Seni barangkali memendam watak subversif yang membuat kekuasaan bergidik.
Sejak tagar #KaburAjaDulu ngetren di media sosial, nasionalisme warga sipil dipertanyakan sejumlah pejabat dan buzzer-buzzer-nya. Alih-alih menjadi bahan refleksi atas kinerja yang telah ditunaikan, tren tersebut justru mereka telan mentah-mentah.
Lalu, muncul tagar #IndonesiaGelap yang menandai ketakbecusan para pejabat sehingga roda pemerintahan berjalan terseok-seok. Tagar tersebut menginisiasi gerakan massa beberapa waktu silam. Pada aksi-aksi itu, para demonstran mengacungkan poster-poster kritik. Lagi-lagi, tuduhan jiwa nasionalisme rendah kembali ditudingkan kepada rakyat.
Di masa huru-hara efisiensi yang mendera masyarakat Indonesia saat ini, sekonyong-konyong kita dihadapkan pada karya seni yang jarang menampakkan wajah lainnya: seni sebagai kritik. Lagu “Bayar Bayar Bayar” karya Sukatani, misalnya, ditarik dari berbagai platform karena tekanan lembaga kepolisian yang menjadi sasaran kritik. Tak lama setelah itu, muncul pemberitaan bahwa band punk asal Purbalingga tersebut ditawari status Duta Kepolisian Republik Indonesia—yang bisa kita baca sebagai modus apologia.
Di sisi lain, Fadli Zon, Menteri Kebudayaan kita, menyampaikan pernyataan yang tak menunjukkan keberpihakan kepada Sukatani selaku pekerja seni. Daripada Sukatani, ia lebih representatif bila menyandang predikat Duta Polri. Di negeri di mana para pemimpinnya doyan membagi-bagikan kue kekuasaan, jabatan ganda bukan persoalan yang perlu dicemaskan.
Mungkin sebagian orang mengira bahwa selera seni bangsa ini sedang mengalami kemajuan ketika Kementerian Perumahan dan Permukiman mengundang Dewa 19 tampil pada peluncuran logo barunya pada 21 Februari lalu. Atau, ketika presiden memberi instruksi untuk memutar tembang nasional “Indonesia Raya” setiap pukul enam pagi. Betapa tidak, komposisi dan lirik lagu Wage Rudolf Supratman itu kerap memaksa kita menahan air mata haru.
Pada ragam kesenian lain, kita melihat pematung kondang Nyoman Nuarta turut andil menggarap megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Ia menegakkan istana negara dalam wujud ikon burung Garuda. Tentu, kualitas karya seniman Pulau Dewata itu muskil disangsikan.
Tiba-tiba kita terkejut mendengar kabar bahwa pameran tunggal perupa Yos Suprapto yang bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” urung diselenggarakan di Galeri Nasional Indonesia. Menurut pihak galeri, pembatalan tersebut dilakukan karena pandangan artistik sang seniman tak selaras dengan visi kurator. Tapi kita segera tahu gonjang-ganjing seni-senian tersebut terjadi karena sejumlah lukisan tak lolos dari mata kurasi: karikatur si “Raja Jawa”. Karya-karya karikatural itu beredar luas di jagat internet.
Kita juga patut risau, awan gelap akan menyelubungi nasib karya sastra kontemporer yang saat ini masih luput dari sensor rezim otoriter. Sejauh ini, ragam seni yang mengalami pemberedelan adalah karya-karya dengan ekspresi lugas; karya-karya seni yang dipahami dan digemari massa. Audiens akan mudah menangkap pesan kritik dalam karya rupa, sedangkan musik merupakan genre seni yang paling familier dalam keseharian khalayak. Berbeda dengan kedua bentuk kesenian tersebut, orang-orang butuh usaha ekstra untuk membaca dan memahami karya sastra. Kita boleh menduga karya sastra lolos dari pencekalan karena aparat dan para pejabat tak membaca karya sastra.
Serangkaian pemberedelan itu mengembalikan ingatan kita pada masa Orde Baru. Saat itu, segala lini kehidupan serba-diawasi dan peredaran karya-karya seni dikontrol rezim. Akhirnya, perkembangan kesenian di Indonesia berjalan jumud. Wajar jika pencekalan lagu “Bayar Bayar Bayar” Sukatani dan pembatalan pameran Yos Suprapto menerima respons keras masyarakat, terutama dari para pekerja seni. Mereka khawatir sejarah suram kesenian di Indonesia terulang kembali.
Jauh sebelum Lekra mendeklarasikan manifesto seni untuk rakyat dan politik sebagai panglima, Horatius telah mencatat bahwa karya sastra juga mengemban tugas utile—selain fungsi dulce. Sastra pada khususnya dan seni pada umumnya haruslah “bermanfaat”, di samping “menyenangkan”. Namun, ahli sastra yang hidup pada abad pertama sebelum masehi itu tak menjelaskan lebih jauh pembagian porsi kedua perkara tersebut. Mungkin ia tahu, zaman segera bergegas dan dinamika kemanusiaan akan semakin kompleks.
Tak ada pakem terkait porsi dulce dan utile. Keduanya lentur dan akan menyesuaikan diri dengan kondisi di mana sebuah karya lahir. Dalam situasi sosial adem ayem dengan pemimpin yang becus, seniman cenderung punya banyak waktu bereksperimen dengan karya seni sehingga aspek dulce akan menonjol. Sementara itu, karya seni yang lahir dari kondisi carut-marut seperti Indonesia saat ini, sisi kritik kesenian lebih mendesak untuk dipajankan.
Barangkali, pada akhirnya karya seni harus menyambut takdirnya sebagai juru selamat rakyat Indonesia yang kini tengah bertekuk lutut di bawah langit kalabendu. Dengan spirit kritik yang laten dalam karya seni itulah, para seniman Indonesia berduyun-duyun melancarkan kecamanan terhadap pemerintah. Bisakah sikap tersebut dibaca sebagai kata lain antinasionalisme? Andai negara tak salah memahami reaksi khalayak, mungkin Bahlil urung melontarkan omong-kosong tentang jiwa nasionalisme masyarakat Indonesia.
Ikrar Izzul Haq adalah pembaca sastra.
Editor: Putri Tariza