Menu

Mode Gelap
Kawin Silang Ekonomi Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

Esai Budaya

Kekudusan yang Dipertontonkan


					Foto oleh Putri Tariza/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Putri Tariza/Sivitas Kothèka

Beberapa detik setelah azan Magrib berkumandang, jari-jarinya terlihat sibuk mencari filter Instagram terbaik. Di balik mukena putih, terlihat senyumnya yang mengembang dengan takarir: “Tenang itu saat hati bertemu Tuhan.” Hanya dalam satu jam, unggahan itu sudah disukai ribuan orang. Saya sempat bertanya dalam hati, berapa banyak dari kita yang benar-benar larut dalam ibadah dan berapa yang hanya larut dalam estetika spiritual yang sedang tren?

Di zaman serba terhubung ini, kekudusan pun bisa jadi tontonan. Doa bukan lagi sekadar bisikan diam antara manusia dan Tuhannya, melainkan juga bisa tampil sebagai tayangan berdurasi satu menit lengkap dengan musik lembut dan pencahayaan hangat. Ada semacam perubahan makna: dari ruang sunyi menjadi ruang publik yang terbuka untuk penilaian dan komentar.

 

Doa dalam Genggaman

Saya ingat, dulu ibu saya selalu berpesan, “Kalau mau berdoa, diam. Jangan banyak bercerita.” Tapi kini, bercerita seolah jadi bagian wajib. Kita bercerita sebelum, saat, bahkan sesudah berdoa—di Instagram, TikTok, hingga status WhatsApp. Saya tidak menentang teknologi, justru saya bersyukur karena ia mempermudah kita mengakses nilai-nilai spiritual. Namun, saya percaya bahwa spiritualitas memiliki ruang privat yang seharusnya tetap dijaga.

Ada semacam tekanan tak terlihat untuk terus menampilkan versi terbaik diri, termasuk dalam hal ibadah. Kita ingin dikenal bukan hanya sebagai pribadi yang cerdas atau sukses, tetapi juga sebagai pribadi yang religius. Tak jarang, kita mulai mengatur sudut pengambilan gambar sajadah, menyiapkan pencahayaan sebelum berdoa, atau menunda takbir untuk memastikan hasil video terlihat tenang dan “adem”.

 

Ketulusan di Era Panggung Digital

Kita hidup di masa ketika apa pun bisa menjadi panggung. Termasuk iman. Ada dorongan untuk terlihat baik, untuk tampak dekat dengan Tuhan, meski kadang hati belum tentu ke sana. Tak sedikit yang menjadikan momen ibadah sebagai konten harian, bukan lagi sebagai kebutuhan rohani. Saya tidak menghakimi karena saya pun pernah tergoda untuk membagikan momen spiritual saya. Namun, setelah melakukannya, saya justru merasa hampa. Seolah hubungan personal saya dengan Tuhan harus melewati penilaian orang lain terlebih dahulu. Ada satu pertanyaan yang berputar dalam kepala saya, “Apakah saya berdoa untuk-Nya, atau untuk dilihat manusia?”

 

Antara Estetika dan Substansi

Saya tidak bisa menafikan bahwa tampilan memang penting. Banyak akun religi yang memang tertata rapi dan menyejukkan. Tetapi iman, menurut saya, bukan sekadar warna pastel dan kutipan bijak yang dibingkai. Ia lebih dari itu—ia adalah ketenangan yang lahir di ruang paling sunyi dari dalam diri kita.

Estetika memang bisa menaik orang untuk mendekat. Tapi jika kita terlalu terpesona oleh keindahan visual, kita bisa kehilangan substansi. Kita sibuk mengejar suasana tenang dalam gambar, tapi lupa menciptakan ketenangan dalam jiwa. Kita ingin kelihatan berserah, tapi lupa caranya untuk benar-benar berserah.

 

Mencari Hening di Tengah Keramaian

Saya rasa, kita semua butuh ruang hening. Tempat di mana kita tidak merasa perlu menceritakan semuanya. Ruang di mana kita bisa berdoa tanpa harus memberitahu dunia, tanpa harus terlihat “spiritual”. Karena terkadang, yang paling tulus justru lahir dari hal yang tak diumumkan.

Pernah suatu malam, saya merasa sangat lelah secara batin. Alih-alih membuka Instagram untuk curhat atau mencari kutipan motivasi, saya hanya duduk diam di kamar gelap. Dalam sunyi itu, saya berdoa. Tak ada kata-kata puitis, tak ada bahasa indah—hanya keluh kesah dan air mata. Tidak ada yang tahu malam itu saya berdoa. Tapi saya tahu, itu doa paling jujur yang pernah saya ucapkan.

 

Spiritualitas yang Tidak Perlu Dibuktikan

Mungkin kita harus belajar bahwa spiritualitas bukan sesuatu yang perlu dibuktikan kepada siapa pun. Ia bukan prestasi yang butuh panggung. Ia adalah proses personal yang tak memerlukan pembuktian sosial. Tidak semua ibadah perlu diposting, tidak semua zikir perlu dibagikan, dan tidak semua momen sujud perlu direkam. Karena ketika kita terlalu sibuk menunjukkan bahwa kita dekat dengan Tuhan, bisa jadi kita malah semakin menjauh—dari ketulusan, keheningan, dan hakikat ibadah itu sendiri.

 

Saat Media Sosial dan Niat Tak Lagi Sejalan

Media sosial adalah alat. Ia bisa jadi sarana kebaikan, tapi juga bisa menjebak kita dalam ilusi. Ilusi bahwa kita religius hanya karena tampilan, bukan karena perenungan. Kita lupa bahwa niat adalah sesuatu yang sangat tipis garisnya. Sekali tergelincir, ibadah bisa berubah menjadi pertunjukan.

Saya percaya, siapa pun bisa menggunakan teknologi untuk menyebarkan nilai baik. Tapi akan lebih baik jika nilai itu tumbuh dari dalam, bukan hanya tampilan dari luar. Kadang, yang paling menyentuh bukanlah postingan indah, tapi tindakan sederhana yang tidak perlu diketahui siapa-siapa.

 

Penutup: Diam yang Bicara

Tidak ada yang salah dengan menjadi religius di media sosial. Yang perlu dijaga, mungkin, adalah niat di baliknya. Jangan sampai kita terlalu sibuk membagikan ibadah, sehingga lupa menjalankan ibadah itu sendiri.

Doa, pada akhirnya, bukan soal seberapa sering kita unggah. Tapi seberapa dalam kita merasa terhubung dengan-Nya—dalam diam, dalam sunyi, dalam ruang yang tak terlihat siapa-siapa.

Dan barangkali, di era digital ini, salah satu bentuk ibadah tertinggi adalah ketika kita memilih tidak membagikannya sama sekali.

 

 

Muhammad Hafid Sukri menulis di sela-sela kesibukan sehari-hari sebagai bentuk perenungan pribadi. Ia lebih senang berada di balik layar, membiarkan tulisan-tulisannya bicara.

Editor: Putri Tariza 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Kawin Silang Ekonomi Politik

4 Oktober 2025 - 13:00 WIB

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka
Banyak dibaca di Esai Budaya