Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Kritik Seni

Meludah Mitos


					Foto oleh Adek Agustian/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Adek Agustian/Sivitas Kothèka

Kebiasaan saya membaca cerpen berawal dari melihat sudut pandang. Upaya lebih lanjutnya adalah menjauhkan penulis dari karyanya. Jarak itulah yang akan tumbuh sebagai “yang liyan”, bahwa sebuah cerita berdiri secara otonom. Beberapa orang menganggap sebuah cerita tidak lepas dari pengetahuan yang diperoleh penulis. Anggapan itu tidak salah tetapi juga tidak sepenuhnya benar, sebab apa yang dikarang penulis tidak selalu berangkat dari pengalaman pribadi. Hal itulah yang menjadi dasar dari tilikan yang akan saya lakukan pada buku Ludah Nabi di Lidah Syekh Raba (LUNALISA) karangan Royyan Julian.

Kunci yang saya pegang hanya satu, yaitu mencari. Dorongan untuk mencari tahu latar belakang pencerita bertujuan untuk memudahkan tilikan atas apa yang terjadi di dalam setiap cerita. Narasi umum yang digiring dalam cerita LUNALISA merupakan mitos-mitos dalam arti harfiah, saling melempar isu. Latar-latar yang lemah, hanya digambarkan sebagai pelengkap bahwa mereka, para tokoh harus bertempat tinggal. Lemahnya aspek tersebut menggambarkan bahwa cerita tidak berfokus pada latar, melainkan isu-isu yang dibawa. Dan juga bisa diartikan bahwa latar lemah muncul karena lokasi yang diceritakan tokoh tidak jelas keberadaannya (jika ingin menghubungkan pada realitas).

Contoh, dalam cerita “Ludah Nabi di Lidah Syekh Raba”, tokoh pencerita sepertinya adalah tokoh yang ideal. Dia melihat berbagai peristiwa di masa Panembahan Ranggasukawati, termasuk kecemasan sang raja melihat kemarau panjang yang tak berkesudahan. Raja kemudian menemukan penawarnya melalui mimpi yang membawanya untuk memohon bantuan kepada Abdurrahman atau Syekh Raba. Dijelaskan dalam cerita bahwa ada ular taksaka dan macam-macamnya. Yang menjadi pertanyaan, siapakah tokoh ini? Punya peran apakah dia di kerajaan? Juru tuliskah dia, sehingga bisa mencatat segala peristiwa? Tidak ada jawaban yang bisa saya ajukan atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, kecuali bahwa tokoh ideal ini adalah peristiwa dan merupakan cerita itu sendiri. Seperti sebuah film atau tontonan lain, kita hanya bisa menyaksikan. 

Di sana tentu saja ada perebutan narasi antara tokoh dalam cerita dan tokoh yang menceritakan tokoh yang lain. Jika tokoh itu bernama peristiwa, tokoh lain harus merebutnya dan mengendalikan dengan cara menceritakan apa yang dialami, kondisi latar, dan lain sebagainya. Di dalam cerita, tugas tokoh yang bernama peristiwa itu hanya menyambung alur agar cerita itu selesai, baik dengan decak kagum maupun raut heran dari pembaca.

Lalu, dalam cerita “Di Malam Bulan Darah, Mogut Menyantap Jenazah Orang Kafir” saya melihat keganjilan. Tokoh aku disebutkan tinggal empat puluh hari dan melihat Tan Gin Nio mati terkapar di ranjangnya, Tanjung Mayang (hal. 16). Dia tahu betul tentang Gin dan dengan pengetahuannya itu pula dia terkesan berlebihan dan mengada-ada. Bagaimana bisa seseorang yang hanya tinggal 40 hari bisa mengetahui segala yang dilakukan Gin dalam satu waktu? Mengantarkan warga yang sakit atau hajatan dengan mobilnya, menjenguk orang lahir, sakit, meninggal, menyantuni anak yatim, fakir miskin, janda, beramal ke madrasah dan masjid-masjid, bahkan menyumbang beberapa ekor sapi di Hari Raya Kurban, serta kebaikan-kebaikan yang lain (hal.19).

Tentu saja, perilaku demikian tidak dilakukan sepanjang waktu secara kronologis. Apalagi dalam waktu empat puluh hari Gin berhasil memecahkan rekor dengan perilaku demikian. Menyumbang sapi di Hari Raya Kurban mungkin bisa dimaklumi karena barangkali 10 Dzulhijjah jatuh di antara empat puluh hari itu. 

Di waktu yang lain juga terjadi keganjilan mengenai pengetahuan tentang mogut. Tokoh aku mengetahui mogut dari Walid, temannya yang mengizinkan dia tinggal. Walid hanya memberitahu bahwa mogut adalah orang yang melakukan pesugihan karena dari jarak jauh dia bisa mencium aroma kematian orang yang dicekik sakaratul maut (hal. 25).

Sementara itu, sebelumnya dia juga mempertanyakan desas desus yang diusung warga terkait dengan adanya mogut yang mengusung jenazah. Pada kesempatan yang lain, dia membawa pembaca ke dalam sudut pandangnya ketika melihat mogut. Dia menggambarkan sosok itu begitu nyata: berubah menjadi monster kambing berkaki dua, berkuping terkulai, bermata saga, dan bertaring penuh liur. Dia meloncati pusara sebanyak tujuh kali, mendesiskan mantra untuk mengambil jenazah di dalam kuburan, dan membawa pulang ke rumahnya untuk disantap bersama keluarganya (hal. 26). 

Jelas dia mempertanyakan adanya mogut dan hanya tahu mogut sebatas dari pengetahuan yang Walid beri padanya. Namun, di situ dia menjadi lebih tahu dan membuat isu itu bergulir di hadapan pembaca dan menghentikannya setelah menyadari bahwa cerita ini perlu diselesaikan. Dia akan kembali setelah kecamuk ini berakhir pada akhir cerita. Saya ingin bilang padanya agar dia tidak sok tahu dan segera berhenti ngawur.

Kejadian ini juga terjadi pada cerita-cerita yang lain, dengan tokoh yang beragam dan cenderung ideal. Tokoh-tokoh ini juga pandai menciptakan mitos, baik secara peristiwa maupun secara bahasa (konotatif). Tokoh ideal itu menggunakan simbol bahasa yang oleh Roland Barthes disebut mitos. Bahasa-bahasa yang digunakan cenderung mengekploitasi, merekayasa, dan mempermainkan sistem tanda bahasa. Dengan demikian, mitos bukan menggunakan makna primer saja, melainkan makna yang tersembunyi dari pengertian secara harfiahnya.

Cerita di dalam LUNALISA didukung oleh adanya isu selipan, seperti politik, lingkungan, dan keagamaan. Upaya itu dilakukan oleh tokoh-tokoh untuk memperkuat keterhubungan antara apa yang diceritakan dan isu yang diangkat.

Dalam “Kutukan Tanah Leluhur” kita bisa melihat tokoh Ribka menganggap bahwa pohon-pohon bidara yang dibakar merupakan salah satu syarat dari dukun untuk melancarkan bisnis (hal. 34). Kemudian di “Cangkir Malam Seribu Bulan”, pada tokoh Hesan yang didatangi seorang perempuan berjubah putih yang mengatakan, “Kau telah meneguk habis Lailatul Qadar sebelum waktunya,” setelah meletakkan cangkir putih kosong di lantai, di hadapan Hesan. Dia menyadari bahwa mata perempuan itu sama dengan mata kucing yang berhasil dia tolong setelah dia melesat cepat (hal. 60). Lalu, dalam “Perempuan dan Beringin” juga memakai isu serupa, yaitu tentang seorang Ustaz Zulkarnain yang menganggap bahwa pohon beringin di belakang rumah Rauda membawa warga menuju kemusyrikan karena memasang sesaji dan mengira menghamba pada pohon (hal. 68). Pada “Perjamuan Sunyi”, mitos itu menyelimuti kaum perempuan, dengan berbagai macam streotipe yang ditempelkan kepada mereka, bahwa keperawanan merupakan sebuah kehormatan, beban keluarga ada di perempuan, dan sebagainya (hal. 80). Sampai pada cerita terakhir,  saya kira nada ceritanya seperti itu.

Pengolahan mitos-mitos dalam cerita berkaitan dengan apa yang diketahui oleh tokoh-tokohnya. Selama membaca buku ini, tokoh-tokoh cenderung memiliki pengetahuan yang luas. Menguasai berbagai bidang untuk memberikan pemahaman kepada banyak pembaca. Di dalam buku ini kita seakan-akan diajak untuk merenung, bahwa dunia yang kita tinggali begitu kompleks. Tidak semua masalah bisa kita pecahkan. Membaca buku ini, seakan-akan membaca tawaran untuk mematangkan apa yang akan diputuskan, diambil, dan dijalani.

Meskipun melalui mitos-mitos, buku ini mampu memberikan gambaran yang kuat tentang permasalahan yang kita hadapi bersama. Tokoh ideal itu cenderung menyentil kita untuk melihat realitas dan memahami lebih dalam. Di kehidupan kita, mitos adalah sesuatu yang tak terelakkan. Dan bahkan kita juga menciptakan mitos untuk kepentingan pribadi kita semata.

 

Zainal A. Hanafi seorang pembaca, penulis, dan aktivis budaya. Ia aktif di Sivitas Kothèka dan Compok Literasi.

 

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Memandang Cinta dari Jauh

3 September 2025 - 16:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni