Bagaimana miskinnya jurusan sastra Indonesia dalam melahirkan kritikus sastra, bagi saya—yang lahir dari rahim intelektual ini—cukup menjadi fakta ironis. Lebih ironis lagi ketika mendapati kenyataan bahwa sejumlah kritikus kenamaan yang kita miliki justru tidak lahir dari almamater tersebut. Dengan pasrah, saya harus katakan bahwa terhadap situasi tersebut, tidak ada yang dapat saya lakukan kecuali hanya menuliskan sejumput keresahan yang akan saya refleksikan sebagai berikut.
Terry Eagleton benar. “Kritik sastra” sebagai “seni” memang sedang “sakaratul maut”. Tapi kini, kritik sastra, di dunia akademi, bahkan mungkin telah terbujur ke arah utara. Tinggal menanti napas terakhirnya. Namun, satu hal yang paling menyedihkan dari mendapati fakta tersebut adalah bahwa hal ini sekurang-kurangnya menunjukkan situasi kian merosotnya marwah keilmuan akademisi sastra. Pada saat yang sama, saya menyadari bahwa mengangankan “kritikus sastra” tumbuh menjamur dari “lahan tandus” ini mungkin tidak lebih dari sekadar mimpi di siang bolong.
Tentu, ada banyak faktor yang melumantari permasalahan—jika memang dianggap sebagai masalah—ini. Saya sendiri tidak betul-betul tahu apakah faktor-faktor yang akan saya uraikan berlaku juga di lingkungan lain di mana saya tidak terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, saya hanya berani mengatakan bahwa sejumlah faktor yang akan saya sebut sekadar “kemungkinan” yang, di mata saya, sedikit-banyak punya andil atas mandeknya akademi sastra dalam melahirkan para kritikus sastra.
Kita bisa memulai permasalahan ini dari “terputusnya fungsi kritikus sebagai kalangan profesional dengan sidang pembaca”. Terputusnya hubungan ini, pada tataran lebih lanjut, menyebabkan hilangnya fungsi sosial dari apa yang dihasilkan para kritikus, yakni kritik sastra. Kita boleh berasumsi, hilangnya fungsi sosial dari kritik sastra terjadi karena transformasi kritik menjadi spesies asing bernama “disiplin akademis”—sesuatu yang menjadikan kritik cenderung terkesan teknis dan hanya terfokus pada analisis bentuk. Asumsi demikian mungkin ada benarnya. Pasalnya, kita telah banyak menyaksikan bagaimana sebuah kritik sastra yang ditulis seorang akademisi dengan penuh kecermatan tak lebih diminati ketimbang reviu novel berdurasi satu menit yang diocehkan seorang bookstagram.
Di lain sisi, situasinya memang cukup merepotkan. Kita sama-sama mengerti bahwa target capaian minimum dari lulusan strata satu (S-1) jurusan sastra Indonesia, yaitu mempraktikkan (hanya) satu teori analisis. Barulah pada jenjang di atasnya, yakni strata dua (S-2), mahasiswa sastra diperkenankan mengembangkan keterampilan menganalisis dengan lebih dari satu teori. Di tingkatan ini, misalnya, mahasiswa sastra diperbolehkan menerapkan dua teori, bahkan dari dua disiplin ilmu yang berbeda sebagai ancangan pembacaan mereka.
Konsekuensi yang mungkin tidak banyak disadari dari target minimum yang terbilang rendah pada jenjang S-1 itu adalah lahirnya kritik yang terkesan hanya berkutat pada perkara teknis dan sibuk mengubek-ubek analisis bentuk, persis yang sudah disinggung. Kita sepakat tentang pentingnya analisis teknis dan bentuk teks sastra sehingga tidak semestinya diabaikan, terutama jika mengingat bahwa mutu teks sastra terbih dahulu perlu dimistar melalui bentuk pengekspresiannya, barulah disusul substansi isinya. Namun, wawasan dari berbagai disiplin ilmu pun tak kalah perlu, sebab ia menjadi daya dukung untuk menghasilkan berbagai potensi tafsir nan kreatif. Tafsir kreatif, praktisnya, membutuhkan lebih dari sekadar penguasaan terhadap teori analisis. Maka, menjadi klaim yang wajar apabila publik kemudian menilai kritik para akademisi cenderung kaku nan menjemukan.
Di luar perkara standar kompetensi lulusan, saya juga ingin mengutarakan satu faktor yang mungkin lebih fundamental. Kita perlu menyorot akar masalah yang menyebabkan terputusnya fungsi sosial dari kritik sastra—terutama yang dihasilkan akademisi sastra—dengan masyarakatnya. Problematika itu lahir, hemat saya, bukan karena kritik sastra bertransformasi menjadi disiplin akademis sehingga hasil pembacaan cenderung teknis dan hanya berkutat pada analisis sastra belaka. Saya percaya bahwa setiap kritik sastra—tidak peduli ditulis oleh tangan seorang akademisi sastra ataukah bukan—sudah pasti selalu bersifat “akademis”. Saya juga percaya bahwa kritik tidak bisa hanya sekadar perkara menyangkut “akal sehat”. Sebuah kritik—sebagaimana juga disebut Eagleton—mesti melibatkan cara-cara analisis dan bentuk-bentuk pengalaman khusus yang tidak dimiliki “pembaca umum”. Inilah akhirnya yang menorehkan garis pemisah antara kritikus dengan pembaca awam. Seorang kritikus adalah seorang pakar yang menilai kualitas teks tidak berdasar pada selera dan sentimen. Lebih-lebih, variabel yang dikomidifikasi pangsa industri. Tugas utamanya ialah menyodorkan tafsir yang mungkin luput dari pembacaan semenjana.
Maka, masalah utama terputusnya fungsi sosial kritik sastra dengan audiensnya, bagi saya, lebih berpangkal pada bagaimana produksi analisis teks sastra itu—terutama di ranah akademik—selama ini dipraktikkan. Saya sering resah mendapati bagaimana selama ini produksi analisis teks sastra dijalankan oleh banyak akademisi kita. Saya resah mendapati adanya semacam gejala “fetisisme terhadap teori” yang menjangkiti kepala para akademisi, juga didukung berbagai tujuan praktis yang lebih mengarah pada “aktivitas administratif” ketimbang “diskursif”. Hasilnya ialah apa yang begitu banyak kita jumpai di berbagai artikel jurnal—bahkan yang terindeks prestisius sekalipun.
Tentu ada jurang yang amat lebar antara kesadaran akan pentingnya teori dengan fetisisme terhadap teori. Adalah sebuah penilaian yang simplistis jika menganggap penyebab utama kritik sastra tidak lebih diindahkan daripada reviu singkat lima bintang di laman Goodreads lantaran kecenderungan kritik yang terlampau teoretis. Sifat terlampau teoretis itu—selain juga bersangkut-paut dengan standar kompetensi lulusan yang kadung menjadi tradisi—hanya akan terjadi ketika teori menjadi fetis. Fetisisme terhadap teori mengabaikan bahwa hakikat teori tak lebih sekadar pisau kupas. Yang penting dicatat tebal di sini, yaitu tidak semua objek perlu dikupas dengan mengandalkan sebilah pisau. Pisang, misalnya, tentu saja boleh dikupas memakai pisau. Namun, kita tahu, ukurannya bukan terletak pada “boleh ataukah tidak boleh”, melainkan “penting ataukah tidak penting”, “butuh ataukah tidak butuh”. Demikian dengan keterlibatan teori dalam analisis teks sastra.
Sebuah puisi yang sederhana tidak harus selalu dianalisis dengan memakai teori-teori sastra dan/atau kebahasaan tertentu. Teori hanya menjadi penting ketika kita mengerti relevansi dan signifikansi penggunaannya. Teori hanya dibutuhkan sejauh penggunaannya berdampak terhadap hasil analisis yang dijalankan. Sayang, yang justru kerap saya temui adalah fetisisme terhadap teori. Hasilnya, yaitu apa yang banyak kita jumpai dalam berbagai artikel analisis sastra yang dihasilkan banyak akademisi kita di mana pemakaian teori sering tidak mengindahkan signifikansi yang memadai sehingga hanya menghasilkan sebuah kritik yang di satu sisi kaya akan nomenklatur teoretis, sedangkan di sisi lain miskin dalam penerapannya.
Penting pula untuk kita pertimbangkan, bagaimana teori—yang kedudukannya berada di antara “perlu” dan “tidak perlu” itu—diterapkan dalam penulisan kritik, bahwa sebuah hasil pembacaan terhadap teks sastra bisa ditulis menjadi esai-kritik yang teoretis, bahkan tanpa harus menyebutkan begitu banyak nomenklatur teori sastra tertentu di dalamnya. Fetisisme terhadap teori, pretensi sampah terhadap keilmiahan, didukung oleh tujuan-tujuan praktis sehingga menghasilkan teks kritik yang semenjana, kian remuk-redam dengan kecenderungan gaya penulisan para akademisi yang amat templat. Dibuka dengan “latar belakang”, diteruskan penjelasan “metodologi”, dilanjutkan “hasil dan pembahasan”, kemudian dipungkasi “simpulan”.
Saya tidak hendak mengatakan bahwa struktur penulisan demikian itu keliru. Struktur penulisan khas templat artikel ilmiah di jurnal justru efektif untuk memudahkan seorang pembaca/pengkaji dalam menyampaikan hasil telaahnya secara runut—terutama bagi yang masih pemula. Namun, penting digarisbawahi, struktur yang diformalkan berpotensi melahirkan standardisasi. Standardisasi struktur penulisan kritik akademik yang sudah menjadi acuan utama, bahkan menjadi tradisi, khawatir akan juga berdampak pada kian tercerainya hubungan antara kritikus/akademisi sastra dengan pembacanya.
Lagi-lagi situasinya memanglah pelik. Kebanyakan akademisi tampaknya lebih tertarik dan bangga ketika hasil kajian mereka dipublikasikan di media arus utama, yakni jurnal ilmiah—terutama yang memiliki indeks prestisius, yang kita tahu, mengharuskan para akademisi untuk tunduk pada templat dan aturan penulisan yang sudah ditetapkan. Hal ini nyaris tidak akan kita temui pada media kritik sastra yang antiarus-utama di mana struktur penulisan cukuplah berada di dalam kepala pengkaji, sedangkan gaya penyampaiannya cenderung dibebaskan, tentu dengan tetap mempertahankan keketatan metode serta kedalaman analisis. Ini belum menyangkut praktik-praktik kotor seperti yang dijalankan jurnal-jurnal predator yang menarik biaya supaya artikel yang diajukan dapat ditayangkan sehingga kian meruntuhkan mutu kajian. Sejauh ini, saya belum menjumpai media kritik sastra di luar jurnal ilmiah yang melayani fasilitas brengsek semacam itu. Media antiarus-utama itu tak jarang memberi apresiasi setimpal atas kerja-kerja intelektual yang dihasilkan para kritikus, bahkan ditunjang proses kuratorial yang lebih mengesankan ketimbang jurnal.
Saya sejatinya cemas, gaya penulisan kritik para akademisi sastra yang sedemikian seragam dalam “keteknisan dan keadministrasian” itu suatu saat akan begitu gampang direproduksi kecerdasan buatan. Jika ini sampai terjadi, saya bahkan tidak tahu lagi, apa perlunya keberadaan akademi sastra yang menampung ratusan calon mahasiswa untuk mengisi ruang-ruang kelas di tiap jelang ajaran baru. Tak ada kenikmatan tekstual yang dapat kita rasakan barang secuil pun dari kritik yang diberati oleh pretensi ilmiah; yang terjangkit objektivisme dan menafikan subjektivitas, sehingga kemempribadian mampus tertimbun sederet sitasi; yang kehilangan “gaya” dan “kekhasan” penulisnya, sehingga siapa pun bisa sangsi: Betulkah ini ditulis seorang akademisi, seorang kritikus—yang sebenar-benarnya manusia, dan bukan kecerdasan artifisial?
Bapak Dosen dan Ibu Dosen, percayalah, kritik yang Anda sekalian tulis tidak lantas menjadi ilmiah hanya karena Anda telah menjahit berpuluh referensi di daftar pustaka. Tidak juga akan bernilai hanya karena mematuhi templat dan aturan penulisan jurnal-jurnal prestisius yang Anda banggakan. Satu-satunya nilai paling kentara dari apa yang Anda sekalian hasilkan—bila tak segera menginsyafi fetisisme dan pretensi-pretensi naif itu—hanyalah sejumlah angka kredit kenaikan pangkat. Tak kurang, apalagi lebih. Bapak Dosen dan Ibu Dosen, ketahuilah bahwa kritik sastra adalah sebuah “seni membaca”, sedangkan menuangkan hasil pembacaan dalam sebuah esai-kritik, tak lain merupakan “seni menulis”. Hilangnya “seni” itu, penting Anda sekalian tahu, tidak saja membuat kritik semakin berjarak dari publik, tetapi juga membuat kritik bagaikan tubuh tanpa jiwa. Seperti zombi.
Yohan Fikri adalah penyair dan prosais.
Editor: Ikrar Izzul Haq