Drama Korea agaknya menjadi salah satu komoditas utama penggerak arus transnasionalisme Asia abad ke-21. Asia memang telah mengalami globalisasi ketika dunia Barat baru saja bangkit dari era Kegelapan. Kala itu, Korea tak berperan sebagai bintang. Internasionalisasi di Asia pada pertengahan milenium kedua hanya mengarahkan jarum kompasnya kepada India dan Cina. Namun, mata angin kebudayaan beralih kiblat ketika Jepang dan Korea sukses membangun bisnis hiburan yang bahkan tak cuma menjangkau pasar Asia Tenggara, tetapi juga merebut hati konsumen Barat.
Daya halus Korea melalui produk sinematiknya itulah yang menggugah Sivitas Kothèka menyelenggarakan diskusi pada 23 Maret 2025. Koloman Budaya ke-96 yang digelar di Kafe Manifesco tersebut mengambil judul “Cita Rasa Drama Korea” setelah beberapa bulan sebelumnya komunitas ini juga mengapresiasi karya-karya maestro animasi Jepang, Hayao Miyazaki.
Diberi kata pengantar oleh Ketua Sivitas Kothèka, Afnan Rahmaturrahman, acara yang dimulai pada pukul 20.00 WIB tersebut dipandu Rofi’ati Nur Diana. Agenda bulanan yang dihadiri anak-anak muda Pamekasan itu mengundang pegandrung dan pengamat partikelir drama Korea (drakor), Risalah Nur Estetika. Dalam paparannya, Risa—begitu ia karib disapa—tak cuma menyorot sejarah kemasyhuran drakor di Indonesia. Berdasarkan kapabilitas dan pengalamannya bertungkus lumus dengan sinema Negeri Ginseng itu, ia turut merekomendasikan sejumlah drama Korea yang dinilai bermutu prima.
Risa menyebut Autumn in My Heart (2000), Jewel in the Palace (2003), dan Full House (2004) sebagai tonggak popularitas drakor yang mulai tenar di Indonesia pada tahun 2000-an. Lalu, ia mengajukan lima alasan mengapa drakor mudah digemari penonton Indonesia. Pertama, selain karena tema-tema yang diangkat tergolong populer—seperti kisah cinta anak-anak muda—premis drakor juga acap dikembangkan dengan cerita menarik, tak klise, dan sukar ditebak.
Kedua, budaya yang direpresentasikan drakor punya kemiripan kultural dengan Indonesia sehingga audiens Tanah Air mudah mengindentifikasi diri. “Contohnya kayak ibu-ibu yang suka mengunjungi dan bawain makanan buat anak-anaknya yang merantau. Ini kan Indonesia banget,” tukas Risa. Perintis Marion Fashion Theory itu juga memberi contoh relasi asmara di antara karakter-karakter pada drakor yang memiliki etiket dan tabu yang sama dengan hubungan cinta dalam tradisi Indonesia. “Enggak kayak tokoh-tokoh film Barat yang ketemu pertama kali aja udah langsung ciuman.”
Ketiga, drakor dicintai para pemirsa Indonesia karena dimainkan aktor dan aktris yang tak cuma sedap dipandang, tetapi juga memiliki kemampuan akting memadai. Meski tak bisa digebyah uyah, faktor inilah yang menjadi salah satu pembeda drakor dengan sinetron Indonesia yang seringkali memilih para pemeran cuma berdasar modal tampang, tapi berkemampuan akting payah.
Keempat, drakor digarap dengan sinematografi yang baik. Elemen-elemen sinematik, tata artistik, dan skenario yang ditakar dengan kualitas mumpuni gayung bersambut dengan wajah rupawan serta kapasitas aktor-aktrisnya untuk membangun sebuah drama yang menarik. Itulah mengapa, meski menyajikan tema-tema receh, drakor sulit dianggap produk sinematik abal-abal.
Kelima, drakor direncanakan dengan jumlah episode yang pasti. Ia tak seperti sinetron Indonesia yang sering bertele-tele dan tak keruan juntrungnya. Tersanjung (1998—2005) yang berakhir di musim ketujuh bisa diajukan sebagai contoh betapa berlarat-laratnya sinetron Indonesia. Untungnya, saat itu tak banyak pilihan hiburan sehingga sinetron yang dibintangi Ari Wibowo, Lulu Tobing, Adam Jordan, dan Jihan Fahira ini tetap ditunggu-tunggu emak-emak di perkampungan.
Risa mengajukan dan mengurai sejumlah judul dari berbagai genre sebagai contoh drakor yang wajib ditonton setidaknya sekali seumur hidup. Katakanlah pada genre slice of life, ia merekomendasikan Reply 1988 (2015), Dear My Friends (2016), My Mister (2018), Hospital Playlist (2020), dan My Liberation Notes (2022). Di genre romance ia menyebut It’s Okay That’s Love (2014), Another Miss Oh (2016), Because This is My First Life (2017), Crash Landing on You (2019), dan When the Camellia Blooms (2019). Sementara itu, ia menganjurkan serial Stranger (2017) di genre thriller.
Meski subjektif dan relatif, Risa tetap memberi standar penilaian untuk drakor yang bagus. Baginya, drakor berkualitas akan memenuhi tujuh syarat: karakter-karakternya digarap dengan keperajinan yang baik; ditulis dengan baik yang dapat dilihat dari penokohan kuat serta plot dan dialog menarik; akting para pemerannya meyakinkan; logis dan tidak meremehkan intelektualitas penonton; akhir ceritanya memuaskan; meninggalkan kesan mendalam bagi penonton; menerima penghargaan. Maka, Risa memberi contoh Age of Youth (2016), Prison Playbook (2017), dan Be Melodramatic (2019) sebagai judul-judul drakor kurang memenuhi kriteria bagus, tapi tetap berharga untuk ditonton.
Menanggapi pertanyaan tentang isu kompleks Cinderella yang menjadi benang merah antara drakor, sinetron Indonesia, dan telenovela Meksiko—yang sempat populer di Tanah Air pada tahun 90-an—Risa menjawab ada benar dan tidaknya. Sejumlah drakor memang kerap mengangkat kisah cinta gadis miskin dengan pria kaya. “Tapi kalau kita nonton drakor kekinian yang mengangkat masalah itu, hubungan cinta terjadi bukan karena motif si cewek miskin terobsesi dinikahi cowok tajir. Ceritanya beralih ke persoalan kesenjangan kultur serta gaya hidup si cewek dan si cowok yang berbeda,” ungkap Risa.
Selain itu, diskusi juga bergulir ke problem efek samping drakor ketika cantik-tampan selebritas Korea menjadi standar cantik-tampan kawula muda Indonesia. Bagi Risa, kita tak perlu minder melihat wajah rupawan para aktor-aktris Korea. Sebab, semua orang tak harus cantik-tampan. “Ketika sadar bahwa kita kurang cantik, itu menjadi kesempatan meningkatkan potensi kita yang lain, misal intelektualitas,” nasihat Risa.
Selain kemiripan budaya sebagaimana yang telah disinggung, sebenarnya standar cantik-tampan inilah yang mendorong hiburan Korea Selatan bisa diterima konsumen Tanah Air. Maskulinitas lembut bintang pria drakor dan K-pop, misalnya, masih bisa ditiru orang-orang Indonesia ketimbang maskulinitas keras aktor-aktor Hollywood. Cowok-cowok Indonesia dengan tinggi badan tak seberapa sulit menyamai Keanu Reeves yang bertubuh menjulang. Jika memperkekar badan, orang Indonesia malah terlihat seperti Bagong ketimbang Arnold Schwarzenegger. Begitupun cewek-cewek drakor dan BLACKPINK lebih mungkin ditiru gadis-gadis Tanah Air daripada wanita-wanita hipermaskulin dalam budaya pop Barat. Itulah mengapa, film-film Bumilangit Cinematic Universe atau Satria Dewa Universe yang berusaha meniru tubuh besi para perwira Marvel dan DC tak memiliki banyak peminat ketimbang drakor.
Sukar dipungkiri, keberhasilan drakor di Indonesia tak lepas dari peran para penggemarnya yang gila-gilaan melakukan “propaganda” dengan memperluas resonansi gelombang budaya Korea. Para pemuja militan drakor secara tak sengaja menciptakan apa yang disebut sosiolog Iran-Amerika Asef Bayat sebagai social non-movement, sebuah aksi bersama dari agen-agen yang merasa memiliki identitas serupa meski terfragmentasi dan tak dikontrol ideologi, organisasi, serta elite tertentu. Social non-movement inilah yang dulu turut memantik gerakan revolusi Musim Semi Arab di kalangan rakyat Timur Tengah.
Tentu, drakor diterima penonton Indonesia karena ia memiliki siasat integrasi kultural yang memungkinkan budaya Korea luwes diadopsi dan diadaptasi sehingga terasa seperti milik sendiri. Sarjana Jepang, Koichi Iwabuchi, misalnya, mencatat bahwa budaya Asia Timur mampu menembus pasar Asia Tenggara lantaran memiliki watak “tak berbau” (odorless) yang memberinya kemiripan sekaligus perbedaan dengan kultur konsumennya tanpa kehilangan superioritas atas budaya penerimannya.
Di akhir diskusi, Risa menyinggung politik kebudayaan Korea Selatan yang menyokong industri drakor. “Pemerintah di sana support banget sama rumah-rumah produksi drakor. Makanya, drakor berkembang pesat dan kualitasnya bagus,” pungkas ibu rumah tangga berusia kepala tiga itu.
Royyan Julian adalah Pemimpin Redaksi sivitaskotheka.org.
Editor: Ikrar Izzul Haq
Foto: panitia