Demokrasi Indonesia tak pernah persis berjalan seperti adagium yang terkenal itu. Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Keutuhan demokrasi hanya tinggal dalam narasi ideasional yang mengandaikan adanya keseimbangan elemen demokratis: elite, rakyat, dan swasta (pasar). Tidak idealnya relasi kekuatan elemen politik tersebut menjadi persoalan yang harus diketengahkan, meski dalam setiap periode memiliki kecenderungan yang berbeda. Di era orde Lama, demokratisasi terhambat sebab dominasi politik Soekarno yang menjalankan sistem demokrasi terpimpin. Sistem demokrasi yang justru menghambat proses pematangan demokrasi itu sendiri. Hal ini kemudian ditanggapi secara kritis oleh Mohammad Hatta melalui tulisannya yang berjudul Demokrasi Kita. Dalam esai panjang tersebut, Hatta mengkritisi kesenjangan antara idealisme dan realitas yang berjalan. Bahkan hingga saat ini, demokrasi kita tidak pernah menghasilkan pola relasi yang seimbang antara kekuatan masyarakat sipil dan pemerintah. Hal ini dikarenakan demokrasi—di manapun dan di situasi apapun—hanyalah ruang artikulasi kesetaraan, dan di waktu yang sama gagal mengeliminasi pengaruh elit yang dominan.
Setiap babakan ‘orde’ demokrasi, kita terpaut dengan elite yang dominan. Tak bisa dipungkiri, elite selalu menempati hierarki tertinggi dalam kepengaturan institusi politik dan pemerintahan. Esai ini akan mengulas bentuk politisasi yang dilakukan oleh elite dengan penyematan istilah berbeda sebagai penanda identitas politis. Di masa awal kemerdekaan, priayi sebagai identitas sosial dan politik, memiliki pengaruh kuat dalam melakukan reformasi kekuasaan sehingga memunculkan rezim priayi. Masa Orde Baru menjadi awal kemunculan kelompok oligarki yang terus bertahan dan terbenam kuat hingga kini. Hal ini kemudian melahirkan praktik politik autokrasi.
Rezim Priayi
Priayi merupakan identitas sosial sekaligus politik. Secara genealogis, kehadiran kaum priayi berhubungan dengan kekuasaan kerajaan. Ong, dalam bukunya dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong menulis, “sebagai kelompok kecil orang yang diberi jabatan atau mendapat mandat dari raja untuk memerintah rakyat. Kelompok kecil ini diangkat karena dianggap memiliki kekuasaan, hubungan darah, favoritisme, atau keturunan” (Isnaeni, 2014). Kita dapat menengahkan persoalan bahwa “seseorang” secara politis dapat diartikan ‘priayi’ apabila mendapatkan jabatan eksklusif dari kerajaan dan/atau pemerintahan. Priayi memainkan peran penting dalam melakukan tugas kerajaan, sebab bagaimanapun, dirinya merupakan perpanjangan tangan kekuasaan dalam melakukan kontrol, mobilisasi dukungan terhadap raja, dan pengambilan pajak rakyat.
Dahulu, priayi dalam ruang lingkup bangsawan adalah kerabat dan orang-orang dekat kerajaan. Secara sosiologis priayi menempati hierarki yang cukup penting di dalam struktur sosial, sebab mereka mendapatkan akses politik. Keberadannya dihormati dan disegani. Tidak heran apabila pada akhirnya, priayi menjadi pemandu perlawanan terhadap penjajahan di satu sisi, dan bekerja untuk penjajah pada sisi yang lain. Itu terjadi sebab di kalanga priayi sendiri, mereka terikat dengan kepentingan yang kompleks. Pragmatisme sikap politik juga sering ditemukan demi keamanan diri dan keluarganya.
Hingga politik liberalisasi pemerintahan di masa kolonial, keluarga dan kerabat dekat kerajaan ini menjadi semacam identitas sosial tanpa pengaruh politik yang signifikan, kecuali keluarga utama kerajaan yang mendapatkan akses untuk bekerja pada pemerintah kolonial sebagai administator di perkebunan, pemerintahan, dan penyuratan.
Di masa-masa pembentukan parlemen pemerintahan Hindia Belanda, perkumpulan kalangan priayi berperan signifikan bagi munculnya kesadaran dan gerakan nasionalis dengan turut serta mendirikan perhimpunan pelajar Boedi Oetomo serta perkumpulan dagang Sarekat dagang Islam yang menjadi cikal bakal Sarekat Islam (SI). Takashi Shiraishi, dalam bukunya Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, menggambarkan dengan cakap bagaimana kelompok itu mengorganisir perlawanan lewat sejumlah medium, dari mobilisasi massa hingga perlawanan lewat sejumlah surat kabar.
Dalam perhimpunan tersebut, muncul tokoh-tokoh yang hingga kini banyak dikenal, seperti Tjipto Mangoenkoesoemo, H.O.S. Tjokroaminoto, dan Soekarno. Meski mayoritas anggota kelompok SI ini bukanlah kalangan priayi, mereka memiliki peranan penting di dalam munculnya kesadaran nasionalisme bagi kalangan bumiputra. Kelak, anggota-anggota kelompok priayi ini menjadi pemimpin pada masa awal kemerdekaan. Soekarno, misalnya, yang menjadi presiden pertama Republik Indonesia. Namun, ada satu pertanyaan: mengapa harus Soekarno? Sebuah gugatan sejarah yang tidak pernah kita perselisihkan. Mungkin satu-satunya alasannya adalah—seperti perkataan Subeno alias Ben Anderson—Soekarno pemimpin paling cocok untuk zaman radio (Anderson, 2026).
Di masa awal, usia negara masih relatif muda, pedebatan dan perselisihan kerap kali terjadi. Pada 5 Juli 1959, Soekarno memperlakukan sistem demokrasi terpimpin untuk menggantikan demokrasi liberal. Hatta, sebagai orang yang memiliki integritas terhadap demokrasi, mengkritik Soekarno yang dianggapnya mencelakakan demokrasi Indonesia. Ia khawatir negara jatuh ke dalam otoritarinisme.
Oligarki
Oligarki di Indonesia memiliki akar historis sejak masa kerajaan, terlebih ketika sistem kolonial mulai menjangkiti kerajaan-kerajaan melalui liberalisasi birokrasi. Hal ini memungkinkan VOC untuk mengakses sumber daya alam di satu sisi, dan penarikan pajak oleh keluarga kerajaan di satu sisi yang lain. Pada akhirnya, kalangan priayi lahir dari perjumpaan dua sistem politik yaitu liberalisme yang dibawa penjajah dan monarki yang berakar kuat dalam sistem politik di Nusantara.
Oligarki menjadi semacam wabah dalam negara demokrasi terutama di negara-negara pascakolonial, seperti di Indonesia (Winters, 2011). Pemahaman atas oligark dan oligarki bermula dengan pengamatan bahwa ketidaksetaraan material ekstrem menghasilkan ketidaksetaraan politik ekstrem. Oligarki perlu ditinjau dari dua hal, sumber material kekuasaan dan jangkauan kekuasaan. Keduanya saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Bersifat saling menopang dan menguatkan.
Tipologi oligarki pertama di Indonesia adalah oligarki sultanistik. Di kemudian waktu, bentuk ini bermetamorfosis menjadi oligarki kolektif yang menguasai sistem elektoral. Oligarki sultanistik di masa era kepemimpinan Presiden Soeharto (Orde Baru) memiliki kontrol terhadap sumber daya kekuasaan material dan politik. Corak oligarki sultanistik adalah adanya satu pemimpin kuat yang diposisikan sebagai sultan dan melakukan distribusi kekuasaan terhadap sesama kalangan oligarki dengan kekuasaan yang terpusat pada dirinya.
Bergesernya dari oligarki sultanistik menjadi oligarki kolekitf disebabkan oleh kecenderungan praktik nepotis yang mengedepankan keterlibatan keluarga dalam politik dan bisnis. Anak-anak Soeharto yang memiliki akses paling mudah terhadap sang ayah akan mengalahkan semua saluran perlindungan oligarki lain. Dengan begitu, mereka segera menjadi predator paling ganas dan mengganggu oligarki Indonesia (Winters J. W., 2014). Perilaku predatoris dalam ekonomi dan politik yang dilakukan oleh keluarga Soeharto melalui jejaring bisnisnya menimbulkan satu masalah utama, yakni retaknya hubungan di antara elit (para oligark). “Cendana semakin menjadi sumber ancaman terhadap kekayaan ketimbang pusat pertahanan kekayaan” (Winters, 2014). Puncaknya pada 1997, saat kehendak Suharto untuk menyiapkan beberapa anaknya maju dalam kontestasi politik. Hal itu membuat mitra bisnisnya secara perlahan meninggalkan dan membiarkan Soeharto dalam kesulitan menghadapi guncangan ekonomi (krisis moneter). Pasca 1998, ditandai dengan hancur dan runtuhnya kekuasaan rezim otoritarian, demokrasi di Indonesia mendapatkan secercah harapan—memasuki transisi demokrasi. Situasi ini dianggap sebagai babak baru dalam kehidupan yang lebih baik bagi tegaknya supremasi sipil, terciptanya keadilan sosial, ekonomi, dan politik.
Autokrasi
Autokrasi menjadi penghalang bagi fase tercapainya konsolidasi demokrasi. Ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi menjadi tren global. Hanya saja yang menjadi perbedaan satu negara dengan lainnya adalah kecenderungan menguatnya praktik ‘autokratis’ itu sendiri. Sejak 2008, fenomena demokratisasi dibayang-bayangi oleh kemunduran demokrasi dan bangkitnya “negara predator” (Burnell & Oliver Schlumberger, 2010). Demokratisasi mengalami kemandekan dan konstruksi ideal mengenai konsolidasi demokrasi tidak berjalan linear dengan kenyataan yang ada, bahkan bertolak belakang. Negara-negara di Asia Tenggara tidak pernah ada satu pun yang muncul sebagai negara demokratis yang bebas dari permasalahan hukum, kesenjangan ekonomi, dan keadilan sosial. Fase pertumbuhan demokrasi yang dibayangkan dalam transisi terjerembab dalam kubangan (re)otoritarianisme. “kerangka autokratisasi menawarkan pendekatan yang lebih fleksibel dan komprehensif dengan memahami pergeseran rezim sebagai bagian dari spektrum, bukan kategori yang statis. Gagasan autokratisasi sendiri dianggap sebagai “konsep payung” yang mencakup berbagai fenomena politik, seperti regresi demokrasi, kehancuran demokrasi, dan konsolidasi otoritarian (Zain, et al., 2024).
Secara teoretis, bentuk demokrasi di Indonesia tidak bisa dikategorikan sebagai negara otoriter ataupun negara demokratis. Autokrasi memberikan kita gambaran apa dan bagaimana kedaulatan sipil dikebiri oleh para elite. Kondisi demokrasi di Indonesia lebih dekat dengan karakter demokrasi di bawah kekuatan rezim hibrida—“Identik dengan negara yang memiliki karakteristik demokratis dan otoritarian sekaligus” (Zain, et al., 2024). Dalam rezim hibrida terdapat kelembagaan penyelenggara demokrasi seperti pemilihan umum yang diadakan setiap periode (di Indonesia lima tahun sekali), badan legislatif multi-partai yang memungkinkan terciptanya persaingan politik, serta terciptanya oposisi. Di sisi lain, sekalipun terdapat institusi demokrasi, kekuasaan eksekutif lebih dominan daripada legislatif. “Ada tiga gejala legalisme autokrasi di Indonesia menurut Zainal Arifin dan Idul Rishan. Pertama, kooptasi partai yang berkuasa di parlemen; kedua, menggunakan hukum untuk melegitimasi hasrat kekuasaan sepihak; ketiga, mengganggu independensi lembaga peradilan” (Ramadhan, 2023).
Kondisi tersebut sangat mencolok pada masa kepemimpinan Presiden Jokowi di periode kedua. Kekuasaan presiden nyaris mutlak di atas hukum. Ketundukan lembaga peradilan dan kekuatan partai yang dikooptasi dalam kontrol kekuasaan eksekutif. Oligarki sebagai sebuah modus kekuasaan ekonomi dan politik, tumbuh subur dalam bentuk rezim hibrida yang autokratis.
Referensi
Anderson, B. (2026, maret 8). Bung Karno dan Bahaya Pemfosilan. Retrieved from Indoprogress.com: https://indoprogress.com/2016/03/bung-karno-dan-bahaya-pemfosilan/
Burnell, P., & Oliver Schlumberger. (2010). Promoting democracy – promoting autocracy? International politics and national political regimes. Contemporary Politics, 1-15.
Isnaeni, H. F. (2014, Desember 02). Pegawai bukan Priayi. Retrieved from historia.id: https://historia.id/politik/articles/pegawai-negeri-bukan-priyayi-DnYa6/page/1
Ramadhan, M. R. (2023, Juli 17). Rezim Legalisme Otokrasi dan Hukum Represif di Indonesia. Retrieved from Indoprogress.com: https://indoprogress.com/2023/07/rezim-legalisme-otokrasi-dan-hukum-represif/
Winters, J. A. (2011). Oligarki. Jakarta: Gramedia.
Winters, J. W. (2014). Oligarki dan Demokrasi di Indonesia. Prisma: Demokrasi di Bawah Cengkraman Oligarki, 11-34.
Zain, A. I., Dwiputra Meliala, C. F., Jumaynah, F., Nailufar, F. D., Satria, P., & Maghribbi, M. A. (2024). Selamat Datang Otokrasi: Pemilu, Kekuasaan, dan Kemunduran Demokrasi. Jakarta: Sindikasi Pemilu dan Demokrasi.
Syaiful Anam adalah penulis buku Demadurologi (2023).
Editor: Ikrar Izzul Haq