Di Berkah, aku dan seorang kawan melepas penat setelah menyelesaikan sebuah proyek. Kami berbalas cakap seputar kerja. Selain seorang kawan, ia juga kolega yang menyenangkan. Mulanya, kupikir Dana adalah seorang workaholic, sampai siang itu ia bercerita, “Enggak tau, ya. Mungkin semacam trauma. Pascalulus, aku nganggur dua tahun. Jadi, ketika dapat kerja gitu mungkin jadi merasa senang.” Aku tersenyum tipis sambil menimpali, “Ya, kupikir bekerja adalah fitrah manusia.”
Berbicara kerja sebagai sebuah fitrah, harus dimaknai sebagai sebuah laku memenuhi kebutuhan (dan bukankah memang demikian seharusnya?) Namun, dewasa ini, bekerja kerap dipandang sebagai sebuah kutukan dan lingkaran setan; alias tak berkesudahan. Pandangan ini persis dibentuk oleh sistem yang menyerap nilai lebih para pekerja, yang tidak memungkinkan mereka mengaktualisasikan diri. Sistem ini adalah kapitalisme. Esai ini tidak akan membahas kontradiksi dalam kapitalisme secara rigid, tetapi menelisik peranti untuk membedah dan mencuatkan kontradiksi kapitalisme ke permukaan.
Kebutuhan yang dimaksud sebelumnya bukanlah kerja untuk pemenuhan kapital para borjouis, melainkan pada maknanya yang asali sebagai basic needs atau penunjang hidup. Dengan kata lain, bekerja adalah bagian dari hidup dan sesiapa yang terpisah dari kerja, maka ia juga terpisah dari “hidupnya”. Proposisi kerja inilah yang kemudian dapat digunakan sebagai sebuah paradigma. Kerja sebagai pemenuhan kebutuhan berarti mengandaikan hasil kerja digunakan untuk pemenuhan kebutuhan itu sendiri. Dalam sebuah pemahaman sederhana, kondisi pemenuhan kebutuhan itu bersifat materiel. Kerja adalah hubungan dialektis dalam rangka membuahkan hasil kerja yang juga bersifat materiel. Materi sebagai basis dan materi sebagai pengondisian basis. Artinya, hubungan dialektis antarmateri inilah yang meniscayakan sebuah hidup. Lebih filosofis, memastikan realitas ada. Konkret.
Tak ada apa pun di luar materi dan tak mungkin ada materi yang a-dialektis. Materi-materi serta hubungan dialektis yang beroperasi di antaranya dapat dikatakan kerja. Dan dari kerja-kerja antarmateri itulah roda sejarah bergerak. Bayangkan sebuah pohon besar yang rimbun. Mula-mula pohon itu tak ubahnya sebuah tunas kecil. Tunas kecil yang senantiasa menyerap unsur hara di tanah. Kenyataan bahwa saat ini ia tumbuh besar, tidak lain karena pohon itu melakukan kerja. Pohon dan tanah adalah materi. Hubungan keduanya dialektis. Dan rangkaian proses ini adalah sejarah pertumbuhan pohon.
Kerja dialektis antarmateri ini dipostulatkan sebagai materialisme dialektis historis—selanjutnya akan disebut MDH—yang merupakan hasil dialektika Karl Marx dengan membalik kerangka berpikir Friedrich Hegel dan Ludwig Feuerbach. Hegel adalah seorang dialektis, tetapi nahas dialektika Hegel hanya sekumpulan ndakik yang tak pasti, alias dhu’-leddhu’ kapoh. Persis karena ia juga seorang idealis yang menganggap ide lebih dulu daripada materi atau ide mengondisikan materi. Dalam kerangka dialektika Hegel, tesis dan anti-tesis akan mencapai sebuah sintesis yang pada ujungnya tak lagi dapat dicerap, sebab sintesis yang dimaksudkan itu adalah sebuah ide absolut di luar jangkauan akal. Sedangkan Feuerbach, yang seorang Hegelian muda—seperti juga Marx—memilih ingkar kepada gurunya dan menahbiskan diri sebagai seorang materialis. Hanya saja, Feuerbach menolak sama sekali bangunan dialektika Hegel dan meyakini bahwa materi selalu pada kodratnya yang asali, konstan dan begitu-begitu saja. Dalam MDH, konsep dialektika Hegel dipertahankan sebagai suatu keniscayaan berpikir. Namun, berpikir dalam kerangka idealis Hegel hanya akan menjauhkan seseorang dari hal-hal konkret alias yapping saja. Feuerbach bersama kengototan materialisnya melepaskan keniscayaan berpikir itu. Pada dasarnya, dua guru dan murid ini sama saja. Tidak dalam misi menengahi, Marx bergerak lebih jauh dengan berkata bahwa seluruh materi di alam semesta senantiasa dalam hubungannya yang dialektis. Marx tak membicarakan sesuatu yang imateriel sebab hal tersebut tak eksis dan tak penting. Di sinilah letak embrio dialektika materialis. Sejurus kemudian, Marx menawarkan keluaran dari hubungan dialektis antarmateri: materialisme historis.
Materialisme historis menjabarkan hubungan dialektis antarmateri dan alasan logisnya dalam sebuah lintasan sejarah. “Sejarah terulang kembali, pertama sebagai tragedi dan kedua sebagai lelucon,” kata Marx. Peristiwa sejarah selalu bergerak secara sirkular. Setiap masa mengulang masa sebelumnya, hanya saja dalam bentuk yang berbeda. Dalam menjelaskan ini, Marx memulai pelacakannya jauh pada masa berburu-meramu–ketika manusia hidup dalam kelompok-kelompok dan berpindah-pindah–hingga masa kapitalis–masa kita hidup hari ini. Mulai dari komunal primitif, lalu perbudakan, kemudian feodal, hingga kapital saat ini, tak satu pun masa bergeser tanpa pertentangan kelas alias dialektis. Dalam pergeseran tersebut terdapat tiga unsur yang penting dicatat. Pertama, negasi ke negasi. Kondisi di mana suatu kelas menegasikan kelas yang bertentangan. Namun, penegasian itu pulalah yang memungkinkan kedua pihak tersebut eksis; budak dan tuan, raja dan hamba, borjouis dan proletar. Kedua, hubungan kontradiksi. Kondisi di mana kedua belah pihak selalu terikat dalam suatu hubungan kontradiksi satu sama lain. Dengan kata lain, dalam suatu hubungan dialektis tertentu, keduanya selalu niscaya berseberangan. Ketiga, kuantitas ke kualitas. Ini adalah momen revolusioner ketika hubungan negasi dan kontradiksi mencapai titik didihnya dan meniscayakan sebuah perubahan. Pemberontakan para budak yang nahasnya melahirkan penindasan dalam bentuknya lain; feodalisme sebab tak dibekali sebuah kerangka visioner bangunan sistem selanjutnya. Pun revolusi borjuis yang menguntungkan pemilik alat produksi, sehingga ketika kepala feodal itu terpenggal, yang lahir adalah kapitalisme.
Hubungan antarmateri beserta sejarahnya atau materialisme dialektis historis merupakan pisau analisis yang ditempa dan digunakan oleh Marx dalam kritiknya terhadap kapitalisme. Dalam Das Kapital, pembedahan Marx berangkat melalui kalkulasi rigid atas kontradiksi kapitalisme. Ia menggunakan peranti sains–falsifikasi–untuk menarik keluar kontradiksi itu. Dengan kata lain, kritik ekopol Marx memiliki landasan logis, sehingga ia, paling tidak, lebih dekat pada kebenaran objektif. Apa yang dilakukan Marx sejatinya adalah penarikan metode berpikir saintifik ke dalam ranah sosial humaniora, sehingga seseorang tak lagi permisif asal bicara soshum tanpa kalkulasi saintifik (dan sungguh keduanya itu sedari mula memang tak perlu dikotakkan). Kecuali, mereka para pemalas yang tak mau membaca.
Kami pulang dari Berkah ketika langit berubah jingga. Di Surabaya, jalanan sore adalah arena tarung bagi mereka yang baru pulang kerja.
Muhammad Jibril menyelesaikan studi sastra di Universitas Airlangga. Saat ini sedang memenuhi fitrahnya sebagai seorang pekerja.
Editor: Putri Tariza