Apakah yang dicemaskan Sukarno, ketika dalam sebuah pidatonya, sang Singa Podium berkata, “Pangan merupakan hidup-matinya suatu bangsa. Apabila kebutuhan pangan tak terpenuhi, maka malapetaka”? Ia juga menghendaki ikhtiar daulat pangan yang masif, radikal dan revolusioner. Namun, bukankah kita memiliki kekayaan jenis bebijian dan umbi-umbian? Bukankah mustinya, ia tak perlu cemas?
Apa yang dicemaskan Sukarno sesungguhnya adalah monokulturalisasi sumber pangan. Sejak 1900-an, 75% keanekaragaman hayati telah hilang karena transformasi industri vernakular ke monokultur. Sementara dari 250-300 ribu spesies tanaman pangan yang diakui, hanya 150-200 yang dimanfaatkan, yakni beras, jagung, dan gandum. Gayung bersambut dengan fakta tersebut, kesadaran akan urgensi kedaulatan pangan tak berbanding imbang dengan kebijakan dalam mengupayakannya. Kebijakan-kebijakan di sektor pangan—semisal impor beras dan lahan monokultur, selama ini tampak hanya fokus pada aspek akumulasi material sehingga menafikan keanekaragaman. Impor beras menimbulkan efek fatal. Sementara penyeragaman pangan melalui kebijakan monokultur, menafikan kekayaan sumber pangan lokal yang negara ini miliki. Masalah kian pelik, sebab menyoal “pangan” sejatinya bukan hanya membincang perkara “perut”.
Bagi sebagian masyarakat, pangan juga menyangkut lokus sakral dan identitas komunal. Anda sekalian berhak syak. Namun, sadarkah bahwa di dalam kitab suci pun, makanan sering mengiringi kisah-kisah penting? Bukankah mitos kejatuhan adalah cerita sepasang manusia yang terusir dari surga, lantaran gagal menekan nafsu makan yang tak semestinya? Makanan, tak hanya berkedudukan sebagai pemenuh kebutuhan jasadi. Banyak tradisi (oral, tekstual, ritual) masyarakat agraris, hampir pasti melibatkan pangan—termasuk “tanaman pangan lokal”. Sayang, kepraktisan fungsi pangan yang seakan sejalan dengan pragmatisme masyarakat kiwari, membuat tak banyak orang menyadari, makanan—secara simbolis—juga menyangkut banyak hal.
Pangan merupakan tilas material dari sinergitas biologis, ekologis, sosial, serta simbolis yang mempertautkan tak hanya produsen dan konsumen, tetapi segenap makrokosmos yang mengitarinya. Ketika krisis pangan sebab malapraktik kebijakan terjadi, yang terancam sesungguhnya bukan saja kesintasan hidup manusia bersangkutan. Malapetaka itu juga bakal menyebabkan masyarakat mengalami disorientasi narasi mengenai “Siapa sejatinya mereka di dalam kosmos”.
Betapa pun telah terasimilasi oleh agama samawi, masyarakat tradisional lazimnya tetap mengintegrasikan spiritualitas mereka pada alam. Masyarakat petani Jawa di pedesaan, katakanlah, hampir pasti menghelat selamatan sejak sebelum benih ditebar hingga dituai. Dahulu, malam hari sebelum mulai menuai biji-biji padi yang telah menguning (tradisi ini disebut wiwitan), kaum tani di pedesaan Jawa melaksanakan upacara penghormatan kepada figur mistik kesuburan dan keanekaragaman pangan, yakni Dewi Sri. Dalam sebuah arak-arakan, anak-anak kecil membawa janur kuning, kembang setaman, kemenyan, kaca, suri, kendi berisi air, api, pala kependhem (umbi-umbian), nasi, serta pisang. Begitu arak-arakan itu sampai di sawah, dipimpin tetua desa, mereka melangitkan doa supaya hasil padi yang diketam berlimpah berkah.
Tradisi semacam wiwitan bertujuan untuk mengakui makanan sebagai sarana menjalin hubungan tertinggi antara langit dan bumi, jisim dan jiwa, manusia dengan sesama makhluk, bahkan manusia dengan Sang Khaliknya. Dalam selamatan semacam wiwitan, kita tidak hanya menyaksikan makanan menjadi simbol yang menghubungkan manusia dengan Sang Pencawis Rezeki, melainkan juga bahwa sesungguhnya, manusia tak bisa menepis takdirnya sebagai homo sosialis. Bahwa tak ada manusia yang sepenuhnya bisa hidup berkalang sepi bagai pertapa esoteris di gua-gua wingit.
Ritus religio-kultural masyarakat agraris, juga menyangkut paradigma manusia dalam hidup berdamping alam. Krisis ekologi, secara mendasar, lahir dari retaknya hubungan harmonis keduanya. Ia tak lahir dari ruang kosong, melainkan dari paradigma yang mekanistis nan reduktif dalam memandang alam. Namun, pada masa gaung lesung bahkan sudah asing di telinga kita, ritus demikian sering dianggap klenik. Akibatnya, alam dipandang sebagai keliaran yang hanya akan memiliki nilai jika sudah didomestikasi dan/atau dikomodifikasi, sehingga secara produktif menghasilkan komoditas bernilai jual. Tanah misalnya, hanya dianggap memiliki nilai jika ia dikelola dan menghasilkan komoditas global tertentu. Padahal, tanah juga menyangkut narasi keberadaan.
Dalam kosmogoni Jawa, misalnya, Hyang Manikmaya diyakini meniupkan empat unsur alam ke bakal jasad manusia, meliputi tirta, maruta, siti, dan agni. Siti, kita tahu, adalah tanah. Aktivitas pertanian berikut tradisi yang menyertainya, artinya, lebih dari aktivitas produksi, diawiti tandur dipungkasi ketam. Mengolah tanah dengan segenap kesadaran etis menakziminya laiknya tubuh, merupakan usaha manusia menegaskan asal-usul sekaligus takdir. Sebab alam bukan sekadar lumbung yang dibangun Sang Koki Agung untuk menyumpal ronta lambung manusia.
Ritus religio-kultural agraris dengan mengharmoniskan iman-spiritual kepada alam, bukan semata sarana menjalin hubungan dengan Sang Pencipta. Ketakziman pada alam serta segenap entitasnya, termasuk “roh-dewa-dewi” yang diyakini semayam di dalamnya, melahirkan keselarasan. Merumat keanekaragaman sumber pangan lokal sejatinya tidak hanya merupakan ikhtiar menghindarkan nasib dari rahang malapetaka. Merumat pangan lokal, berarti meramut narasi-kebudayaan mengenai diri-sejati bangsa di tengah situasi Indonesia yang semakin disorientasi narasi. Ketika sumber pangan lokal—semisal pala kependhem yang juga menjadi anasir penting ritus tertentu—punah, kita sesungguhnya kehilangan sebuah local wisdom. Tak hanya mengenai sumber pangan yang tak terpermanai jenisnya, melainkan juga sistem konservasi yang telah diwariskan pitarah (*)
Yohan Fikri adalah penyair dan kritikus sastra.
Editor: Putri Tariza