Di sebuah festival, saya ditempatkan dalam suatu acara dengan dua keterangan yang berbeda. Judul yang pertama adalah “Sastra, Eros, dan Hantu-Hantu”. Tapi, judul yang kedua adalah “Sastra, Spiritualitas, dan Demokrasi”. Marilah kita mulai dari sana. Sebutlah ada dua aspek dalam mengomunikasikan (atau memasarkan?) sastra kepada pembaca. Pertama, aspek yang serius dan, biasanya, punya pretensi sosial-politik—seperti dalam tema yang menghubungkan sastra, spiritualitas, dan demokrasi. Dan kedua, aspek yang kurang serius tapi lebih menarik—seperti tema sastra, eros, dan hantu-hantu. Dalam kelas menulis kreatif, sebagai guru, saya biasanya sejak awal mengingatkan peserta tentang dua aspek itu dalam tulisan: penting dan menarik. Sesuatu bisa penting, tapi tidak menarik. Begitu juga, sesuatu bisa menarik, meski tak penting. Tentu, usahakanlah suatu tulisan yang penting sekaligus menarik. Hanya saja, dalam fiksi, menarik lebih berharga daripada penting.
Yang Menarik: Sastra, Eros, dan Hantu-Hantu
Saya mulai dengan melakukan refleksi tentang proses berkarya saya sendiri. Ketika menulis Saman, saya tidak memperhitungkan pembaca sama sekali—karena saya tidak menyangka novel itu akan mendapatkan pembaca. Posisi ini sangat menyenangkan dan saya ingin pertahankan sebisa mungkin. Saman adalah novel yang ditulis dalam spontanitas dan kenaifan seorang penulis pemula. Cerita hantu yang ada di dalamnya hadir bukan karena saya menduga orang suka cerita hantu lalu berstrategi dengannya. Belakangan baru saya tahu bahwa itu salah satu bagian yang paling disukai banyak pembaca. Persis begitu juga soal seks.
Jadi, kenapa cerita hantu dan seks hadir dalam Saman? Tak lain karena saya sendiri secara alamiah tertarik pada keduanya. Pembaca yang menyukai bagian-bagian itu dapat diasumsikan juga tertarik secara alamiah. Maka, tak banyak lagi yang bisa dibahas mengenai daya tarik seks—atau eros, jika mau lebih halus—dan hantu-hantu. Itu tampak terlalu nyata dan alamiah. Yang mungkin bisa dibahas adalah bagaimana cerita (atau pengarang) menangani (dan karena itu, memaknai) isu seks dan hantu-hantu.
Pada kasus saya, tentu saja saya dibentuk oleh masa lalu tertentu: cerita-cerita hantu yang dihembuskan dua bibi di paviliun rumah, atau yang didesas-desuskan di sekolah dan pergaulan, kisah misteri dari majalah serta beberapa film yang biasanya mencampurkan kekerasan, seks, arwah penasaran, atau makhluk alien. Di masa saya tumbuh, biasanya kisah seks dan hantu mengandung ambiguitas yang menyebabkan hipokrisi. Seks dinikmati sambil dikutuk. Ini sering muncul dalam bentuk erotisasi cerita pemerkosaan atau kekerasan. Erotisasi adegan-adegan siksa neraka termasuk di sini. Selain itu, banyak sekali hantu perempuan yang menjadi penasaran sehubungan soal lelaki atau kegagalan memiliki anak. Semua itu ikut membentuk saya.
Lalu, tibalah giliran saya menulis novel. Tak bisa tidak saya telah dibentuk oleh suatu konteks. Tapi, saya juga punya perlawanan terhadap apa yang kemudian dinamai “patriarki” (pada masa pertumbuhan saya istilah “patriarki” belum dikenal). Dalam hal seksualitas dan yang erotis, yang saya mau lakukan adalah menghadirkan erotisme itu dalam ironinya. Bukan hipokrisi atau standar ganda. Apa bedanya? Dalam hipokrisi nafsu diumbar tapi nilai moral diagungkan tanpa diperiksa (padahal nilai itu melarang mengumbar nafsu). Ada kontradiksi antara nafsu dan moral, tapi keduanya dijalankan, seperti istilah STMJ (salat terus maksiat jalan). Sebaliknya, dalam ironi, hukum atau moral disindir, dan erotisme berlangsung dalam suasana salah tempat. Ada kenikmatan yang aneh, dan tidak ada kepuasan moral. Inilah cara saya menghadirkan ketakjuban saya pada seksualitas dalam sastra. Contohnya adalah bagian akhir novel Saman, surat-menyurat erotis antara Saman dan Yasmin.
Sedangkan tentang hantu-hantu. Bagi saya, hantu-hantu selalu menyimpan kesedihan. Tak ada hantu yang bahagia. Barangkali ini sepenuhnya subyektif. Mungkin orang atau penulis lain tidak menerawang kesedihan di balik hantu-hantu tembus pandang itu. Mungkin ada yang melihat hantu-hantu sebagai semata lucu. Di sini, dugaan saya, variasi persepsi orang tentang hantu jauh lebih beragam ketimbang persepsi terhadap seks. Generalisasi semakin sulit dilakukan; saya hanya bisa bicara tentang karya sendiri. Hantu-hantu, dalam karya saya, bergabung dalam kelompok elemen non-rasional, elemen yang bagi saya sangat penting, yang membedakan novel serta puisi dari risalah dan traktat. Artinya, di sinilah novel serta puisi menjadi istimewa untuk menampung hantu-hantu dan erotisme. Dan pokok ini akan mengantar kita pada, bukan lagi yang menarik, melainkan yang penting.
Yang Penting: Sastra, Spiritualitas, dan Demokrasi
Hubungan seks dan hantu-hantu akan lebih terlihat dengan latar keyakinan modern akal rasio sebagai keluruhan utama manusia. Dalam sejarah pemikiran, ini adalah keyakinan modern yang terbit dari Renaissance (abad XIV) dan Aufklaerung (abad XVII) dan berkembang di Eropa, lalu sampai juga ke Nusantara bersama kolonialisme dan modernisasi menjelang abad XIX. Pelbagai sistem dan ideologi modern—demokrasi, sosialisme, komunisme, dll—termasuk dalam kemajuan ini. Dalam novel, kita boleh menyebut Sutan Takdir Alisjahbana dan Pramoedya Ananta Toer sebagai modelnya. Novel-novel mereka berbicara tentang cita-cita kemajuan dan kritik terhadap apa yang dianggap terbelakang. Yang dianggap terbelakang itu, antara lain, feodalisme yang sering beriringan dengan takhayul. Dengan kata lain, hal-hal yang irasional. Para kritikus sastra sejak tahun 1950-an umumnya meletakkan Takdir dan Pram dalam “kanon sastra” Indonesia. Sedangkan Abdullah Harahap, yang sangat produktif menulis cerita horor di tahun 1960-an, baru belakangan ini dibicarakan lagi—itupun di kalangan terbatas penyuka cerita horor dan gothik saja. (Bangkitnya minat pada Abdullah Harahap dipicu oleh buku cerpen Kumpulan Budak Setan dari Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad).
Apakah cerita hantu dipandang sebelah mata dalam wacana sastra Indonesia? Saya kira tidak. Takdir dan Pram, selain menulis karya sastra, memang menawarkan pemikiran yang cukup utuh untuk mengarahkan masyarakat, serta aktif berpolemik. Kita bisa menyimpan pertanyaan: apakah Abdullah Harahap atau mereka yang suka bercerita tentang hantu tidak menawarkan strategi membentuk masyarakat baru? Perlu penelitian untuk menjawab ini.
Saya sendiri tidak membaca Abdullah Harahap di masa formasi. Saya tidak punya model cerita hantu dari novel-novel Indonesia. Pengaruh lebih saya dapatkan dari film-film Hollywood—pada masa kecil: The Omen, Exorcist; pada masa dewasa: Bram Stoker’s Dracula, House of the Spirit. Tapi, yang lebih kuat sebenarnya adalah fantasi yang terbentuk di kepala saya dari cerita-cerita anggota keluarga (ibu memang tak pernah cerita hantu, tapi bibi, paman, kakak, dan kemudian ipar, serta saya sendiri sangat suka).
Bagi saya, hantu tidak berhenti pada dirinya. Hantu berkelindan dengan arwah, arwah berkelindan dengan makhluk halus, dan semua itu membawa saya pada dia, atau mereka, yang tidak material: spirit, roh, dan akhirnya spiritualitas. Hantu adalah latihan pertama seorang anak untuk kelak memikirkan spiritualitas. Yang penting adalah saya tidak terjebak pada hantu.
Saya tidak selalu menyadari proses menulis. Banyak hal terjadi secara spontan dan intuitif. Melihat ke belakang, pada kekaryaan saya sendiri, saya nyaris tidak menulis tentang eksistensi hantu. Hantu lebih merupakan persepsi orang, ketimbang ada. Misal: Saman merasa melihat hantu, tapi sebenarnya itu adalah seorang gadis cacat. Sandi Yuda merasa bertemu tuyul, tapi itu adalah orang cebol. Orang cacat dan cebol—orang yang tidak memenuhi standar masyarakat—menjadi “yang salah” atau “yang lain”, seperti hantu, bagi peradaban, dan maka kita berhadapan dengan ketidakadilan peradaban. Di sini, bisa ditafsirkan: Hantu itu tidak ada, yang ada adalah “penghantuan” terhadap yang tidak memenuhi kriteria baik dan benar.
Saya memang menulis tentang adanya gejala roh atau spirit. Misal: spirit yang datang dari hutan dan menjadi kekasih ibu Saman, roh yang menyelamatkan Saman; sosok Sebul dalam novel Bilangan Fu; dan tanda-tanda kehadiran roh dalam Simple Miracles. Karena mereka adalah spirit, tentu saja mereka diceritakan tanpa kepastian obyektif. Roh selalu berada di ruang antara yang tak memberi kepastian. Dari sini, saya melihat suatu latihan yang penting bagi demokrasi.
Demokrasi dan Ketidakpastian
Saman, dengan strukturnya yang fragmentaris, adalah reaksi dari terlampau dominannya wacana Orde Baru. Tumbuh dalam “narasi besar” ideologis rezim militer yang memaksakan keutuhan (misal: Azas Tunggal Pancasila), saya tampaknya memberontak dengan menulis novel yang fragmentaris. Saman terbit sepuluh hari sebelum Presiden Soeharto mundur.
Tapi, sepuluh tahun kemudian saya melihat tantangan lain. Dalam dekade pertama Reformasi, saya melihat Indonesia dalam ancaman menjadi berkeping-keping. Pancasila diabaikan. Sentimen kedaerahan menguat. Terorisme dan radikalisme agama meningkat. Ujaran kebencian bergaung. Dalam situasi itu saya menulis Bilangan Fu, yang strukturnya sangat padu, begitu lain dari Saman—tampaknya menggambarkan titik balik di mana saya kembali membutuhkan kesatuan. Tapi, bukan kesatuan yang memaksa dan tertutup, melainkan keutuhan yang terbuka. Kesatuan yang terbuka akan menjadi kegelisahan pencarian saya sampai dekade-dekade berikutnya.
Dalam Bilangan Fu saya mencoba menawarkan, atau memikirkan, “spiritualisme kritis”, yaitu sikap spiritual yang tak kehilangan daya kritis, yang menurut saya potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Ini sebetulnya agak pragmatis. Sejauh ini, saya merasa masyarakat Indonesia tidak akan menjadi sangat sekuler dan ilmiah; maka dibutuhkan cara keberagamaan yang tidak mematikan daya kritis, dan saya percaya itu bisa. Potensinya tersedia di Nusantara.
Potensi itu justru bisa dikembangkan dari kesukaan dan keterbukaan kita terhadap cerita-cerita spirit. Dengan syarat kita menyadari “keberadaan”-nya dalam sejenis ruang antara yang tidak menjamin kepastiannya. Jika diterjemahkan dalam sastra, maka spirit perlu hadir dalam ketidakpastian ini. Jika dia menjadi pasti, maka hilanglah kelebihan dan keutamaannya sebagai spirit. Belakangan ini, karya-karya dari Afri Meldam, Andre Septiawan, Sasti Gotama, Angelina Enny—untuk menyebut beberapa pemenang Hadiah Sastra Rasa—menggarap kisah spirit yang kurang lebih memelihara ruang antara itu. Jika ini bisa dilihat sebagai suatu latihan menghadapi ketidakpastian secara positif, maka dengan sendirinya ini sehat bagi kehidupan bermasyarakat dalam demokrasi.
Ada banyak kritik terhadap demokrasi, terutama dalam situasi belakangan ini. Kita juga belum punya sistem politik alternatif baru. Sastra pun tidak punya kapasitas menjawab persoalan ini. Yang mungkin bisa diprediksi adalah bahwa situasi ke depan akan lebih rumit. Segala kepercayaan tak lagi bisa dipegang secara naif. Kita perlu lebih banyak latihan untuk berhadapan dengan ketidakpastian tanpa kehilangan sejenis iman akan sesuatu.
Ayu Utami merupakan sastrawan kenamaan Indonesia. Ia menerima penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta, Khatulistiwa Literary Award, Majelis Sastra Asia Tenggara, dan Prince Claus Award.
Editor: Asief Abdi