Ide Awal
Di semester awal masuk kuliah, saya lekas mendapati semacam kejutan dan kenyataan bahwa berkuliah di jurusan sastra saya tidaklah disiapkan untuk menjadi penyair atau pengarang—melainkan menjadi seorang kritikus, sejarawan, dan juga akademisi sastra. Seiring berjalannya waktu, dengan serangkaian soal, saya pun memutuskan untuk menulis esai-esai tentang jurusan sastra dan berupaya meluruskan apa-apa yang selama ini disalahpahami. Bahkan, hal yang demikian mencapai sejenis puncak saat saya mesti merampungkan tugas akhir berupa skripsi.
Kemudian, ketika saya mengajar bahasa dan sastra di sebuah SMK, saya dapati sesuatu yang lain lagi tentang sastra: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Perbincangan dengan seorang kawan, yang sama-sama lulusan jurusan sastra Indonesia, yang membantu saya bekerja dan mencari beasiswa, membawa saya pada soalan sastra yang lebih luas lagi. Dan hal demikian ditambah pula dengan intensitas pergaulan saya dengan kawan-kawan seni rupa dan teater—juga film. Karenanya, andai kata ada suatu kesempatan, di mana saya diizinkan menjadi kepala jurusan Sastra Indonesia, maka saya akan membuat beberapa keputusan: salah satunya menjadikan jurusan sastra berisi empat program studi (prodi)!
Prodi Penciptaan Sastra
Seperti yang telah disampaikan di muka, saya adalah satu dari sekian orang yang tertipu oleh bayangan yang berkembang di masyarakat umum, bahwa kuliah sastra akan menjadikan Anda sebagai penyair atau pengarang. Karenanya, jika saya menjadi kepala jurusan sastra Indonesia, saya akan membuat prodi penciptaan sastra. Jelas, seperti namanya, prodi ini akan mengajarkan bagaimana menulis atau mencipta karya sastra. Ya, sebenarnya, penciptaan sastra telah masuk dalam mata kuliah jurusan sastra, tetapi tak fokus dan hanya terkesan sebagai pelengkap saja. Dan ya, saat menilik ke luar negeri, sebagai perbandingan, akanlah dijumpai jurusan penulisan kreatif—dengan mata kuliah yang unik dan menarik. Andai saya bisa mewujudkan ide semacam itu, maka akan menarik memunculkan mata kuliah penulisan puisi, prosa-fiksi, naskah drama/film, esai-esai dengan fokus yang lebih mendalam; memunculkan mata kuliah penciptaan sastra populer, sastra anak, dan jenis-jenis lainnya. Dan tentulah saja, tugas akhir bukan skripsi, tapi penciptaan karya sastra! Dan jika izinkan oleh dekan serta kawan sejurusan, maka saya akan mengizinkan mahasiswa yang telah memenangkan sayembara yang terlegitimasi untuk bisa langsung lulus. Ah, mimpi yang asik!
Prodi Pengkajian Sastra
Adapun, untuk prodi ini, saya akan meningkatkan apa-apa yang telah ada. Akan tetapi, satu hal yang mesti dibina: kegandrungan membaca dan membaca kritis! Saya akan mewajibkan dosen-dosen saya untuk tak melulu mengajarkan teori. Ah, Anda dengan cepat bisa membaca, saya adalah jenis manusia yang amat muak dengan teori sastra! Namun, sebagai kepala jurusan yang baik, tentu saya akan tetap mengharuskan: dengan weling banyak dan kritis dalam membaca. Dan andai kata diizinkan untuk menentukan arah lebih luas, saya akan sedikit memberatkan pada sejarah sastra, sebab hal itu sangat kurang di Indonesia, baik lapangan sastra atau seni pada umumnya. Ya, prodi ini akan melahirkan kritikus sastra, sejarawan sastra, dan teoritikus sastra! Dan sebagai tugas akhir tentulah prodi ini boleh mengambil skripsi serta boleh tugas akhir. Saya akanlah mengizinkan mahasiswa saya mengumpulkan dalam bentuk esai atau teks non-fiksi lain. Tentu, jika memang layak lulus, maka saya dan rekan-rekan dosen akan meluluskan. Dan seperti aturan sebelumnya, jika mahasiswa bisa menang suatu sayembara yang terlegitimasi, ia layak lulus. Untuk apa repot-repot, bukan? Ah, andai jurusan mengizinkan; dan tak diberi peringatan oleh dekanat—dan rektorat tentunya.
Prodi Pengajaran Sastra
Prodi ini bisa dikatakan sama dengan prodi pendidikan pada umumnya. Prodi ini akan melahirkan pengajar sastra—guru sekolah dasar, menengah, ataupun dosen-dosen sastra. Akan tetapi, ketika saya diminta jadi kepala jurusan, saya akan memberatkan pada pengajar sastra bagi sekolah dasar-menengah. Prodi ini akan memberatkan mahasiswa agar bisa membina siswa menjadi seseorang yang mencintai sastra. Karenanya, pengajaran apresiasi menjadi penting. Dan akanlah disiapkan pula pengajar yang bisa memberi pijakan pada siswa sekolah menengah agar bisa masuk jurusan sastra. Karenanya, siswa-siswa tidaklah berangkat dari nol ketika memasuki bangku kuliah di jurusan sastra. Dan tentu, saya mestilah menyiapkan serangkaian hal agar guru bahasa dan guru sastra dibedakan, sehingga konsentrasi pengajaran di kelas menjadi lebih fokus. Betapa menyenangkan ketika lulusan prodi ini dan prodi pengkajian sastra bisa membuat kurikulum sastra dengan lebih serius!
Prodi Pengelolaan Sastra
Sebagai sejenis pembuka lain, saya membayangkan jika kawan saya tadi, yang suka membaca Pram itu, bisa mengajar di sini—meski saya tahu kawan saya itu punya cita jadi novelis juga. Di prodi ini, mahasiswa akan disiapkan menjadi pengelola sastra: seperti halnya jurusan tata kelola seni! Dibanding ketiga prodi yang saya tawarkan di atas, prodi ini bisa dikatakan baru; meski sekali lagi, ketika menilik ke luar, tidaklah baru-baru amat; bahkan saat melihat jurusan seni lain. Adapun, dalam prodi ini, mahasiswa akan diajarkan manajemen sastra: bagaimana mengelola penerbit, agensi, atau acara berbasis sastra. Karenanya, dalam prodi ini hendak saya berikan mata kuliah tentang kebijakan sastra dengan bobot yang lebih. Mahasiswa diharapkan bisa dan mampu masuk ke ranah-ranah politis dan menyiapkan kebijakan yang tepat: baik pada persoalan komersial, distribusi, maupun perlindungan hak cipta. Dan ketika di tataran sebelumnya telah disoal sastra masuk kurikulum, yang karyanya diambil dari prodi penciptaan, dan diolah bersama oleh prodi pengajaran dan pengkajian, maka pengelolaan sastra ini akan membuat ide dan kerja-kerja tadi menjadi mungkin dan lebih tepat sasaran. Selain itu, prodi ini juga hendak menjawab kegelisahan segelintir orang yang betah mengeluhkan: “Sastrawan Indonesia kok tidak pernah mendapat penghargaan Nobel?” Bukan berarti sastra Indonesia buruk, hanya saja karya-karya sastra kita tak banyak diterjemahkan—sedangkan penerjemahan dan jual-beli di luar negeri memiliki kebijakan dan aturan main sendiri. Oleh karena itu, prodi ini menjadi penting.
Semacam Angan-Angan
Seperti yang telah disinggung sejak awal, esai yang agak liris ini merupakan upaya pengandaian; dan andai kata terwujud, tentulah menyenangkan—bahkan jika bukan saya yang menjadi kepala jurusan. Ide ini pun tak benar-benar baru, sebab saya pun melirik jurusan lain. Seni rupa dan teater, misalnya. Di sana, apa-apa yang saya niatkan sebagai prodi sudahlah jadi jurusan. Dan andai kata sekali lagi boleh berandai-andai, saya membayangkan, empat prodi yang saya angankan tadi bisa jadi jurusan yang kokoh; dan fakultas sastra bisa kembali. Amatlah menarik saat membayangkan ada mahasiswa jurusan sastra yang mengambil prodi puisi; atau mahasiswa jurusan sastra anak yang mengambil prodi sastra anak usia 4-10. Amatlah asik membayangkan ada mahasiswa jurusan sastra dengan prodi kritik atau sejarah sastra. Bahkan, akan sangat mengasyikan untuk membayangkan mahasiswa manajemen sastra, atau mahasiswa prodi penerbitan! Dan menyenangkan pula bila membayangkan ekosistem sastra (di) Indonesia bisa sehat—dan siapa pun yang bekerja di dalamnya bisa hidup makmur-sejahtera. Dan tentu, yang paling menyenangkan dari semuanya adalah jika pengandaian-pengandaian tadi bisa terwujud, baik saya yang menjadi kepala jurusan atau bukan.
(Yogyakarta, 2023—2025)
Polanco S. Achri adalah penulis fiksi dan nonfiksi. Selain menulis, ia kadang menjadi sutradara teater dan kurator seni.
Editor: Ikrar Izzul Haq