Selain harus menahan air mata, saya juga dipaksa untuk menahan air kencing selama paruh akhir film. Kalau saja film itu beralur lempang, niscaya saya akan segera ngibrit ke kamar kecil sambil menghidupkan senter ponsel dan menjadi mas-mas paling menyebalkan di studio bioskop itu. Saya mengambil risiko mengidap kencing batu dan saya tidak menyesal.
Sore: Istri dari Masa Depan (selanjutnya akan saya sebut Sore) (2025). Mulanya, saya agak skeptis ketika membaca anak judul film itu dan menemukan kata “istri” di sana. Sebab, kita harus mengakui ini, film-film populer Indonesia yang bertemakan kisah suami-istri kebanyakan tak menawarkan apa pun, kecuali eksploitasi kesedihan perempuan dan karakter suami yang menyebalkan. Lebih-lebih yang berlatar religius dan si perempuan diberi label sebagai “istri salihah”. Ampun. Namun, ketika frasa keterangan “dari Masa Depan” terbaca mata, suuzon saya sedikit pudar. Selintas saya membayangkan, film in akan mengacak-acak waktu. Dan yang saya tunggu adalah sejauh mana Yandy Laurens akan bermain-main sembari tetap membuat film ini berterima.
Dugaan terkait unsur kewaktuan dalam film didukung oleh visual poster: Dion Wiyoko menaiki anak tangga bergaya spiral yang dibuntuti tiga belas Sheila Dara hingga lantai dasar. Yang paling mencolok dari poster tersebut adalah pola spiral dari tangga. Saya mengatakan hal ini mendukung dugaan, sebab saya pernah membaca sebuah tulisan di internet. Konon, waktu bergerak secara spiral. Teori ini mencoba melebur dua hipotesis. Teori pertama mengatakan waktu bergerak melingkar, sebab kita hidup dalam siklus. Sedangkan teori kedua berkata bahwa waktu bergerak linear, sebab kita tak pernah bisa—secara fisikal—kembali ke masa yang telah lewat. Barangkali, Sore akan menghadirkan plot spiral. Menarik. Entah seperti apa yang menarik itu. Waktu itu saya tiba-tiba malas untuk sekadar membayangkan. Tak lama setelah itu, kursi D10 menjadi hak mutlak pantat saya selama dua jam.
Ra Afnan dilanda FOMO, sedangkan Ade merasa film ini punya zat aditif. Kami akan menonton Sore di studio yang sama, tetapi di deret kursi yang berbeda.
Saya tak tahu harus menyebutnya apa, tapi katakanlah, film ini memiliki tiga “sudut pandang”: Jonathan, Sore, dan Waktu. Penceritaan film di mulai dari sudut pandang Jonathan. Layar menampilkan lanskap putih bersalju. Jonathan pergi ke Arktik. Jonathan memotret. Jonathan bengong. Jonathan merokok. Tidak ada pembukaan yang heboh. Segalanya menampilkan suasana damai dan tenang. Semua terasa biasa saja sampai Jonathan terbangun dan mendapati seorang wanita asing berada di ranjangnya. Mengaku sebagai istrinya pula.
Kemudian sudut pandang Sore. Di sini mulai tampak konsep permainan waktu yang sutradara gunakan. Di sisi lain, sudut pandang ini hadir untuk memperkuat motif Sore melompat ke masa lalu: cinta. Anjay. Sore pernah bilang kepada Karlo bahwa ia tak memiliki mesin waktu. Oke, dia tidak punya mesin waktu. Lantas, bagaimana dirinya bisa membuntuti Jonathan di Kroasia waktu itu? Penonton tidak diberikan kepastian terkait hal ini. Jadi, anggap saja Sore sudah membuat perjanjian dengan iblis. Dan, saya kira ini satu-satunya kesempatan Sore untuk kembali ke masa lalu dan memperbaiki hidup Jonathan. Ternyata iblisnya baik. Sore bisa kembali ke masa lalu tak hanya sekali, tetapi ribuan kali. Anjay, ini menunjukkan kekuatan cinta.
Dari sudut pandang waktu, cerita berada di lini masa riil dan bersifat kekinian. Di sana, Jonathan memulai hidup sehat. Jonathan mencoba rela dengan latar belakang keluarganya. Jonathan kembali ke Indonesia. Jonathan bikin pameran. Jonathan bertemu Sore, tidak di pernikahan kakaknya. Tidak seperti yang di-spill Sore di lini masa yang lain.
Saya bingung dengan alur dan pewaktuan dalam film ini. Siapa yang tidak akan bingung? Mungkin Stephen Hawking. (Semoga dia bisa menonton Sore di akhirat.) Tapi akan saya coba urai keruwetan film ini secara singkat. Begini:
Ada banyak sekali percabangan lini masa dalam film Sore. Tentu ini gara-gara Sore. Setiap ia bangun tidur di samping Jonathan, satu lini masa tercipta di dunia paralel. Setiap lini masa ini saya satukan saja sebagai “lini masa Sore”. Ribuan percobaan dilakukan sore dan ini membuat saya khawatir. Jika sore tetap memaksakan kehendak untuk mengubah Jonathan menjadi lebih baik dan berhasil, justru di satu sisi yang berseberangan, bisa jadi ia sedang menyusun bencana lain di masa yang akan datang. Namun, cerita tak membiarkan Sore meraih keinginannya. Keputusan cerita yang oke. Apa yang bisa kita jangkau barangkali dapat kita ubah. Tapi memegang kendali penuh atas takdir, siapalah dirimu di hadapan semesta, Sore.
Ada juga “lini masa Jonathan meninggal”. Ini adalah lini masa yang hendak diperbaiki oleh Sore. Lini masa di mana Jonathan kecanduan rokok dan minuman keras, menikahi Sore dan meninggal karena terkena serangan jantung. Adegan Sore di Arktik adalah bagian dari lini masa ini yang menunjukkan gestur gamon (Gagal move on). Dan, rangkaian kolase di akhir film, menurut saya, bukanlah gambaran masa depan Jonathan dan Sore setelah bertemu di pameran, melainkan potongan-potongan cerita dari “lini masa Jonathan meninggal”.
Terakhir, “lini masa Jonathan sehat”. Lini masa ini bermula dari cerita yang sama dengan “lini masa Jonathan meninggal”, tetapi berbelok arah ketika dia merasakan “kerinduan” terhadap entah apa atau siapa, seperti yang ia katakan kepada Karlo. Dari situ, ia mulai membereskan hidupnya. Pertama, putus dengan Elsa. Kedua bertemu bapaknya. Ketiga, mulai hidup sehat. Dan terakhir, (saya ragu ini termasuk beres atau tidak) pulang ke Indonesia. Kira-kira seperti itu alur “lini masa Jonathan sehat”.
Lalu, apakah film ini berakhir sedih atau justru bahagia? Jawabannya terserah penonton, mau mengamini lini masa yang mana? Lini masa di mana Sore “terjebak” dalam waktu yang terus berulang dan menjadi Sisifus, lini masa di mana Jonathan bertambah keren sekian persen karena merokok, atau lini masa yang memberikan kemungkinan hidup Jonathan (dan kisahnya dengan Sore) lebih panjang? Kalau saya memilih untuk pipis dulu karena sudah di ujung. Gila.
Ketika keluar dari bioskop, Ra Afnan dan Ade sudah menunggu saya. Jari-jari Ra Afnan mengapit rokok, sedangkan mata Ade merah berair. Entahlah, mungkin saat menonton matanya kelilipan popcorn.
Ikrar Izzul Haq adalah penonton film Sore: Istri dari Masa Depan.
Editor: Putri Tariza