Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Kritik Seni

Mencari Pengarang


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq

Saya belum membaca cerpen-cerpen dalam Musik Akhir Zaman karya Kiki Sulistyo sepenuhnya, tetapi bisa dipastikan bahwa saya sudah sepenuhnya terkesan ketika baru selesai membaca cerpen kelima, “Pemeran Utama Langsung Mati pada Menit Pertama”. Ternyata, rasa terkesan saya tidak berhenti di situ. Cerpen keenam, ketujuh, dan seterusnya tidak gagal membuat saya tersenyum, sambil mengernyitkan dahi. 

Ada beberapa cerpen yang menarik untuk “diperkarakan” lebih lanjut. Namun, esai pendek ini akan berfokus pada “Pemeran Utama Langsung Mati pada Menit Pertama”. 

Dibuka dengan kalimat langsung yang bombastis dari M. Jakanwir, pembaca akan segera mengira cerpen ini berbicara soal teater atau film atau hal lain yang mirip dengan teater atau film. Atau sederhananya cerita. Setelah itu, fokus pembaca akan segera teralihkan kepada tokoh Susana dan penghadiran “hantu gentayangan” pada kalimat selanjutnya. Dua kalimat yang begitu kuat sebagai pembuka.

Kalimat pertama yang dikatakan M. Jakanwir, atau yang kemudian menjadi judul cerpen ini, sejak awal adalah sesuatu yang tabu. Bagaimana mungkin sebuah pertunjukan atau cerita berjalan jika sejak menit pertama si pemeran utama telah mati? Memang, bisa saja cerita bergerak mundur dengan menggunakan siasat kilas balik. Namun tetap saja, ia bukanlah sesuatu yang lazim dan tampak asal bunyi saja. Terbukti kemudian ketika tokoh Saya mengatakan bahwa dirinya tidak bisa membayangkan bagaimana cerita akan berjalan tanpa pemeran utama. Alih-alih menjelaskan, M. Jakanwir justru melempar tanggung jawab dengan sebuah pertanyaan, “Bagaimana kalau kamu yang menulis ceritanya?” Tapi kita belum yakin betul, apakah M. Jakanwir adalah orang yang sepenuhnya bertanggung jawab atas jalannya cerita, ataukah yang lain.

Nuansa metafiksi cerita ini menguat ketika tokoh Saya menjawab pertanyaan M. Jakanwir tadi: “Saya kan cuma tokoh cerita, bukan pengarang cerita.” Dalam elakan tokoh Saya ketika diminta menjadi pengarang, terdapat kesadaran bahwa ia sebenarnya berada dalam sebuah skenario cerita. Namun, keanehan muncul kembali melalui permintaan M. Jakanwir yang meminta tokoh Saya mencarikan pengarang cerita. Dengan adanya dialog antara tokoh Saya dan M. Jakanwir dan apa-apa yang mereka lakukan, bukankah itu sebenarnya telah diatur oleh seseorang atau sesuatu?

Menarik melihat hasrat para tokoh untuk menemukan sosok pengarang dalam cerita ini. Seperti manusia yang ingin bertemu dengan Tuhannya.

Pengarang telah hadir sejak awal dan ia berada dalam dimensi yang lain sama sekali dengan para tokoh. Ketika tokoh Saya tiba-tiba tahu bahwa Sungai Tiberias mengering padahal itu adalah mimpi Susana, M. Jakanwir berkata bahwa si pengaranglah yang telah memberi pengetahuan itu kepada tokoh Saya. 

Awalnya, saya mengira tokoh dalam cerpen yang paling mendekati peran pengarang adalah M. Jakanwir. Namun, dugaan itu patah ketika tokoh Saya mengatakan kepada Susana bahwa M. Jakanwir bukanlah pengarang, melainkan sutradara. Keterkaitan antara sutradara dan pengarang, bolehlah kita katakan dekat. Secara keseluruhan, cerita ditulis oleh seorang pengarang, tetapi secara spesifik terutama terkait dengan hal-hal teknis, cerita “ditulis” oleh sutradara. Sutradara berperan pada wilayah yang detail dan yang bersifat spontan, seperti yang ia katakan di awal cerita bahwa pemeran utama akan langsung mati pada menit pertama, dan cerita dimulai.

Dugaan kedua jatuh pada tokoh Saya. Dugaan ini lebih kuat karena paling tidak dia tak memegang peran sebagai sutradara. Yang menarik adalah ketika dia berkata, “Baiklah. Akan Saya ceritakan semuanya,” ketika ia diminta M. Jakanwir untuk melanjutkan celotehannya tentang siapa si pemeran utama. Dan dimulailah cerita bagaimana tokoh Saya membuat sebuah perjanjian dengan Susana. M. Jakanwir pun bertepuk tangan ketika cerita itu selesai. Sutradara itu mengatakan plot cerita tokoh Saya membingungkan. Padahal tokoh Saya bercerita dengan plot yang lempang.

Identitas Saya terungkap dalam ceritanya sendiri, bahwa ia adalah seorang tokoh dari naskah teater yang dikarang oleh Susana. Akan tetapi, cerita ketika ia menjadi aktor dari naskah Susana berada dalam kerangka cerita lampau. Kini, ia bukan lagi tokoh. Dan Susana hanya menjadi pengarang dalam pengisahan lampau tokoh Saya. Lagi pula, tuturan cerpen yang hadir dalam sudut pandang orang pertama membuat dugaan kedua ini perlu dipertimbangkan.

Terlepas dari aspek metafiksinya, cerpen ini bergerak acak tetapi tetap memperhitungkan keterhubungan antarunsur, sehingga yang tampak di hadapan pembaca adalah paradoks. Pembaca sekan digiring oleh cerpen untuk mencari-cari pengarang dan menerka-nerka, hanya untuk kembali ke adegan yang ada di awal cerita. 

Cerpen “Pemeran Utama Langsung Mati pada Menit Pertama” seolah menantang logika pembaca untuk mengurai kisah yang sengkarut. Situasi penuh tantangan ini semakin menarik dengan durasi cerita yang singkat. Barangkali, cerpen ini pula yang membuat Musik Akhir Zaman masuk dalam Daftar Pendek Kusala Sastra Khatulistiwa 2025 Kategori Cerpen. Aspek keperajinan Kiki Sulistyo tampak matang dalam cerpen ini.

Ikrar Izzul Haq adalah pembaca sastra.

Editor: Asief Abdi

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Memandang Cinta dari Jauh

3 September 2025 - 16:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni