Menu

Mode Gelap
Kawin Silang Ekonomi Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

Esai Budaya

Intuisi Jatuh Cinta


					Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Jatuh cinta tak punya logika. Setidaknya begitu menurut Agnes Mo dan Vina Panduwinata. Cinta dianggap ledakan abstrak yang melibatkan elemen-elemen irasional. Cara kerjanya dianggap misterius dan esoteris. Sejak pertemuan pertama, sepasang Homo sapiens bisa mengalami ketertarikan spontan dan koneksi emosional meski tak saling kenal serta belum sempat melakukan penalaran secara mendalam. Karena tak punya penjelasan masuk akal mengapa hal itu bisa terjadi, orang mengira jatuh cinta terjadi karena intuisi.

Tak hanya perihal asmara, dalam kehidupan sehari-hari, pada dasarnya manusia, sebagaimana hewan, bereaksi secara intuitif. Gerak hati sering datang tiba-tiba dan kemunculannya dianggap tak melibatkan olah pikir. Bahkan, Jonathan Haidt seakan membedakan intuisi dan logika dengan kalimat ikoniknya dalam Righteous Mind: Intuisi dulu, nalar kemudian.

Maka, intuisi sering kali dianggap kata hati yang bersifat emosional. Atau, lebih jauh lagi: bisikan Tuhan. Padahal, sesungguhnya intuisi pun merupakan hasil kinerja sel otak melalui proses yang kompleks. Untuk memahaminya, terlebih dahulu kita harus mempelajari bagaimana kerja otak dalam menilai dan memutuskan sesuatu.

Semua berawal dari indra. Bayangkan indramu mencerap rangsang. Dalam kasus “cinta”, kamu menatap wajahnya, mendengar suaranya, dan merasakan kehangatan menjalar ke sekujur tubuh saat berjabatan tangan. Semua informasi tersebut diproses dalam korteks serebrimu. Untuk itu, otak akan mengakses data yang kamu miliki sebelumnya.

Ihwal ruang penyimpanan data ini, Sigmund Freud mengandaikannya seperti gunung es. Ia membaginya menjadi tiga: sadar, prakesadaran, dan ketidaksadaran. Area sadar berada di puncak gunung es yang sempit dan terbatas, sedangkan ketidaksadaran berada di dasar gunung es yang maha luas. Data-data tersebut bisa bersifat bawaan atau sudah kita miliki sejak lahir—karena otak kita ternyata bukan tabula rasa atau kertas kosong. Ada pula yang kita dapatkan dari pembelajaran dan pengalaman hidup.

Dengan mencocokkan pencerapan indra dan data, otak akan memberikan penilaian dan kamu akan tahu harus berbuat apa terhadap orang itu. Apakah akan menendangnya, lantas lari (karena kamu mempersepsikannya sebagai bajingan pembunuh berantai), atau membalas senyumnya yang manis dan merasa bahwa ia jodohmu.

Akurat atau tidaknya sebuah penilaian bergantung pada data yang kita punya. Bila diibaratkan, data-data tersebut seperti titik-titik dalam otak yang antara satu sama lain berusaha dihubungkan melalui kerja neuron. Kecenderungan otak memang begitu: berupaya mengasosiasikan informasi. Bila datanya cukup lengkap, proses ini akan berjalan cepat, efektif, dan efisien. Celakanya, bila data itu kurang atau rumpang, dalam upaya mengambil keputusan, otak memiliki kecenderungan untuk “menutup lubang”.

Kinerja ini identik dengan mekanisme pencerapan indra visual. Sesungguhnya lanskap yang kita lihat tidaklah lengkap lantaran adanya bintik buta pada retina. Jadi, dalam pencerapan visual di otak kita, seharusnya ada bagian gambar yang kosong, seperti bercak putih pada cetakan foto. Akan tetapi, kenyataannya tidak demikian. Lanskap yang kita lihat tetap utuh karena otak menambal lubang itu. Bayangkan, kinerja semacam ini berlangsung untuk “menutup” data yang rumpang. Apa lagi yang digunakan untuk menutupnya selain praduga? Hasilnya tentu saja simpulan yang jenuh subjektivias belaka.

Lantas, bagaimana cara kerja intuisi? Mengapa kamu bisa langsung memutuskan bahwa kamu jatuh hati, bukannya lari lantaran menganggapnya pembunuh berantai? Meski, bisa jadi penilaianmu salah dan kamu malah jatuh cinta pada bedebah red flag, misalnya. Namun, saat itu terjadi, tubuhmu seakan tahu jawabannya dan mewartakan melalui gestur serta pertanda. Jantungmu jumpalitan, nadimu berlari kencang, dan lidahmu mendadak gagu.  

Bisa dibilang, otakmu sudah menentukan jawaban melalui kinerja otomatis dan itu terlihat pada bahasa tubuhmu. Sebab, gestur merupakan sekumpulan ekspresi yang lebih jujur, sedangkan kata-kata, sebagaimana yang ditulis Mariano Sigman dalam Secret Life of the Mind, hanya bisa mendedahkan fragmen-fragmen kecil dari apa yang ada di benak kita. Ia mengibaratkan hal tersebut dengan pesepak bola yang mahir menjebol gawang, tapi kesulitan mendeskripsikannya melalui kata-kata.

Proses intuisi yang otomotis muncul dengan kecepatan bukan main. Mungkin bisa disamakan dengan refleks pada proses gerak motorik.  Dalam sebuah eksperimen, Alex Todorov menemukan bahwa mekanisme tersebut berlangsung singkat. Ketika ia memperlihatkan foto wajah-wajah kandidat dengan cepat, dalam sepersepuluh detik saja, orang sudah bisa membuat penilaian perihal kompetensi mereka. Mungkin teori ini bisa menjelaskan mengapa calon-calon wakil rakyat di negara kita lebih banyak memajang foto dengan senyum artifisial daripada membentangkan program-program mereka.

Walau intuisi juga merupakan kinerja otak, kita kerap tak bisa menemukan alasan yang mendasarinya. Misalnya, mengapa kita jatuh cinta kepada orang tertentu, bukan kepada yang lain. Sebab, selama proses otomatis itu, otak mengakses area ketidaksadaran. Bisa saja matanya mirip mantanmu yang cerdas dan kamu mengasosiasikan bahwa keduanya sama-sama pandai. Hal ini diamini George Lakoff dan Mark Johnson dalam Philosophy in the Flash. Menurut keduanya, otak lebih banyak mengakses area ketaksadaran, yang merupakan 95% dari pikiran kita, yang mencakup operasi kognitif otomatis dan pengetahuan implisit.

Walau begitu, sesungguhnya intuisi punya alasan rasional demi kesintasan. Untuk membuktikan hal itu, biolog Swiss, Claus Wedekind, melakukan percobaan menarik dengan tikus laborat. Ternyata, hewan coba tersebut memilih pasangan melalui indra penciuman. Mereka cenderung memilih pasangan dengan imunitas terhadap penyakit yang berbeda. Seleksi macam itu membantu populasi tikus menghasilkan keturunan yang lebih tahan terhadap berbagai macam penyakit.

Lalu, Wedekind mengaplikasikan eksperimen tersebut pada manusia. Ia mengukur kadar MHC (Major Histocompatibility Complex), gen yang terlibat dalam pengaturan sistem kekebalan. Hasilnya mencengangkan: Perempuan cenderung tertarik kepada aroma pria dengan MHC yang berbeda. Dengan kata lain, feromon kita bisa jadi mewartakan banyak informasi tersembunyi, seperti imunitas, kesuburan, atau bahkan profil psikologis.

Salah satu hipotesis pemilihan pasangan secara psikologis: Manusia cenderung memilih pasangan berdasarkan luka batin. Misalnya, seorang perempuan yang masa kecilnya pernah mengalami pengabaian dari sang ayah—yang di kemudian hari memiliki kepribadian pencemas—saat dewasa kemungkinan besar akan tertarik kepada pria berwatak identik dengan sang ayah (sang penghindar). Luka psikologis tersebut memengaruhi ketidakseimbangan neurotransmiter. Bukankah tidak mustahil bila trauma itu akan mewujud sebagai “aroma” yang mampu diendus orang lain di ketaksadarannya?

Masalahnya, ketika Homo sapiens hidup dalam sekat-sekat rigid norma dan dogma yang mengatur hubungan perkawinan, menentukan pasangan akan jadi perkara kompleks. Hal ini harus dipikirkan dengan berbagai pertimbangan yang rumit. Memilih pasangan tidak semudah memilih sabun mandi di rak minimarket yang dapat dilakukan secara sadar. Kita akan memilih merek tertentu karena wangi dan mengandung antiseptik, misalnya. Dalam memilih pasangan, mestinya kita melakukannya dengan cara demikian, yaitu menggunakan kesadaran penuh. Contohnya, dengan mempertimbangkan standar pasangan ideal menurut petuah Jawa: bibit, bebet, bobot. Akan tetapi, menurut eksperimen psikolog Belanda, Ap Dijksterhuis, ternyata pemikiran itu salah.

Dalam percobaannya, ketika aspek yang dipertimbangkan tidak banyak, seperti saat memilih sabun mandi, pemikiran sadar akan menjanjikan kepuasan yang lebih baik. Namun, bila aspek yang dipertimbangkan banyak dan kompleks, seperti saat membeli perabot, subjek penelitian mengaku lebih puas ketika menggunakan intuisi. Dengan asumsi yang sama, dalam pilih-pilih pasangan, Dijksterhuis berpendapat bahwa akan lebih baik bila kita mempercayakannya pada intuisi.

Dasar teorinya: Ketika menggunakan nalar sadar, Homo sapiens hanya mengakses area kesadaran yang sempit. Sementara itu, saat menggunakan intuisi, seseorang akan mengakses gudang ketidaksadaran yang luas seperti dasar gunung es. Meski tampak rasional, simpulan tersebut tetap dianggap kontroversial hingga kini.

Jadi, intuisi yang dianggap misterius, spontan, dan tak masuk akal, sesungguhnya tidak magis-magis amat. Ada basis rasionalisasinya yang bahkan bisa menghasilkan keputusan lebih tepat. Maka, sudah siapkah kamu jatuh hati menggunakan intuisi?  



Sasti Gotama adalah dokter dan penulis. Ia menerima penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa, Hadiah Sastra Rasa, dan Anugerah Sabda Budaya.

Editor: Asief Abdi

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Kawin Silang Ekonomi Politik

4 Oktober 2025 - 13:00 WIB

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka
Banyak dibaca di Esai Budaya