Menu

Mode Gelap
Kawin Silang Ekonomi dan Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

Esai Budaya

Berpikir Kritis Bukan Berarti Tak Beretika


					Foto oleh Putri Tariza/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Putri Tariza/Sivitas Kothèka

Dari dulu sampai sekarang, dapat kita saksikan bersama bagaimana pembelajaran di ruang-ruang kelas hanya berkutat pada transfer knowledge yang dilakukan oleh seorang guru pada seluruh muridnya. Guru yang sibuk menjelaskan materi, dan murid yang disibukkan untuk mencatat materi. Bahkan sampai di tataran perguruan tinggi – antara dosen dan mahasiswanya. 

Memang, tradisi pembelajaran tersebut bukan lantas salah atau bahkan menyimpang jauh dari aturan kurikulum. Kalau pun kurikulumnya diutak-atik sedemikian rupa, sebagaimana yang sudah terjadi dari tahun ke tahun, dominasi penyaluran materi yang dominan dari guru ke murid atau dari dosen pada mahasiswa tetap terjadi. Sehingga, seolah-olah murid ibarat wadah kosong yang bertugas untuk menampung segala macam bentuk materi dari guru. Padahal sejatinya, proses pembelajaran yang ideal di dalam kelas ialah guru memantik kerja pikiran muridnya untuk bisa menyibak banyak hal, termasuk masa depan. Hal itu selaras dengan salah satu penggalan kalimat Plutarch yang mengatakan, “Pikiran bukanlah bejana yang harus diisi, tapi api untuk dinyalakan”. Konsep tersebut yang seharusnya diamini sekaligus diimplementasikan oleh guru melalui metode mengajar yang digunakan. 

Perkara keliru di atas sudah lama disinggung oleh Paulo Freire di dalam banyak karyanya. Salah satu konsep yang cukup relevan dengan keadaan dominasi guru di dalam kelas ialah konsep pendidikan gaya bank, juga di buku Pendidikan Kaum Tertindas (1985) direduksi hanya sebatas kritik pada metode mengajar guru. Kritik yang seharusnya mampu menyadarkan guru bahwa metode mengajar yang diterapkan selama ini tidak benar.

Lebih jauh lagi, terlepas dari bagaimana metode mengajar seorang guru di dalam kelas, saya berasumsi bahwa idealnya, setiap pembelajaran dalam kelas seyogyanya menganut konsep egaliter. Konsep yang mengusung kesetaraan berpikir antara guru dan murid, atau antara dosen dan mahasiswanya. Dalam artian, murid atau mahasiswa tidak dikekang oleh konsep moral agar tidak mengucapkan kritik atau protes yang dianggap radikal. Dari sini, kebenaran seolah-olah mutlak dimiliki guru atau dosen. Padahal tidak demikian.

Oleh sebab itu, di dalam konsep pembelajaran egaliter, ada sisi lain yang harus dipahami secara utuh oleh kedua belah pihak, yakni guru dan murid agar tidak terjadi mispersepsi yang berujung pada konsekuensi yang fatal. Berikut sisi lain yang dimaksud. 

 

Egaliter dari Sisi Kognitif 

Kalau kita mau melihat KBBI, egaliter bermakna sama atau sederajat. Sedangkan maksud dari konsep pembelajaran egaliter ialah memberikan kesempatan yang sepadan pada murid atau mahasiswa untuk ikut menyuarakan pendapat tanpa harus terbebani oleh tuntutan moral yang mengharuskan murid tunduk dan patuh terhadap guru. Pasalnya, tak sedikit dari para murid yang memilih untuk mundur satu langkah dalam upaya mengkritisi guru yang sedang mengajar. Alasannya sederhana, karena takut dicap murid yang tidak sopan. 

Berangkat dari fenomena di atas, tak heran jika salah satu pengamat politik yang digaungkan sebagai “presiden akal sehat”, Rocky Gerung, juga mengatakan sopan santun itu bahasa tubuh, sementara pikiran tidak memerlukan sopan santun. Artinya, jika diterjemah secara literal, murid seharusnya tak perlu ragu untuk menyampaikan ketidaksetujuan atau pikiran alternatif lain yang muncul setelah guru memaparkan materi. Meski pikiran yang disampaikan sangat bertolak belakang dengan apa yang disampaikan sang guru.

Di sisi lain, guru juga seyogyanya memberikan ruang diskusi yang proporsional pada murid agar terjadi dialektika yang menguncup pada kesimpulan yang utuh. Kesimpulan yang tidak datang dari satu arah. Guru juga tak perlu merasa minder atau rendah diri di hadapan muridnya jika menemukan murid yang berhasil membangun argumen lebih kuat dari dirinya. Justru sebaliknya, guru harus merasa bangga jika ada murid yang terpantik untuk berpikir kritis dan menghasilkan bantahan yang logis-sistematis nan komprehensif. 

 

Faktor Konatif dan Emotif

Dalam hal ini, yang perlu dipahami oleh guru dan murid saat pembelajaran di dalam kelas ialah adanya sisi konatif dan emotif. Di mana keduanya menjadi bibit dari tumbuhnya etika yang luhur dari seorang murid terhadap gurunya. 

Singkatnya, konatif bermakna hubungan. Jelas, saat proses pembelajaran berlangsung, ada hubungan yang terjalin antara guru dan murid. Baik hubungan yang bersifat fisik ataupun non fisik. Pada sisi konatif ini, harus ada jarak dan etika antara guru dan murid. Jarak dan etika tersebut memunculkan sikap memuliakan guru dari seorang murid yang diwujudkan dalam banyak bentuk, misalnya cium tangan saat hendak keluar atau pulang sekolah. 

Tidak hanya itu, adanya jarak dan etika yang mengatur interaksi guru dan murid juga berlaku pada sisi emotif. Bagian ini menjadi sisi paling rahasia karena tidak bisa diprediksi. Emotif berarti perasaan yang tertanam dalam sanubari murid, yang mana perasaan tersebut juga dipengaruhi oleh bagaimana kualitas hubungan antara guru dan murid. Begitupun sebaliknya, perasaan yang tertanam dalam diri murid juga akan menumbuhkan sikap atau tindakan yang ditunjukkan.

Murid boleh berpikir kritis dan menyampaikan ketidaksetujuan pendapat. Namun, jangan jadikan berpikir kritis sebagai pintu pertama munculnya rasa tidak suka atau kebencian terhadap guru. Sebab, lagi-lagi bagaimana etika dari seorang pembelajar yang dijelaskan dalam kitab Ta’limul Muta’allim, bahwasanya murid seyogyanya menjaga etika di hadapan guru. Ingat, menjaga etika, bukan tidak boleh berpikir kritis! 

Jika tiga aspek di atas dapat berjalan maksimal sesuai relnya masing-masing, maka guru tak perlu menerapkan sistem feodal dengan alasan menekan potensi kebrutalan murid, juga murid tak perlu menyembunyikan pikirannya di balik tembok sopan santun yang menghalangi. Sebab, berpikir kritis dan etika adalah dua hal yang berbeda dan tidak saling memebatalkan satu sama lain. Murid tetap bisa berpikir kritis tanpa harus menghilangkan etikanya, demikian juga sebaliknya. 

Oleh sebab itu, guru tak perlu ragu untuk membuka ruang diskusi atau tanya-jawab setelah pemaparan materi. Dalam mengajar, guru tidak boleh merasa benar sendiri dan merasa paling pintar di antara muridnya. Sehingga, dari perasaan tersebut, guru merasa “tidak perlu” untuk membuka forum diskusi atau tanya-jawab. Padahal, tanya-jawab antara guru dan murid mengandung nilai berharga dalalm perkembangan murid, utamanya dari sisi kognitif.

Sebagaimana artikel yang berjudul “Cengkeraman Pendidikan Kolonial di Era Pascakebenaran”, menurut Alim Harun Pamungkas—pengajar di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Padang—kebiasaan siswa dalam bertanya merupakan unsur yang dapat membangun kemampuan berpikir kritis. Namun, dengan membatasi ruang pertanyaan, siswa menjadi takut bertanya dan hal tersebut mengikis kemampuan berpikir kritis mereka. Padahal, berpikir kritis adalah bekal berkelanjutan yang tidak hanya dipakai saat menjadi siswa, tapi juga bekal dalam menyongsong hidup yang lebih berkualitas.

 

Kholilur Rohman adalah pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep. Saat ini bermukim di Kota Malang dan menjadi Murabbi di Ma’had Sunan Ampel al-Aly (MSAA) UIN Malang.

 

Editor: Putri Tariza

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Kawin Silang Ekonomi dan Politik

4 Oktober 2025 - 13:00 WIB

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka
Banyak dibaca di Esai Budaya