Menu

Mode Gelap
Kawin Silang Ekonomi Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

Esai Budaya

Hak untuk Aborsi


					Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Anggrek (bukan nama sebenarnya) mungkin tak pernah membayangkan, di usia belia—lulus SD pun belum—dirinya harus hidup dalam liang nestapa. Ia terpaksa mempertahankan kehamilan usai permohonan aborsinya ditolak Polres Jombang. Padahal, kita bisa melihat jejak trauma saat Anggrek menatap foto si pemerkosa di pengadilan: dia menjerit histeris.

Lain kasus kisah Melati (juga bukan nama sebenarnya), gadis lima belas tahun asal Jambi. Dia dijatuhi hukuman penjara selama enam bulan oleh hakim Pengadilan Negeri Muara Bulian lantaran tindak aborsi meski puan malang itu jelas-jelas merupakan korban perkosaan yang mengalami gangguan psikis parah. Ibarat jatuh tertimpa tangga: sudah jadi korban, dikriminalisasi pula.

Anggrek dan Melati adalah puncak gunung es kasus kehamilan karena rudapaksa. Banyak korban lain yang juga menderita depresi berat, bahkan bunuh diri. Walau begitu, sebagian memilih meneruskan kandungan, sedangkan yang lain menggugurkannya. Mereka meminta uluran tangan dukun, praktik bersertifikat bodong, atau tenaga kesehatan yang menyediakan layanan aborsi lewat pintu belakang meski risiko komplikasi dan maut membayangi.

Kita mesti paham mengapa jalan gelap aborsi kadang menjadi opsi. Kehamilan akibat perkosaan masih dianggap aib yang kudu ditutup rapat. Keputusan tersebut bukan dijalankan tanpa sebab. Kita kerap menyaksikan berita tentang korban perkosaan yang dikeluarkan dari sekolah gara-gara hamil. Para gadis malang itu juga acap jadi bahan gosip warga yang menilai mereka sebagai pihak yang mengundang berahi pelaku. Jika kepergok aborsi, masyarakat tak segan mengutuk korban sebagai pembunuh kejam.

Maka, aborsi bukan lagi selisih antara hak seorang perempuan versus hak hidup janin, melainkan perempuan versus masyarakat yang mengagungkan moralitas absolut. Hak korban terhadap tubuhnya sendiri tak dianggap. Padahal WHO telah mengakui bahwa aborsi aman merupakan hak kesehatan dasar, lebih-lebih bagi korban rudapaksa.

Sungguh, di Indonesia, aborsi legal korban perkosaan telah diatur undang-undang. Pasal 76 UU 36/2009 mencatat bahwa perempuan yang hamil akibat rudapaksa boleh menjalani aborsi sebelum usia kandungannya mencapai enam minggu.  PP 61/2014 mengatur lebih teknis terkait jangka waktu umur kehamilan yang diizinkan, yaitu empat puluh hari.

Menghadapi realita, agaknya peraturan tersebut kurang ramah bagi korban. Seperti telah disinggung, menjadi korban perkosaan dianggap sebagai aib. Korban rudapaksa acap bungkam sehingga sering kali telat menyadari bahwa segumpal embrio tengah meringkuk di rahimnya. Ketika korban sadar bahwa dirinya kini telah berbadan dua, semua sudah terlambat. Di muka hukum, permohonan aborsi legal bakal ditolak mentah-mentah lantaran lewat waktu yang ditetapkan undang-undang. Kalau tetap ngotot, Pasal 346 KUHP ganjarannya, yang berarti hukuman pidana penjara paling lama empat tahun.

Angin segar bertiup saat undang-undang terbaru yang mengatur aborsi diluncurkan, yakni UU 1/2023 tentang KUHP Pasal 463 yang diperkuat Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024. Aborsi diizinkan bagi korban rudapaksa dengan kehamilan tak melebihi empat belas minggu atau berstatus darurat medis.

Sejalan dengan ketentuan tersebut, pihak kepolisian telah menyusun skema pelaporan kasus. Korban bisa datang ke unit PPA di Mapolres. Aduannya akan dievaluasi, apakah butuh layanan medis, psikologis, pendampingan, hingga rumah aman. Lalu, korban bakal dibuatkan laporan untuk menerbitkan surat permohonan visum. Setelah polisi mengeluarkan surat keterangan bahwa ia korban perkosaan, tim medis bisa memberi layanan aborsi legal jika korban terbukti hamil.

Sayang, sosialisasi itu agaknya tidak merata. Banyak korban tak tahu soal regulasi tersebut. Kendatipun tahu, mereka enggan menggunakan hak hukumnya. Beban psikis menjadi tembok penghalang. Sebab, menjalani proses tersebut juga berarti menceritakan ulang aib dan kisah jahanam ke polisi, psikolog, LBH, serta tim medis. Rasanya bagai mengupas borok yang masih basah. Belum lagi bila mereka tersandung batu besar seperti yang dialami Melati: tidak mendapat izin akses layanan aborsi legal dari kepolisian. Padahal, izin tersebut bukan wewenang polisi, melainkan Tim Uji Kelayakan yang ditunjuk fasilitas kesehatan sesuai Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2016.

Di sisi lain, halangan juga bisa datang dari pihak medis. Tidak semua dokter mau melakukan praktik aborsi. Selain dianggap bertentangan dengan kode etik kedokteran, tindak tersebut juga rawan menjerat sang dokter ke dalam laku kriminal. Oleh karena itu, perlindungan hukum yang jelas bagi tim medis menjadi syarat mutlak keberlangsungan layanan aborsi legal.

Betapa elok kalau di setiap daerah di Indonesia, akses tersebut–dari proses lapor sampai layanan aborsi legal–bernaung di bawah satu payung tanpa birokrasi yang ruwet. Sebab, bukankah korban telah kehilangan otonomi atas tubuhnya ketika mengalami kekerasan seksual? Pada akhirnya, korban berhak memilih untuk menggugurkan kandungan atau memelihara sang bayi dalam uterusnya. Dan bila ia menghendaki aborsi, pemerintah dan negara wajib menyediakan aborsi yang legal dan aman sebagai bentuk perlindungan HAM bagi para korban.

 

Sasti Gotama adalah dokter sekaligus penulis prosa fiksi. Karya-karyanya pernah menjadi buku sastra pilihan Tempo 2024 dan 2020, pemenang pertama hadiah sastra RASA 2022, cerpen pilihan Kompas 2020 dan 2023, pilihan juri sayembara novel DKJ 2023, dan pemenang kedua sayembara naskah teater DKJ 2024.

 

Editor: Asief Abdi

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Kawin Silang Ekonomi Politik

4 Oktober 2025 - 13:00 WIB

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka
Banyak dibaca di Esai Budaya