal yang menyokongnya. Katakanlah Omnibus Law dan Revisi UU KPK dalam peristiwa reformasi dikorupsi—sebuah protes besar yang menjatuhkan korban dan tercatat sebagai salah satu peristiwa September Hitam. Omnibus Law itu tak ubahnya seperangkat peranti politik yang memuluskan jalannya investasi serta cairnya hak-hak para pekerja sehingga para pemodal bisa lancar memutar uang dan menimbun kekayaan. Timbunan ini juga bakal bahaya kalau dibiarkan saja. Oleh karena itu, UU KPK direvisi untuk menjamin keamanan para penimbun. Kebijakan itu menimbulkan goncangan yang tidak kecil. Dari musabab itulah, fasisme muncul ke permukaan. Dalam rangka menjaga lancarnya kelahiran kebijakan tersebut. Lalu, kita tahu Randi dan Yusuf gugur ditikam peluru, Maulana Suryadi bersimbah darah, juga Akbar dan Bagus yang tak lagi dapat pergi sekolah. Lain dari itu, kita juga telah menyaksikan rentetan demonstrasi besar lainnya; RUU TNI yang mencederai supremasi sipil, Danantara sebagai gerbang lain menyambut kebijakan neo liberal, hingga teranyar pada 25 Agustus lalu dengan korban jiwa hingga 10 nyawa. Linier dengan itu, di berbagai titik, di sekujur tubuh Indonesia, alam terus dikeruk dan para buruh yang kian cair. Rentetan peristiwa ini adalah bukti nyata raibnya demokrasi di negeri ini. Lalu, bersamaan dengan demokrasi yang kian hari kian samar, kelas penguasa berlaku hipokrit dengan mengatakan demokrasi belum mati.
“Demo itu kan bentuk kebebasan berekspresi. Dengan demikian ia juga pengejawantahan dari demokrasi”.
Narasi omong kosong ini selalu dipelintir sebagai yang mereka sebut demokrasi. Namun, pertanyaan yang penting dilontarkan ialah, sejauh mana kebebasan berkespresi itu dihargai dan direspons? Saya rasa sudah jelas bagaimana kemudian kelas penguasa memberikan respons atas berbagai protes yang terjadi juga ketimpangan yang semakin lebar, sebagai sesuatu yang menggagalkan apa yang mereka sendiri sebut sebagai demokrasi. Pun, bagaimana mungkin demokrasi itu belum mati, ketika 959 orang ditetapkan sebagai tersangka dari demonstrasi panjang 25-31 Agustus lalu?
Penangkapan hingga penetapan tersangka sebanyak 959 orang itu menerobos proses yang berlaku. Laporan Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) menemukan bahwa penangkapan dilakukan bahkan tanpa bukti yang cukup dan tidak disertai penunjukan surat penangkapan. Belum lagi, korban penangkapan sulit ditemui dan tak diberikan kebebasan untuk memilih kuasa hukumnya, sehingga mereka terpaksa menggunakan jasa advokat yang disediakan oleh pihak kepolisian. Beberapa korban bahkan disita barang pribadinya, mulai dari gawai hingga buku. Kalau sudah begini, bukankah sukar mengatakan bahwa kita masih memiliki demokrasi?
Penangkapan aktivis-aktivis pro demokrasi hari ini tidak lain adalah bentuk fasisme dari kegagalan sistem yang sedang langgeng. Tujuannya adalah untuk menyebarkan paranoia massal. Semacam berkata ‘Boleh protes, tapi nanti jadi tersangka’. Namun, sejatinya penangkapan itu bisa jadi pedang bermata dua. Sebab, dengan jumlah sebanyak itu, pengadilan harus kuras tenaga untuk bekerja. Lagi pula apakah dua instansi itu benar-benar akur? Saya ragu, melihat proses sidang untuk satu kasus saja bisa berkali-kali dan kenyataan bahwa problem tata pemerintahan kita kerap kali adalah birokrasi.
Terakhir, tanpa menafikan rasa hormat atas mereka yang telah dan tengah berjuang, kuantitas protes dan orang-orang yang melek politik makin hari makin bertambah. Kuantitas ini perlu didorong hingga mencapai titik didihnya, sampai nanti lebur sebagai suatu kualitas yang mampu memberikan goncangan yang lebih dahsyat atas sistem yang berkuasa. Goncangan yang kelak akan meruntuhkan sistem korup itu, menguburnya ke dalam liang dan menyingsing fajar demokrasi yang sejati.
Muhammad Jibril menyelesaikan studi sastra di Universitas Airlangga. Saat ini sedang memenuhi fitrahnya sebagai seorang pekerja.
Editor: Putri Tariza