Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Esai Budaya

Watak Alami Patriarki


					Foto oleh Putri Tariza/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Putri Tariza/Sivitas Kothèka

“Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; engkau akan melahirkan anakmu dengan kesakitan; tapi engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu,” sabda Tuhan pada Hawa usai puan pertama itu tersandung dosa asali. Fragmen kitab Kejadian tersebut kerap ditafsirkan sebagai sanksi bagi Hawa setelah memakan buah terlarang, sebuah vonis yang membuatnya patuh atas Adam. Dalam tradisi Yudeo-Kristiani, relasi laki-perempuan acap dibingkai dalam kerangka ketundukan dan dominasi. Pandangan serupa muncul dalam banyak tradisi, membentuk keyakinan bahwa patriarki merupakan bagian dari tatanan kosmos.

Namun, apakah patriarki benar-benar sekadar produk dogma agama dan konstruksi sosial? Atau, jauh sebelum kitab-kitab suci ditulis, dominasi pria sudah lebih dulu tertanam di DNA anak Adam?

Dalam teori evolusinya, Charles Darwin meyakini bahwa ciri yang bertahan pada makhluk hidup merupakan hasil seleksi alam—hanya sifat yang memberi keuntungan bagi kelangsungan hidup yang akan lestari. Logika serupa, saya pikir, juga berlaku pada budaya manusia. Kita bisa menyebutnya “seleksi budaya”.

Jika seleksi alam memungkinkan makhluk hidup berkembang sesuai tekanan lingkungan, seleksi budaya memungkinkan manusia mempertahankan sistem sosial yang paling efektif. Pertanian, misalnya, lahir sebab gaya hidup berburu-meramu tak lagi mencukupi populasi yang kian meledak. Cara hidup itu terbukti lebih efisien dan bertahan selama ribuan tahun.

Begitu pula struktur sosial. Jika patriarki masih bertahan hingga sekarang, bukankah artinya sistem tersebut pernah memberi keuntungan evolusioner bagi nenek moyang?

Mellanie Challenger dalam How to Be Animal menulis bahwa manusia punya mekanisme unik perihal bertahan hidup. Bagi dia, budaya kompleks serta pembelajaran sosial dan teknologi menjadi alat utama kita untuk sintas tanpa usah berevolusi menjadi spesies baru. Maka, budaya bisa dipahami sebagai bentuk adaptasi manusia terhadap tantangan lingkungan.

Sebagai contoh, di daerah dingin, manusia tidak mengembangkan rambut tebal layaknya beruang kutub sehingga mereka menciptakan pakaian berbulu dan tempat tinggal yang melindungi dari suhu ekstrem. Sebaliknya, di daerah tropis, manusia mengembangkan kultur yang lebih terbuka terhadap aktivitas luar ruangan.

Dengan nalar yang sama, patriarki mungkin pernah menjadi strategi sosial yang efisien bagi manusia. Namun, untuk memahami bagaimana ia bermula, kita perlu menyelisik muasalnya pada struktur yang lebih mendasar: hierarki.

Para ahli menduga bahwa masyarakat pemburu-pengumpul purba bersifat lebih egaliter. Namun, seberapa jauh kesetaraan itu berlangsung? Bagaimanapun, manusia merupakan primata sosial yang kecil kemungkinannya untuk hidup tanpa hierarki. Tampaknya, untuk menengok jauh ke belakang, kita bisa mengamati spesies yang paling dekat secara genetis dengan manusia.

Simpanse mungkin dapat memberi gambaran bagaimana nenek moyang manusia mengorganisasi kelompok. Tentu kita bukan keturunan simpanse, begitu pula sebaliknya. Akan tetapi, kera besar itu berbagi 98,8% kesamaan DNA dengan kita dan membentuk struktur sosial yang hierarkis seperti manusia. Dalam kawanan, tatanan tersebut berperan penting dalam berburu, melindungi anak-anak, serta menghadapi ancaman eksternal. Lebih dari itu, hierarki menghasilkan kepatuhan dan keteraturan. Di lingkungan yang kompetitif, ketertiban adalah kunci. Kawanan butuh pemimpin.

Dalam banyak spesies sosial, posisi puncak tidak terbuka merata bagi semua individu. Pejantan lebih sering mencapai puncak kuasa lantaran faktor biologis. Mereka tidak perlu mengandung dan menyusui bayi. Secara fisik, jantan lebih besar, kuat, dan leluasa bergerak ketimbang betina. Selain itu, salah satu hormon dalam tubuh pejantan juga berperan besar dalam dominasi.

Carl Sagan dalam Shadows of Forgotten Ancestors menduga bahwa testosteron bertanggung jawab atas agresi, teritorialitas, dan dominasi pada jantan. Ia menyebutnya perilaku “khas cowok”. Tidak mengherankan jika keberanian jadi ciri maskulin. He’s got balls, kata orang Barat untuk menyebut pria tangguh.

Dalam Kingdom Animalia—termasuk manusia—menjadi jantan alfa banyak untungnya. Ia tidak hanya disegani, tapi juga punya akses lebih besar terhadap betina. Maka, wajar jika pejantan berlomba-lomba menjadi superior, baik di hutan belantara maupun di kantor pemerintahan.

Lalu, bagaimana dengan betina? Apakah mereka hanya pasif dalam tatanan tersebut? Sepertinya tidak. Betina ternyata bukan sekadar objek dalam struktur sosial yang menempatkan pria di posisi utama; mereka juga berperan dalam melanggengkannya. 

Suatu eksperimen pada tikus menunjukkan bahwa betina dapat mendeteksi aroma pejantan dominan tanpa perlu “kenalan” terlebih dahulu. Pola serupa agaknya juga terjadi pada manusia. Banyak perempuan cenderung tertarik pada laki-laki berstatus sosial tinggi.

Seorang selebritas pernah berkata kalau sekarang banyak wanita independen lantaran laki-laki mapan sedikit. Pernyataan tersebut memicu kontroversi, tetapi tidak sepenuhnya keliru. Studi menunjukkan bahwa preferensi perempuan terhadap pria dengan status tinggi bukan sekadar konstruksi sosial, melainkan juga bagian dari naluri evolusioner.

Jared Diamond dalam Evolusi Reproduksi Manusia menulis bahwa laki-laki pemburu-pengumpul yang sukses membunuh binatang besar sering kali menyemat predikat keren serta dilirik para wanita. Keberhasilan dalam perburuan tidak hanya menunjukkan keterampilan, tetapi juga kekuatan dan ketangguhan—atribut yang menarik bagi kaum Hawa.

Perilaku macam itu tak jauh beda dengan dunia modern. Ketertarikan gadis-gadis pada pemuda “Halo, Dek” saya pikir berakar pada insting yang sama. Meski tidak semua perempuan punya preferensi demikian, pola tersebut menunjukkan bahwa dominasi lelaki tak hanya dipertahankan oleh sistem sosial, tapi juga oleh mekanisme biologis yang lebih dalam.

Mari kita anggap kalau patriarki merupakan strategi sosial yang pernah memberi keuntungan bagi spesies kita. Lantas, bagaimana relevansinya dengan masa kini?

Dunia telah berubah. Kita tidak lagi berburu mamut atau bertarung melawan segerombolan predator. Teknologi dan peradaban memungkinkan kita membangun masyarakat yang lebih kompleks di mana peran individu tak lagi ditentukan semata-mata oleh kekuatan fisik atau dominasi testosteron.

Akan tetapi, apakah itu berarti patriarki akan lenyap? Belum tentu. Seperti seleksi alam, seleksi budaya juga tidak menghapus sepenuhnya ciri-ciri lama. Ia cuma menyesuaikannya dengan zaman.

Patriarki, barangkali, tak lagi berwujud dominasi fisik, tapi menjelma kontrol ekonomi, politik, atau teknologi. Mungkin, alih-alih pejantan alfa yang kuat, kini yang berkuasa ialah mereka yang mengendalikan sistem. Dan siapa pun yang ingin mencapai puncak harus menjadi “petarung” yang tangguh. Patriarki sepertinya tidak akan pernah benar-benar hilang—ia hanya berevolusi.

 

Asief Abdi adalah seorang naturalis.

 

Editor: Putri Tariza

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

17 September 2025 - 12:00 WIB

Banyak dibaca di Esai Budaya