“Umat Kristen menamakannya Surga, Hindu menyebutnya Nirwana, dan Muslim menamakannya Firdaus. Aku menganggap itu semua kebohongan,” kata Friedrich Ritter dengan percaya diri dalam film Eden yang dibintangi Jude Law. Pada awal abad 20, dokter asal Jerman itu hijrah bersama Dore Strauch, pasien sekaligus kekasihnya, ke sebuah daratan kecil di gugus Kepulauan Galapagos. Jauh dari kilau dunia modern, keduanya memadankan diri dengan Adam-Hawa, di Floreana sebagai surganya.
Di antah berantah, sang dokter menuliskan satu demi satu wahyu yang ia terima. Refleksi filosofisnya tentang hidup dia kirim lewat kapal yang sesekali lewat dan berhenti. Lalu, surat-surat Ritter terbit di koran dan jadi sensasi publik. Beberapa bahkan nekat berlayar dan menjajal tinggal di tanah terisolasi itu. Orang-orang berdatangan, didorong motif yang sama: utopia.
Kata itu sendiri, utopia, punya dua makna. Berkat karya fiksi Thomas More yang terbit 1516 silam, utopia lazim dipahami sebagai sebuah tempat sempurna di mana manusia hidup dalam harmoni—eu-topos, “tempat yang baik”. Namun, ia juga ou-topos, “tempat yang tak ada”. Walau begitu, agaknya orang lebih suka versi More dan percaya bahwa zona semacam itu benar-benar ada.
Berbagai kebudayaan punya kisah soal tempat ideal nan damai. Shangri-La, misalnya, konon tersembunyi di balik gemunung Himalaya. Begitu pula El Dorado, negeri emas yang dicari-cari conquistador Spanyol di belantara Amerika Selatan. Akan tetapi, hingga kini tak ada bukti soal keberadaan negeri ajaib itu. Tempat-tempat tersebut sepertinya cuma eksis dalam dongeng. Atau, kalaupun nyata, ia tak bertahan lama. Mitologi mengingatkan kita bahwa kondisi macam itu rapuh.
Dalam tradisi Yudeo-Kristiani, surga merupakan puncak utopia kaum beriman. Orang-orang beribadah–bahkan berperang–demi bisa mencapainya. Tak banyak yang kita tahu tentang lokus utopis itu selain sebuah taman dengan sungai-sungai yang mengalir di dalamnya. Namun, seperti dikisahkan Kitab Kejadian, ia terlampau sempurna sampai-sampai keusilan Adam dan Hawa berujung sanksi serius. Akibatnya, keduanya mesti didepak dari Taman Eden dan mengemban derita seumur hidup.
Pesan senada juga muncul dalam cerita Prometheus yang nekat mencuri api para dewa (simbol pengetahuan dan peradaban). Gara-gara ulahnya, ia dan umat manusia dijatuhi hukuman. Tubuh besar sang titan diikat ke tebing curam Kaukasus. Saban hari, seekor elang raksasa datang mematuk dan mencabik hatinya hidup-hidup. Dan ketika organ tersebut pulih di malam hari, si pesakitan kudu siap dikoyak lagi dan lagi.
Dua cerita tersebut menyiratkan bahwa kehendak seseorang menceraikan dirinya dari surga, dari utopia. Baik Adam-Hawa maupun Prometheus, dikutuk bukan karena dosa semata, melainkan lantaran mereka menuntut lebih dari apa yang sudah ada. Mereka harus membayar mahal atas keinginan untuk menjadi lebih. Kisah-kisah tersebut mengingatkan kita pada pemikiran Arthur Schopenhauer perihal der wille zum leben, kehendak untuk hidup.
Schopenhauer meyakini bahwa kehendak merupakan motor kehidupan semua makhluk dan merupakan akar penderitaan hidup. Ia seperti lingkaran. Begitu satu keinginan terpenuhi, lahirlah keinginan lain, dan hidup pun terjebak dalam siklus nestapa kehendak. Di titik ini, kita bisa berhenti sejenak dan bertanya: andai semua dorongan kita terpenuhi, benarkah hidup akan bahagia?
Mari bayangkan diri kita sebagai penghuni surga. Tempat itu sempurna. Susu dan madu di mana-mana, bidadari yang selalu perawan bisa dicumbu kapan saja. Tidak ada maut, tangis, dan tragedi. Bagaimana rasanya hidup dalam kondisi demikian? Jangan-jangan, alih-alih puas, bisa-bisa kita malah bosan. Gagasan macam itu tak hanya bergaung di ranah filsafat. Budaya populer pun memotret paradoks serupa.
Dalam salah satu episode Spongebob Squarepants, Squidward pindah ke hunian ideal yang selama ini ia impikan: tempat yang jauh dari gangguan bintang laut dan spons laut usil, di mana si cumi-cumi bisa hidup tenang dengan fasilitas terbaik. Akan tetapi, lambat laun, dia toh jenuh juga tinggal di kompleks mewah tersebut dan justru rindu kejahilan tetangganya.
Seperti adegan itu, surga bisa jadi bakal amat membosankan. Ia tak cocok dengan sifat alami manusia yang serba menuntut. Kehendak tak berbatas menuntun seseorang pada kebosanan. Dopamin dalam otak senantiasa memicu tubuh untuk terus mencari kepuasan yang lebih tinggi. Kecenderungan fisiologis tersebut kini dikompori konsumerisme. Hasrat manusia pun kian kobar, siap melahap apa saja yang ia mau. Kendati binatang juga merasakan dorongan yang sama, kita jauh lebih sengsara.
Manusia, dengan akalbudi yang lebih kompleks merespons will to live secara berbeda ketimbang hewan. “Makin tinggi kesadaran, makin berat penderitaan,” kata Schopenhauer. Ketika ilusi yang kita yakini selama ini runtuh, hidup hanya menyisakan nestapa yang telanjang. Ia benar. Adakalanya, lebih sedikit tahu membuat hidup lebih ringan. Kita tentu rindu masa kecil, tatkala dunia tampak sederhana, sebelum kita sadar bahwa hidup ternyata begitu pelik. Mungkin, sebaiknya kita tak pernah mencicip buah terlarang.
Maka, dengan kehendak tak bertepi dan kesadaran yang tinggi, tampaknya kita tak akan pernah siap hidup lempang. Kebahagiaan makin terasa sekadar jeda sejenak dari penderitaan abadi. Dengan nafsu yang menyala-nyala, kita rentan membakar diri sendiri. Barangkali, itulah mengapa Buddha menyebutnya “nirwana” yang berarti “padam”. Cuma ajal yang mampu membebaskan kita.
Namun, tak semua orang sepakat dengan pandangan suram itu. Beberapa orang percaya bahwa surga bukan ilusi, melainkan pengalaman batin yang bisa diraih. Ritter, misalnya. Alih-alih berhenti pada pesimisme, ia menawarkan gagasannya perihal surga. Walau ateis, pria itu memandang bahwa keadaan utopis macam itu dapat dicapai. Upayanya menyepi di antah berantah membuahkan refleksi personal soal surga. Ya, ia menemukan “surga” di Floreana.
Bagi dia, surga tak seperti yang tertulis dalam kitab suci. Ritter berpendapat bahwa surga bukan perkara lokasi, melainkan suatu kondisi. Sang dokter yakin, di mana pun seseorang tinggal, dia dapat merasakan kedamaian batin. “… surga bukan pencapaian mustahil. Ia hanya keadaan jiwa seseorang dan itu terdiri dari kasih, kesabaran, dan kepuasan,” tulis Ritter dalam artikelnya yang diterbitkan Atlantic Monthly. Pria tersebut percaya, tiga sikap itu adalah jalan menuju surga. “Begitu seseorang punya ketiganya,” lanjut sang dokter, “ia tak butuh apa-apa lagi.”
Sejalan dengan refleksi Ritter, mungkin utopia tidak sepenuhnya tak mungkin. Di tengah carut-marut dunia dan lingkar lara hidup ini, dengan sikap tertentu, kita masih bisa menemukan damai dalam diri. Surga, barangkali bukan taman dengan susu dan madu. Bukan pula tempat nun jauh di langit. Ia memang tak pernah ada dalam peta, tapi selalu bersemayam dalam jiwa.
Asief Abdi adalah seorang naturalis.
Editor: Ikrar Izzul Haq