Tidak semua orang bisa berhalusinasi. Meski begitu, sebagian orang dapat mencecapnya. Salah satunya saya. Saat menginap di vila perkebunan teh, saya mengalami kelumpuhan tidur. Istilah orang Jawa: ketindihan. Tengah malam, saya terjaga. Mata saya terbuka. Sekujur tubuh terasa lumpuh. Dada saya sesak. Berat. Ada sosok asing yang menghimpit saya. Wajah kusamnya mengerikan. Ia meringis persis di film horor kodian. Saya dicekam kengerian. Ketika akhirnya saya mampu berteriak, sosok pocong itu menghilang.
Kebanyakan kepercayaan meyakininya sebagai kuasa iblis. Namun, sains telah mengidentifikasi kondisi tersebut sebagai sleep apneu. Kondisi henti napas sesaat kala tidur membuat saya kekurangan oksigen. Inilah yang membuat saya berhalusinasi.
Bagaimana halusinasi bekerja? Sebelum masuk ke ranah itu, ada baiknya kita tahu bagaimana persepsi terjadi. Sebagaimana robotika, tubuh kita terbagi atas tiga bagian: sensor, sistem kontrol, efektor. Sensor—perangkat penerima rangsang—di tubuh kita adalah pancaindra. Segala rangsang yang diterima sensor akan dibawa ke pusat kontrol, yaitu otak. Data dari sensor, semisal bau kentut yang diterima sel olfaktorius, akan diolah di otak. Lalu, terciptalah persepsi: bau busuk. Hasil pengolahan otak itu akan diteruskan ke efektor. Ke otot tangan, misalnya, sehingga tangan terangkat dan menutup hidung.
Sekarang bayangkan alur tiga titik itu terbegal. Otak menciptakan persepsi tanpa adanya rangsang. Ibaratnya, ada saklar dalam otakmu yang spontan mengaktifkan sel kelabunya sendiri. Ini sudah dibuktikan oleh Wilder Penfield, ahli neurofisiologi Kanada. Ia memberi stimulus listrik ke wilayah tertentu otak. Hasilnya? Itu memicu halusinasi skala penuh.
Jadi, misalnya saja, tanpa adanya rangsang, secara otonom dan spontan terjadi loncatan kelistrikan di lobus temporalismu, kamu bisa mendengar suara kakek buyutmu yang sudah meninggal belasan tahun lalu dan menyuruhmu cari pacar orang Magetan, padahal kamu sedang sendirian. Atau bila yang tereksitasi adalah lobus oksipital, kamu bisa sekonyong-konyong menyaksikan sesosok alien turun dari piring terbang, yang kemudian menculikmu dan mencuri sel telurmu.
Itulah yang “dialami” oleh Betty Hill dari New Hampshire pada 1961. Kejadian ini dicatat oleh Carl Sagan dalam The Demond-Haunted World. Betty memerinci sosok makhluk itu: serupa manusia berhidung panjang, bertubuh pendek, dan berwarna kelabu. Ia juga menjelaskan peta ruang antarbintang yang menunjukkan rute kapal antariksa itu. Bagimu sekarang mungkin tampak menggelikan. Akan tetapi, pada waktu itu, ucapan Betty mendapat dukungan khalayak ramai yang memercayai unidentified flying object (UFO) dan extraterrestrial (ET). Kehebohan mereda ketika akhirnya Martin S. Kottmeyer menunjukkan bahwa tuturan Betty identik dengan salah satu film yang telah rilis sebelumnya, Invader from Mars, keluaran 1953.
Sekarang, coba kita runut kronologinya. Bisa jadi, entah sengaja atau tidak, Betty menonton film tersebut. Atau barangkali ia hanya menatap sekilas poster film itu dan melupakannya. Walau begitu, informasi tersebut tersimpan di salah satu ceruk sel kelabu otaknya. Hal seperti ini sering terjadi kepada kita. Saat memori itu teraktifkan kembali, kita pun dilanda déjà vu. Pada suatu waktu, terjadi eksitasi otonom spontan di titik tersebut. Visualisasi itu bangkit kembali dan Betty Hill mengalami halusinasi visual.
Oleh karena itu, kebanyakan halusinasi visual merupakan penampakan sosok atau gambaran yang pernah “dicerap” sebelumnya, entah dari film (seperti kasus Betty), buku, atau lukisan. Seorang pasien yang mengaku bahwa halusinasinya adalah sosok The Scream bisa dipastikan pernah melihat lukisan Edward Munch itu entah di mana. Maka, saya pun berhalusinasi pocong, bukan inkubus. Hampir mustahil bila orang Boyolali berhalusinasi Valak yang ngantre beli sate dua ratus tusuk atau Sadako yang keluar dari bak mandi.
Lantas, mengapa kebanyakan halusinasi visual berwujud sosok mengerikan? Beberapa pemikir beranggapan mimpi buruk dan halusinasi hampir identik. Schopenhauer misalnya, menyebut mimpi sebagai kegilaan singkat, dan kegilaan sebagai mimpi yang panjang. Atau Krauss yang menyatakan bahwa kegilaan adalah mimpi yang terjadi saat indra terjaga. Bersebab itu, bisa jadi mekanismenya hampir sama.
Freud berpostulat dalam Interpretation of Dreams bahwa secara etiologi, mimpi berasal dari harapan yang tak terwujud di dunia nyata. Hanya saja wujudnya berupa simbol. Pada mimpi buruk, simbol-simbol yang muncul tidak utuh dan terdistorsi sehingga kadang menjelma figur atau bentukan yang menakutkan. Bila terjadi dalam kondisi sadar, ia akan menjadi halusinasi. Pada kasus tertentu, misalnya skizofrenia paranoid, halusinasi juga terjadi lantaran adanya splitting ego atau pemisahan ego. Ego tambahan ini biasanya berperilaku seperti superego yang melakukan autokritik kepada ego asali. Biasanya si ego tambahan begitu cerewet menyalahkan dan mengatur ego asali. Pada kasus ekstrem, ia sanggup menyuruh seseorang membakar diri atau menembak istri presiden.
Namun, tak selamanya halusinasi visual berupa sosok yang bikin kita lari terbirit-birit. Dari perbincangan di Quora, saya mencatat beberapa hal menarik. Annie mengaku halusinasinya berupa Emily, kucingnya yang telah lama mati, sedangkan Emilie Morgan berhalusinasi gadis kecil berambut pirang dan bocah lelaki yang mengajaknya menggambar. Lantas, jangan lupakan Natalie Vincent, sosok dalam film seri Perception yang tak lain adalah halusinasi dari Daniel Pierce, si tokoh utama. Keberadaan Natalie agaknya membikin hidup Daniel tak neraka-neraka amat. Malah, bisa jadi ia bahagia oleh kemunculan Natalie yang tak nyata.
Menariknya, halusinasi bisa dialami orang yang normal secara mental. Carl Sagan pernah menyitir hasil survei berulang yang dilakukan The International Census of Waking Hallucinations di London bahwa 10 sampai 25 persen orang biasa yang berkondisi baik, setidaknya, sekali seumur hidup, pernah mengalami halusinasi yang sangat nyata. Bentuknya bisa bermacam-macam: sosok orang suci, aroma bunga kantil yang menghantui, bahkan musik gamelan zaman Kerajaan Kadiri. Dalam kondisi biasa, halusinasi ini bisa dipicu demam tinggi, migrain, stres, epilepsi, kebanyakan begadang, deprivasi indra (misal orang yang dikurung sendirian dalam sel isolasi), kesepian kronis, atau usai mengonsumsi halusinogen seperti ganja atau kecubung.
Laku pemicu halusinasi bisa dengan sengaja dilakukan seseorang. Tempat praktik saya dulu berada di dekat bukit yang di lerengnya terdapat beberapa gua. Di sana banyak orang bertapa. Salah seorangnya, perempuan berambut panjang sepinggang, pernah turun gunung dan menemui saya. Ia mengaku berasal dari Bogor dan telah menyepi berhari-hari sembari berpuasa. Deprivasi indra, kesepian kronis, dan rasa lapar, bersekutu menjadi satu. Saya tak heran kalau kemudian ia mengaku bertemu Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan, yang memberinya wangsit nomor togel paling gacor. Meski begitu, petapa lain agaknya menyepi demi tujuan yang jauh dari kilau banal duniawi: mencicip pengalaman transenden, keramat, dan ilahiah demi visi adiindrawi.
Patut diwaspadai bila halusinasi menetap tanpa pemicu yang jelas. Bisa jadi itu psikosis. Dari enam kelompok gejala yang menjadi dasar diagnosis skizofrenia, halusinasi termasuk dalam golongan gangguan persepsi. Simtomnya harus jelas dan setidaknya menetap selama satu bulan. Tujuh puluh persen halusinasi itu berupa halusinasi auditori. Suara yang teramat nyata tersebut biasanya julid, berkomentar terus-menerus terhadap perilaku pasien atau mendiskusikan perihal pasien, atau suara dari salah satu bagian tubuh.
Saking begitu nyatanya halusinasi tersebut, penderita galibnya amat yakin kalau yang ia alami adalah realitas. Seorang perempuan di Kanada begitu kekeuh bahwa ia diculik Alien berulang kali. Ia baru berhenti ngotot setelah Michael Persinger, ahli neurosains memberinya karbamazepin yang meredakan rangsang spontan pada lobus temporal. Halusinasinya mendadak lenyap. Banyak kasus serupa di pelosok dunia lain. Ingat perempuan di negeri kita yang mengaku dibisiki wahyu oleh malaikat Jibril? Ia orang yang sama yang mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi untuk meminta izin mendaratkan UFO di Monas.
Mungkin kamu nyengir sekarang. Tapi cengiranmu akan hilang kalau kamu yang mengalaminya sendiri. Halusinasi pada skizofrenia bisa maujud sosok orang suci atau bahkan Tuhan. Pengidapnya bakal terpukau oleh suara jernih nan berkuasa. Belum lagi bila sosok tersebut memberimu mandat menjadi orang suci. Semua bakal makin parah bila sense of reality-mu ambrol dan kamu didekap waham. Bisa-bisa, bukannya lari ke poli psikiatri, kamu malah membuka medsos dan mendeklarasikan diri sebagai nabi.
Sasti Gotama adalah dokter sekaligus penulis prosa fiksi. Karya-karyanya pernah menjadi buku sastra pilihan Tempo 2024 dan 2020, pemenang pertama Hadiah Sastra Rasa 2022, cerpen pilihan Kompas 2020 dan 2023, pilihan juri Sayembara Novel DKJ 2023, dan pemenang kedua Sayembara Naskah Teater DKJ 2024.
Editor: Asief Abdi