Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Esai Budaya

Bunuh Diri, Sebuah Diskursus


					Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Di saat seabrek riwayat, babat, mitos, dan legenda, dari yang adikodrati macam Heracles hingga ekspedisi geologi ilmiah ala Juan Ponce de León, abadiah membuat manusia menyalahi kefanaannya. Namun, melenceng dari gugus riwayat ini, Begawan Mayangkara justru hendak mengakhiri kekekalannya. 

Sang Resi melakoni Senggana Duta, melucuti Prabu Dasamuka, bergelar Ramandayapati hingga jadi pupuh merambak gagrak Ramawijaya, bersandang Anoman Obong menjadi Begawan Mayangkara, mengayomi Pandawa, menyaksikan mangkat Prabu Parikesit, suntuk ia hidup seratus tahun. Dan setelah seratus tahun kesunyian (mencolek karya Gabriel García Márquez), ia berserah pada fana, menyongsong kematian adalah alasan Mayangkara menghadap Batara Guru.

Pengen mati namung dereng keparengake (Hamba mendamba kematian, namun kehendak ini belum terkabul), cuplikan Mayangkara garapan Wayang Orang Bharata di panggung Indonesia Kaya menjadi solilokui betapa lemah seorang insan digdaya. Gaung nestapa si agung adiluhung semacam ini juga lantang dikumandangkan Richard II, dalam drama garapan Shakespeare di ambang kematiannya. Dengan jarum jahit yang sama, Mayangkara memohon kematian pada bapaknya sendiri, Batara Guru, agar ia bisa tewas dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Sehingga, pengabulan Batara Guru atas kehendak mati Mayangkara di Setra Gandamayit, jatuh di tangan Prabu Yaksadewa. Peristiwa-peristiwa itu membuat pernyataan St. Augustine dalam De Libero Arbitrio (On Free Choice of The Will―terjemahan), juga teolog Thomas Aquinas dalam Summa Theologica bertepuk sebelah tangan. 

Sejak awal, jangkar religi tak pernah menghendaki laku demikian. Jangankan menunaikan kehendak bunuh diri, memikirkannya saja sudah dianggap sebagai kode perlawanan terhadap Sang Pencipta. Krisis spiritual, degradasi moral, bisikan setan, otak sedang gak beres, semua itu mutlak dianggap sebagai manifestasi multisimptomatik pendosa yang mau bundir. Tapi, tidak ada gebrakan yang dapat menolong ambivalensi satu ini:

Resi Mayangkara justru mendamba kematian saat ia matang secara pengalaman, kesaktian, spiritual, dan moral. 

Kehidupan, ini bukan konon, mesti dikenyam dengan semangat animo, harus didamba dan dilakoni. Sehingga, mengambil nyawa sendiri dianggap lebih maling daripada para koruptor, lebih mbeling sebab merampas pekerjaan Tuhan. Oleh karena itu, sejak zaman baheula peradaban dibangun dari dasar-dasar moral kehidupan (kalau bisa, perpanjanglah hidup, bukan malah mempersingkatnya). Bagaimana kehidupan diganjar dan dilakoni, bukan diakhiri. Itulah mengapa puncak khayali mitos dan legenda membendung mitem keabadian.

Mari menoleh pada legenda arkaik Gigamesh. Demi menyelamatkan sohibnya (Enkidu) yang sudah binasa, Gilgamesh mencari Utnapishtim yang konon diberkahi hidup kekal oleh para Dewa, sehingga bukan hanya siaran Indosiar yang aktor-aktrisnya bisa bangkit dari kubur, melainkan Enkidu pun demikian. 

Yang lebih mutakhir adalah legenda Arthurian The Quest of the Holy Grail. Selain membariskan pasukan untuk mencari The Holy Grail, legenda ini menyongsong kekal yang tak sekadar hidup abadi: sebuah pencapaian puncak pencerahan spiritual, restorasi tubuh, dan pembersihan moral. Dengan begini, pembaca yang budiman punya pilihan bahwa mencangklong ransel lalu gabung bersama ekspedisi Raja Arthur bisa menyempurnakan fana yang rumpang.

Babat Celtic tidak akan terbaca jika seseorang tidak bangkit dari kubur untuk menceritakan nestapa moyang dan kutukan turun-temurun. Kaum Bard yang lahir jadi pendongeng dan politikus jenius tiba-tiba mati kutu. Mereka yang pandai bersilat lidah tak bisa memikirkan apa pun; otak mereka kopong dan lidah mereka kelu. Seseorang kemudian bangkit dari kubur buat menyudahi kutukan ini. Bukan, bukan dengan memantrai atau gelut dengan umat metafisik, kutukan ini beres kalau seseorang bisa menceritakan kisah Táin Bó Cúailnge sampai tamat. Dari selusin mitologi purba, puncak dari segala tujuan merupa keabadian. 

Anehnya, kisah Mayangkara juga tak lebih muda dari deretan mitos di atas. Namun, ia justru menjadi arketipe kisah arkaik yang berontak. 

Baiklah, mari mencari selusin manifestasi dari produk budaya yang lebih kekinian. Tahun 2011 prekuel Pirates of the Caribbean: On Stranger Tides mengusung ekspedisi pencarian tirta amerta. Yang lebih bombastis dan lebih gres Midnight Mass (2021) mendera nafsu impulsif kekal bin awet muda. Akan tetapi, berbeda dengan prekuel garapan Rob Marshall, penduduk Crockett Island dalam Midnight Mass secara masif bundir massal sambil mendayukan lagu Gereja Katolik, “Nearer, My God, to Thee”. Mereka semua sepakat berserah dan justru yang paling beriman di antara merekalah yang dengan lapang menyerahkan diri untuk mendahului kehendak Tuhan. 

Kiranya genre tirta amerta dibagi menjadi dua: ekspedisi-ekspedisian atau orang-orang (yang mestinya ditakdirkan) kekal dengan tingkat keimanan sundul langit tetapi memiliki keinginan kuat untuk menyudahi keabadian mereka lewat bunuh diri. Memang tidak adil bila membandingkan Resi Mayangkara yang sudah bermandi wahyu dengan warga biasa Crockett Island yang keimanan mereka digalang dari rutinitas peribadatan. Namun, di antara keduanya iman dan ketetapan hati adalah suatu pijakan, bahwa dorongan untuk binasa bukan semacam usaha untuk menyatakan perang kepada Tuhan, apalagi sedang krisis moral.

Anehnya, sesiapa yang memiliki keinginan untuk self-destruction mutlak tercemplung dalam kategori orang-orang tak beriman, sehingga mereka takkan mempan bila dicekoki Madu Pinasthika, atau bahkan bila dijerumuskan ke kawah Candradimuka. Di negara ini, tak terhitung jumlah orang yang berkehendak bundir segera dilarikan ke orang pintar atau kiai untuk dirukiah. Ini menandakan bahwa ternyata perkara paling sensitif di kehidupan kita justru dianggap remeh dan “pasti bisa sembuh”. Tinggal banyak-banyak berdzikir saja. 

Albert Camus mengawali meditasi pemikiran dalam The Myth of Sisyphus dengan ungkapan bahwa bundir termasuk perkara filosofis yang tegese paling jeru. Sebelum menutup meditasinya soal lakon kasihan Sisyphus “the point is to live”, ia menyodorkan pengukuhan bahwa kehendak bunuh diri tidak bisa disederhanakan dan shodaqalla hul adzim begitu saja dengan pendekatan sains, filsafat, agama, dan masyarakat. Dengan begitu, apakah patut  mempertanyakan keimanan dan landasan moral para penulis Virgina Woolf, Osamu Dazai, dan Sylvia Plath yang memilih untuk bundir, misalnya?

Lantas, apakah diskursus ini memproklamasikan bundir sebagai tindakan rasional dan cukup spiritual sehingga itu adalah hak semua bangsa?

Sebelum menuduh yang bukan-bukan, mari melipir sebentar ke karya Sasti Gotama yang paling oranye, Ingatan Ikan-Ikan. Sejoli Lian dan Ombak, keduanya sepakat bersiar bahwa Tuhan gak ngapa-ngapain saat keduanya jadi korban kerusuhan 1998. Hal yang sama terendus dalam film The Suicide Club, saduran cerpen Robert Louis Stevenson dalam koleksi The New Arabian Nights, yang mempertanyakan peran Tuhan sebagai penonton. Ini tidak bisa dipandang dan disimpulkan melalui riak permukaannya saja. Dark satire sejenisnya memberi nuansa bahwa manusia “Sudahlah jatuh, masih ketiban tangga.” Berusaha bangkit sekuat tenaga, tetapi kehidupan tidak berubah sama sekali. Nasib memukuli mereka bertubi-tubi. 

Kalau fokus bundir menyasar dan merundung individu, saya lebih setuju dengan Emile Durkheim (On Suicide) yang mengatakan bahwa kasus bunuh diri berpijak pada kondisi sosial yang terus membuat seseorang tertekan. Meskipun ada banyak bagian pembahasan yang tidak saya setujui, misalnya bagi Durkheim ini tindakan egois, saya menyukai konsep anomik-nya. Esther Greenwood dalam The Bell Jar bundir bukan karena krisis iman. Lingkungan tempat ia tumbuh yang justru membuat tunas harapannya terinjak. Ia secara mental babak belur sebab ekspektasi sosial. 

Tentu tidak mengagetkan, para penderita shell shock kebanyakan mengakhiri hidup. Septimus Warren Smith dalam Mrs. Dalloway lompat dari jendela sebab ia tak mampu mengangkat rasa sakit yang sudah menjajah sanubarinya. Kalau mau contoh yang bukan fiksi, ada laporan dari The Independent. Sebanyak 6000 veteran terdata bunuh diri di sepanjang tahun 2018 (2019, July 8, The overwhelming number of suicidal military members, and the neglect they face. The Independent). Ditambah, USO mengabarkan bahwa angka bundir tentara justru empat kali lebih tinggi daripada tentara yang mati bergelimpangan selama operasi militer (2023, September 6, Concerns rise over military suicide rates; Here’s how the USO is trying to help).

Kalau shell shock hanya terkungkung pada gangguan neurologis fungsional, itu berarti arah penelitian memilih budek soal hal-hal lain yang mendasari patriotisme dan nasionalisme. Posisi seseorang dalam masyarakat, ia sebagai seorang anak dalam sebuah keluarga yang bangga menjadi pahlawan, juga sebagai seorang kawan yang melihat teman mati di medan tempur, perlu dikokang. Ia digelontor rasa bersalah karena tak dapat menolong seorang kawan dan di sisi lain dihantui musuh yang tumbang di tangannya.

Lagi-lagi, mereka yang berseragam, menenteng senapan, upacara bendera jauh lebih rutin daripada warga biasa, yang katanya bermandi patriotisme dan sudah menyandang status pahlawan, mengapa mereka memilih bundir?

Tekanan sosial rupanya tidak beres setelah korban meninggal. Keluarga yang kehilangan juga terkena stigma. Dari bertumpuk kasus yang dianalisis The Guardian menyatakan bahwa banyak keluarga korban yang menyelewengkan informasi bundir dengan alasan kecelakaan atau alasan lainnya (2017, Januari 9, Suicide crisis: Why is it not considered a cause of death for young people in the UK). Semua ini untuk menutupi “aib keluarga”. Sudah jatuh, ketiban tangga, masih dilumuri aib.

Menurut saya, tuduhan pada Tuhan yang tidak ngapa-ngapain muncul sebagai posisi terdesak manusia yang dihantam situasi dan orang-orang sekitarnya, sehingga ia mengharapkan semacam mukjizat agar rasa sakitnya terangkat. Bukan karena krisis spiritual. Dengan mengajukan permohonan ini, simpulan yang lebih masuk akal dan jauh dari gegabah adalah di saat seperti itu orang tersebut masih percaya bahwa Tuhan Maha Penolong, bukan “Tuhan enggak ngapa-ngapain.” Keadaan ini bertolak belakang dengan Albert Camus dalam The Rebel, pada keadaan terdesak, seseorang akan cenderung protes atau melawan dengan mempertanyakan Tuhannya:

The rebel defies more than he denies. Originally, at least, he does not suppress God; he merely talks to Him as an equal.” (Pembangkang lebih banyak menentang daripada menyangkal. Setidaknya pada awalnya, bukannya ia menyingkirkan Tuhan; ia hanya berbicara kepada-Nya sebagai makhluk yang setara.)

Mungkin itu yang membuat Armand Hoog (Les Petits Romantiques) begitu yakin, meskipun analisisnya dilumuri nuansa Nietzschean bagi Camus. Hoog berkata, “God is not yet dead, even in romantic literature,” (Tuhan belum binasa, bahkan dalam sastra romantik sekalipun,). Maka dari itu, Tuhan belum terbunuh bahkan dalam jiwa mereka yang memutuskan untuk bundir.

Di bagian ini saya menekan pendapat yang terkail dalam benak saya. Saya sangat menentang bunuh diri sebagai bentuk self-destruction. Menurut saya, orang yang memutuskan untuk bunuh diri mati sebab dibunuh masyarakatnya. Orang-orang terus menderanya tanpa henti, keputusan-keputusan politik membuat kehidupan semakin tidak mudah untuk dijalani, dan seterusnya. 

Semua ini adalah kerjaan manusia yang mencekik sesama manusia. 

Rasanya perlu untuk merevisi pertanyaan, “Ia bundir pakai apa, pisau atau tali Pramuka?” dengan “Kebijakan ekonomi dan politik macam apa yang membuatnya gantung diri? Siapa saja orang terdekatnya? Dan apa saja yang mereka katakan padanya?” Bagi saya, bunuh diri lebih terdengar seperti “kejahatan massal” sebagaimana The Guardian yang mengatakan bahwa bunuh diri adalah krisis nasional, bukan krisis eksistensial seorang individu belaka. Seharusnya, negara harus lebih reflektif dengan aturan, tatanan, dan kebijakan. 

Kalau dari empat tipe alasan bundir ala Durkheim (On Suicide), yaitu egoistik, altruistik, anomik, dan fatalistik, Ravi Philip Rajkumar dalam studinya di Frontiers membagi tipe itu menjadi dua kelas. Yang egoistik dan altruistik lebih ke masalah individu yang terkucil dari komunitasnya dan sisanya, anomik dan fatalistik, terjerumus pada kontrol masyarakat yang berlebihan. Menurut saya,  keempatnya justru saling berkelindan, dan saya tidak melihat keinginan bundir bertunas dari seorang individu. 

Cukup nyeri rasanya ketika korban bundir yang tewas sebab didesak masyarakat, dihajar kebijakan politik dan ekonomi, setelah tewas dilabeli “aib”, negara malah apatis terhadap kejadian ini―sepenuhnya menyalahkan individu entah kurang beriman atau butuh pertolongan psikolog. 

Memang, psikolog akan sangat membantu. Namun, apalah guna psikolog apabila selama pasien menjalani perawatan, pengobatan, dan terapi, lapangan pekerjaan masih mengerucut dan UMR masih segitu-segitu saja, sedangkan harga kebutuhan dasar terus melonjak, banjir tak surut-surut, tekanan demi tekanan bermunculan, angka kriminal terus naik. Maling membeludak, orang mesti menjalani empat pekerjaan dalam sehari, dan ketika pulang lembur mereka ditebas begal. Mati akhir-akhir ini begitu gampang, dibunuh atau bunuh diri. 

Saya ulangi, patutkah bunuh diri sepenuhnya kita sebut urusan pribadi belaka?

Hotline pencegahan bunuh diri atau layanan SEJIWA yang disiasati negara, khususnya Kementerian Kesehatan, malah bikin penelpon trauma (2023, August 31, Hotline pencegahan bunuh diri “belum memadai” dan rentan “bikin kapok”—masa orang mau bunuh diri dijawab jutek), penanggap hotline malah memberi jawaban jutek, sebagaimana laporan BBC News Indonesia. Kenyataan ini sungguh memuakkan. Kalau sudah begini, orang akan cenderung nihil, bahkan yang diharapkan dapat menolong malah merampok harapan itu sendiri. 

Gawatnya, narasi dan pemikiran soal bunuh diri terlalu sibuk dengan pemberian edukasi. Muhammad Iqbal, seorang psikolog yang dimintai pendapat oleh Detik News perkara tragedi bundir satu keluarga di apartemen Jakarta, paham betul soal hajat Emile Durkheim. Ia bahkan menyadur gagasan monumental On Suicide, tetapi ia gencar menggagas bahwa edukasi perkara kesehatan mental penting digelontorkan di empat arah mata angin, di sekolah, tempat kerja, juga media sosial. Ini tak kalah sumbang dengan membawa seseorang ke orang pintar untuk dirukiah. 

Lagi-lagi, apalah guna guru-guru, kurikulum yang terus berubah, buku-buku baru yang mubazir tak terpakai sebab penyesuaian kurikulum, unjuk rasa di depan kantor TU sebab buku-buku sekolah zaman ini tidak bisa diturunkan ke adik-adik kelas. Buku baru butuh uang untuk membelinya. Aduhai, saya banyak mendengar janji palsu, tetapi kepalsuan tak pernah sepalsu ini. Ini sama konyolnya dengan menyuruh seseorang yang sedang kelabakan tenggelam di Brantas, misalnya, untuk mempelajari tips dan trik berenang.

Baiklah, mari berharap pada media massa yang terus menyebarkan imbauan tentang bunuh diri, menyediakan ruang untuk saling bertukar nestapa masing-masing. Namun, sebalok tempe tidak bisa terbeli dengan hanya nge-like akun-akun motivasi. 

Seorang pembunuh mesti insaf dan mengakui kesalahannya dulu selama meniti masa hukuman. Masyarakat yang terus menekan dan pemerintah yang tak henti mencekik pun harus insaf, paling tidak memohon ampun pada rakyatnya. Baru setelah itu mereka bisa bergerak, kali ini perlu gerak cepat. Kalau tidak begini, mari kita nikmati adegan manusia tumbang dan berbincang dengan rumput yang bergoyang. 

 

Putriyana Asmarani adalah penulis cerpen dan esai.

 

Editor: Ikrar Izzul Haq 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

17 September 2025 - 12:00 WIB

Banyak dibaca di Esai Budaya