“Kala cinta bicara, orang bisa lupa diri dan hilang tanggung jawab. Tidak hanya orang kaya, kaum papa pun bisa terlibat perselingkuhan,” keluh seorang kawan saat kami membahas cerpen Seno Gumira Ajidarma, “Cinta di Atas Perahu Cadik”. Cerpen itu mengisahkan sepasang nelayan—yang masing-masing sudah berkeluarga—berlayar di atas perahu cadik sembari memadu kasih. Melihat ia gusar, saya tersenyum. Saya bilang, genom tidak mengenal istilah “selingkuh”.
Dalam Sex at Dawn: The Prehistoric Origins of Modern Sexuality, secara jenaka Christopher Ryan berkata, “Lupakan ungkapan yang menyatakan kita keturunan kera. Kita bukan berasal dari kera. Sesungguhnya, kita adalah kera.” Seperti spesies kera lainnya, sapiens tak punya watak monogami. Poligami, baik poligini maupun poliandri, merupakan sifat yang mengendap di zarah terkecil kita.
Dalam The Selfish Gene, Richard Dawkins mencatat bahwa DNA cenderung melakukan segala upaya demi bisa sintas. Salah satunya dengan memperbanyak keturunan. Hal tersebut berlaku pula pada gen sapiens yang egosentris dan narsistis. Untuk meningkatkan peluang transmisi genetik, sapiens akan memperbanyak koitus. Tentu peluang distribusi DNA makin besar bila punya banyak pasangan.
Mari kembali ke masa ketika para leluhur masih tinggal di gua dan berburu mamut. Kala itu, pola keluarga tak seperti kini. Satu gua bisa dihuni beberapa individu. Umumnya tiga pria dan dua wanita. Jika salah satu pria mati diinjak mamut, masih ada pria lain yang dapat melindungi keluarga kecil tersebut. Begitu pula kalau seorang perempuan wafat, ada perempuan lain untuk melestarikan spesies mereka.
Tidak ada romansa ala Shakespeare dalam jagat nenek moyang. Reproduksi berlangsung demi kesenangan dan keberlanjutan spesies belaka sebagaimana yang dilakukan bonobo dan gorila. Semua itu berkat manipulasi neurotransmiter pada otak, seperti dopamin, oksitosin, dan endorfin. Senyawa-senyawa tersebut tak ubahnya opioid alami, yang membuat sapiens rela menguras energi saat koitus.
Dalam Evolusi Reproduksi Manusia, bagi Jared Diamond, poligami zaman purbakala menjadi teori persenggamaan yang masuk akal. Postulat tersebut didasarkan pada evolusi reproduksi betina yang tak menunjukkan pertanda ovulasi pada masa estrus. Saat seorang perempuan purba bersenggama dengan banyak lelaki, tak satu pun di antaranya dapat dipastikan sebagai ayah biologis bayi yang akan dikandung. Maka, para lelaki bakal enggan melakukan infantisida (pembunuhan bayi). Sebab, bisa jadi si bayi adalah keturunannya. Alih-alih dihabisi, sang anak malah dilindungi banyak lelaki.
Keluarga pemburu-pengumpul itu diduga bersifat egaliter. Belum ada hierarki yang pasti. Hasil buruan dibagi rata; juga telur, sayur, dan binatang-binatang kecil tangkapan para perempuan di sekitar gua. Begitu anak-anak lahir, sistem pengasuhan dilakukan secara komunal. Sebagaimana dijelaskan Shari L. Thurer dalam The Myths of Motherhood, pola asuh zaman Paleolitik tak serumit sekarang. Tidak ada polisi moral dan tuntutan pengasuhan maha sempurna. Tidak ada klaim romantis bahwa anak adalah titipan Tuhan yang harus dirawat sepenuh hati seolah mereka agar-agar yang mudah hancur jika dipegang sembarang tangan. Anak yang lahir hanya dimaknai sebagai mulut lain yang mesti diberi makan. Lantaran persenggamaan terjadi secara poligami, anak-anak yang lahir dijaga bersama tanpa peduli siapa ayah biologisnya.
Namun, semua berubah ketika manusia memasuki Revolusi Agraria. Timothy Taylor dalam The Prehistory of Sex menyatakan bahwa bila di masa berburu-meramu seks didasarkan pada gagasan tentang sikap berbagi dan saling melengkapi, di awal Revolusi Agraria, seks bersifat voyeuristik, represif, serta berfokus pada reproduksi. Orang mulai menetap, mendomestikasi ternak, dan menanam gandum. Lambat laun, tanah yang semula properti publik, menjadi milik pribadi.
Hierarki pun lahir. Kini ada tuan tanah dan pekerja. Sebagai penguasa lahan, posisi pria menjadi lebih tinggi daripada wanita. Bahkan, wanita menjadi “hak milik” pria. Dalam “Sepuluh Perintah Tuhan”, misalnya, disebutkan: “Jangan mengingini rumah sesamamu, jangan mengingini istri sesamamu, atau hamba-hambanya atau lembunya atau keledainya atau apa pun yang milik sesamamu.” Revolusi Agraria menjadi titik balik ketika posisi perempuan merdeka turun derajat menjadi “milik” lelaki.
Sistem warisan merupakan konsekuensi dari lahirnya aset personal. Ada harta yang kudu diturunkan dari generasi ke generasi. Maka, untuk pertama kalinya dalam sejarah spesies kita, paternitas menjadi penting. Seseorang hanya rela mewariskan harta benda kepada anak kandung. Oleh karena itu, kesetiaan wanita adalah kunci agar seseorang yakin bahwa sang pewaris benar-benar keturunannya. Begitu pula wanita yang saat itu menggantungkan sumber daya kepada seorang pria juga mengharapkan kepastian kalau kelak hidup mereka dan anak-anaknya terjamin. Singkatnya, wanita mendamba kesetiaan pria. Apalagi setelah anak-anak menjadi fokus perkawinan yang butuh dukungan fisik dan psikis, sebuah keluarga yang stabil niscaya diperlukan. Tak pelak, prasyarat tersebut lebih mungkin dicapai melalui monogami.
Akan tetapi, hal itu tidak menihilkan watak alami otak primitif sapiens. Gen ingin diwariskan sebanyak mungkin. Bagai chip dalam otak, ketaksadaran mendorong manusia mencari kemungkinan-kemungkinan pasangan reproduksi lain. Dan demi keberlanjutan genetik, di luar pasangan monogami, manusia cenderung mencari mitra berbiak lain dengan potensi fenotip istimewa yang barangkali berbeda dengan pasangan utama.
Untuk memperoleh hasil terbaik, pria membaca berbagai penanda. Mereka cenderung mencari pasangan lain yang lebih muda lantaran perempuan macam itu belum banyak kehilangan ovum. Jumlah sel telur perempuan telah ditakdirkan begitu ia lahir. Setiap bulan, sel tersebut akan lepas satu demi satu lewat ovulasi. Dengan mencari wanita muda, peluang seorang pria memiliki anak akan lebih banyak. Lelaki juga mencari tanda-tanda kebugaran dan kesuburan yang kerap diwakili oleh kecantikan dan keseksian. Ada pula pria sapioseksual yang mencari ciri kecerdasan demi menghasilkan keturunan dengan intelegensi yang bagus.
Di sisi lain, perempuan punya kecenderungan serupa. Ketaksadaran mereka yang disetir egoisme gen mencari calon donor sperma dengan fitur istimewa. Tubuh pria yang mewartakan kejantanan dianggap selaras dengan kualitas spermanya. Sebagaimana pria, wanita sapioseksual pun mengincar kualitas otak. Beberapa wanita juga mencari penanda “kejayaan” (atau setidaknya prospek keberhasilan) melalui status kesehatan dan penampilan.
Akan tetapi, dorongan primordial multipasangan ini tentu tidak serta merta diamini manusia masa kini. Masyarakat zaman sekarang terikat moral dan dogma yang mengatur setiap sendi kehidupan. Patut dicatat bahwa moral (juga dogma) punya dalil rasionalnya masing-masing. Pun monogami pasti memiliki alasan kesintasan sebagaimana moralitas lainnya. Untuk itu, manusia kiwari mesti patuh kepada sabda Plato: “Nalar harus menjadi tuan.”
Dalam kultur yang melanggengkan poligami, pria kaya dan berkuasa jelas diuntungkan. Di Jazirah Arab pra-Islam, contohnya, sebelum turun ayat perihal batas jumlah istri, laki-laki berpengaruh lazim beristri banyak, bahkan sampai enam puluh orang. Menurut antropolog Joseph Henrich, kondisi macam itu dapat berujung tindak kriminal, seperti penculikan, pembunuhan, pemerkosaan, yang disebabkan timpangnya kepemilikan perempuan dan persaingan dalam memperoleh pasangan. Belum lagi perkara kecemburuan, kekerasan berbasis gender, penyakit menular seksual, gangguan mental, hingga ketidakstabilan ekonomi.
Maka, pada masa kini, monogami, baik secara praktis maupun hukum, dianggap lebih logis. Sistem kemitraan seksual jangka panjang tersebut ideal untuk membesarkan bayi yang lahir dari pernikahan sehingga anak dapat hidup lebih sejahtera secara ekonomi serta psikis. Mereka pun bisa terhindar dari penelantaran, pelecehan, kekerasan, hingga pembunuhan akibat konflik rumah tangga. Akan tetapi, karena tak selaras dengan watak natural sapiens, kita acap menemukan kasus “perselingkuhan”. Monogami bagai tali kekang bagi hasrat alami manusia yang tak ubahnya kuda liar.
Meski begitu, bukan berarti manusia mudah saja tunduk pada kecenderungan evolusioner itu. Dalam Righteous Mind, Jonathan Raidt menulis bahwa reputasi lebih penting daripada menjadi benar. Sebagai Homo socius, manusia dituntut selalu tampak bermoral. Namun, saya bertaruh, apabila dianugerahi cincin legenda Gyges yang membuat pemakainya tak kasat, manusia akan tunduk pada bisikan gennya dan memilih punya banyak pasangan.
Sayang, cincin Gyges cuma mitos. Hanya beberapa orang yang berani secara terang-terangan menyatakan sikap untuk berpoligini atau berpoliandri atau berpoliamori. Yang pertama agaknya masih bisa diterima norma di berbagai tradisi, tetapi dua sisanya dianggap terlalu kontroversial. Bagaimanapun juga, semua itu berisiko mengoyak stabilitas keluarga dan tatanan sosial. Maka, sebagian orang memilih berselingkuh.
Agaknya, kawan saya belum sanggup menerima bahwa dalam tataran gen, orang jatuh cinta kepada seseorang di luar pasangan “resmi” merupakan perilaku yang wajar dan alami. Beberapa orang bisa berdamai dengan tuntutan genetiknya dan memilih poliamori. Dengan begitu, ketika jatuh cinta kepada orang lain, secara sadar ia akan meminta persetujuan atau kerelaan semua pihak untuk melanjutkan hubungan tersebut.
Namun, ketika cara tersebut tak bisa jadi pilihan, seseorang harus berdamai dengan dogma dan tatanan hidup ideal dengan menegakkan monogami. Sebagai kompromi terhadap naluri evolusi, ia mesti rela menjadi pengikut Marcus Aurelius, yang bila saya sesuaikan postulatnya, akan berbunyi: Perihal kamu jatuh cinta kepada orang lain, itu sesuatu yang tidak bisa kamu kontrol. Akan tetapi, apakah kamu memilih melanjutkan atau menghentikan “tindakan” terkait perasaan tersebut, semua ada dalam kendalimu. Amorfati.
Sasti Gotama adalah dokter sekaligus penulis prosa fiksi. Karya-karyanya pernah menjadi buku sastra pilihan Tempo 2024 dan 2020, pemenang pertama hadiah sastra RASA 2022, cerpen pilihan Kompas 2020 dan 2023, pilihan juri sayembara novel DKJ 2023, dan pemenang kedua sayembara naskah teater DKJ 2024.
Editor: Asief Abdi