Menu

Mode Gelap
Kawin Silang Ekonomi Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

Esai Budaya

Sirkus Lumba-Lumba


					Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Sesuatu yang saya ingat setiap menonton berita tentang kebijakan tak masuk akal pemerintah ialah sirkus lumba-lumba. Tiap kali televisi menayangkan berita perihal peraturan-peraturan terbaru, saya seakan sedang menyaksikan lumba-lumba yang berlompatan di kolam, melewati rintangan, dan melakukan berbagai akrobat lain yang membuat penonton bertepuk tangan. Alih-alih fokus menyimak sang reporter, kepala saya malah dipenuhi lumba-lumba sirkus.

Pikiran tersebut datang pada suatu malam jelang ujian akhir semester perkara struktur hewan. Malam itu pun saya habiskan dengan usaha menelan semua materi yang tak saya acuhkan selama satu semester. Alhasil, saya kelimpungan sepanjang malam gegara banyaknya materi yang kudu saya pahami. Dan ketika saya membuka bagian tentang struktur otak, sesuatu menarik perhatian.

Kita tentu tahu bahwa manusia merupakan satu-satunya (atau setidaknya sampai saat ini) organisme dengan kapasitas kognitif paling kompleks. Bukan lantaran ukuran otaknya yang besar, sebab massa otak kita tentu tak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan otak paus. Memang kemampuan kognitif mayoritas Animalia berkaitan erat dengan rasio ukuran otak dengan tubuh—biasa disebut ensefalisasi. Namun, dari sisi fisiologi, otak Homo sapiens memang memiliki suatu konstruksi unik. Struktur tersebut menunjang otak manusia dan beberapa hewan lain untuk memiliki superior thinking skills. Bentukan itu disebut sulkus dan girus.

Sulkus dan girus adalah lekuk-lekuk yang terdapat di serebrum kita. Dua komponen tersebut eksis di otak kebanyakan mamalia, menjadikan permukaan otak besar mereka lebih luas dibanding tengkoraknya. Makin luas permukaan otak berarti bertambahnya jumlah neuron, yang juga berarti peningkatan kapasitas informasi yang dapat diproses. Semakin banyak lipatanlipatan otak suatu organisme, semakin berkembang pula kemampuan pikirnya. Maka, struktur yang tampak cuma bikin bentuk otak kita seperti apel busuk, ternyata punya suatu dampak masif, membuat kita mampu melakukan lebih dari sekadar berpikir soal bertahan hidup. Berkat sulkus dan girus, kita bisa memproses bermacam informasi kompleks: analisis, membangun budaya, mencipta karya seni, berpolitik, dan kemampuan superior lainnya.

Akan tetapi, walau manusia merupakan anggota Animalia dengan tingkat pengolahan informasi tertinggi, kita bukanlah makhluk yang memiliki struktur sulkus dan girus paling masif. Lumba-lumbalah yang justru dianugerahi struktur itu dengan jumlah melimpah, melangkahi yang dimiliki manusia. Lumba-lumba—terutama lumba-lumba hidung botol, dari segi  encephalization quotient (EQ) memang lebih tinggi di atas binatang lainnya tapi masih di bawah manusia. Walau begitu, struktur otak besar dalam batok kepala lumba-lumba mestinya sanggup membuat satwa tersebut—paling tidak—punya kemampuan berpikir dasar.

Lumba-lumba jelas dianugerahi kecerdasan di atas rata-rata dalam Kingdom Animalia. Lumba-lumba yang terlatih dapat menunjukkan kemampuan berhitung dasar—meski menurut saya ini efek Clever Hans, melakukan atraksi, hidup bersosial, melompati rintangan, dan berkomunikasi—bahkan dengan manusia. Akan tetapi, tetap saja tidak pernah kita temukan lumba-lumba sebagai makhluk berbudaya layaknya kita, walau dari sisi fisiologis otak, mereka mestinya cukup punya kapasitas untuk itu. Silahkan googling “perbandingan struktur otak manusia dan lumba-lumba” dan akan tampak bagaimana arsitektur otak lumba-lumba memiliki lekukan dan lipatan yang jauh lebih banyak. Saya bertanya-tanya, bukankah mestinya mereka bisa berpikir? Atau paling tidak, harusnya mereka bisa paham logika basis.

Seketika saya terkejut. Saya seolah dilanda dejavu. Rasa-rasanya, saya pernah membatin pertanyaan itu sebelumnya. Lama saya hentikan apa yang saya lakukan sambil mengingat-ingat. Sampai kemudian saya sadar bahwa kalimat tersebut pernah saya ucapkan dalam hati saat melihat berita tentang kebijakan pemerintah akhir-akhir ini yang rasanya tak masuk akal. Berita macam itu banyak berseliweran, baik di media sosial maupun televisi.

Sering saya merasa kalau kebijakan-kebijakan yang dibuat sistem pemerintahan kita absurd. Bahkan, dengan logika dasar pun, peraturan-peraturan tersebut sukar dimengerti. Ketidakmasukakalan itu saya dalami lagi dengan membaca teori-teori yang berkaitan dengan kebijakan terkait. Beberapa baru saya ketahui landasan teoritisnya ketika tahap kritisasi tersebut. Namun, lebih banyak lagi, tidak. Saya tetap tak bisa memahaminya.

Sudah jadi rahasia umum bahwa mayoritas kebijakan dan keputusan yang dibuat pemerintah lebih mengutamakan popularitas alih-alih rasionalitas. Padahal, bila kita melihat riwayat pendidikan para pejabat yang berwenang merancang dan meresmikan kebijakan itu, kebanyakan dari mereka telah menempuh jenjang sekolah yang lebih tinggi ketimbang mayoritas masyarakat negeri ini.

Kebijakan Gubernur Jawa Barat, misalnya, perihal vasektomi sebagai solusi kemiskinan daripada rehabilitasi perokok penerima bansos yang, bagi saya, lebih masuk akal mengingat tingginya angka pengeluaran rumah tangga demi batang berasap itu. Atau kebijakannya mengirim anak nakal ke barak militer. Atau, aturan pemerintah perihal pembatasan gratis ongkos kirim untuk kesejahteraan kurir alih-alih merevisi omnibus law demi perlindungan hak-hak pekerja. Atau kebijakan membangun ibu kota baru padahal kita semua tahu bukan itu yang negara ini butuh. Atau penahanan beberapa warga sipil yang bersuara dalam May Day. Atau komentar mereka yang memarjinalkan kelompok anarkis setiap terjadi rusuh. Mayoritas kebijakan, keputusan, dan komentar tersebut, anehnya, diterima luas di masyarakat yang, saya pikir, memang kurang kritis.

Kerap kita temui, orang-orang mengiyakan saja—bahkan mendukung—apapun kebijakan yang dibuat. Beberapa mungkin karena fanatik, beberapa lainnya bisa jadi karena minim literasi dan tak betul-betul paham implikasi dari kebijakan ngawur pemerintah. Atau, sebagian orang agaknya telah putus asa dalam perjuangan melawan ketidakadilan. “Biarkan saja, Mbon,” ucap seorang teman kala saya membahas betapa konyol kebijakan perkara dwifungsi TNI—meski mereka menolak istilah ini. Tunggu. Akan tetapi, sekalipun kita bersuara, apa mereka bakal dengar?

Ah, benar juga. Bukannya dalam sirkus lumba-lumba memang begitu? Kita sebagai penonton hanya bisa melihat makhluk yang harusnya cerdas itu bermain-main, melakukan atraksi yang terlihat menakjubkan, mematuhi sang pawang—bukannya penonton yang mengeluarkan uang untuk hidup mereka. Hingga pada akhirnya, satu-satunya yang dapat kita lakukan sebagai penonton hanyalah bertepuk tangan.



Naufal Rifky Ramadhan belajar biologi di Universitas Negeri Malang.

Editor: Asief Abdi

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Kawin Silang Ekonomi Politik

4 Oktober 2025 - 13:00 WIB

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka
Banyak dibaca di Esai Budaya