Menu

Mode Gelap
Kawin Silang Ekonomi Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

Kritik Seni

Cerita di Balik Vegetarian


					Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Terpilihnya Han Kang sebagai penerima Nobel Sastra 2024 membuat saya teringat percakapan saya dengan anak saya, Yuan, lima tahun lalu, saat dia baru duduk di kelas dua SMP. Ketika saya tahu waktu itu Yuan membawa buku Vegetarian karya Han Kang, saya agak terkejut. Bukan lantaran buku tersebut kurang layak dibaca, melainkan karena sebagian isinya, terutama adegan dewasa, mungkin belum sesuai untuk anak SMP.

Sebagai orang tua, saya ingin mengingatkan dengan halus agar Yuan memahami konteks bacaan tersebut. “Ayah memperbolehkan kamu membaca buku itu,” kata saya, “tapi sebenarnya bukan untuk dibawa ke sekolah. Kalau gurumu tahu kamu bawa novel itu, bisa jadi mereka mengira kamu hanya tertarik pada bagian yang kurang sesuai untuk usiamu.”

Saya berharap Yuan bisa memahami maksud saya. Akan tetapi, alih-alih setuju, ia justru memberi jawaban yang membuat saya tertawa. “Tenang, Yah. Setahu guruku, ini buku tentang bunga-bunga.”

Entah Yuan mengatakan yang sebenarnya atau tidak, saya menangkap sebuah pemahaman yang menggelitik. Dalam kalimat singkat tersebut, Yuan seakan menyindir bahwa gurunya mungkin tidak akan membaca buku itu secara menyeluruh. Pernyataan tersebut, jika dipahami lebih dalam, membuka pintu bagi berbagai isu yang relevan dalam dunia literasi, pendidikan, dan hubungan kita dengan sastra. Ada beberapa dimensi yang bisa kita bedah dari pengalaman itu, terutama yang berkaitan dengan pengertian literasi dalam konteks sekolah, keterkaitan sastra dengan nilai-nilai moral, dan pentingnya pendidikan sastra yang holistik.

Cerita Yuan mengindikasikan bahwa ada ketidakseriusan dalam mengapresiasi sastra di lingkungan sekolah. Jika benar bahwa seorang guru sekadar melihat Vegetarian dari sampulnya, maka itu adalah salah satu contoh bagaimana karya sastra sering kali cuma dipahami secara dangkal, tanpa pemahaman mendalam tentang kontennya. Hal tersebut bisa disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya yaitu kurangnya waktu atau minat dari pihak pendidik untuk menelusuri lebih dalam teks-teks yang mungkin tidak masuk dalam “kurikulum resmi”.

Kenyataan bahwa Yuan merasa aman membawa buku tersebut ke sekolah dengan asumsi gurunya tidak akan membacanya, mencerminkan adanya jarak antara guru dan siswa perihal apresiasi sastra. Guru, sebagai pemandu dalam dunia literasi siswa, seharusnya tidak hanya memberikan penilaian berdasarkan tampilan luar atau sekadar sinopsis, tetapi juga memahami keseluruhan teks, makna di baliknya, dan dampak psikologis atau emosional yang mungkin ditimbulkan pada siswa. Namun, kesenjangan itu barangkali sudah biasa terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Banyak sekolah yang lebih memprioritaskan teks yang dianggap “aman” atau “sesuai kurikulum”, padahal sastra kerap mengandung muatan kompleks yang bisa merangsang diskusi kritis di kelas.

Vegetarian, sebuah novel yang dalam permukaannya bercerita tentang seorang wanita Korea yang memutuskan menjadi vegetarian, sejatinya merupakan eksplorasi yang dalam tentang patriarki, kekerasan seksual, dan kebebasan individu. Bagaimana sebuah karya macam itu bisa diterima atau bahkan disalahpahami oleh pembaca awam menunjukkan bahwa literasi bukan semata-mata kemampuan membaca, melainkan kemampuan untuk menafsirkan, merenungkan, dan mendiskusikan karya sastra dengan kritis.

Salah satu kekhawatiran saya ketika mengetahui Yuan membawa Vegetarian ke sekolah ialah adegan-adegan dewasa yang ada dalam buku itu. Sebagai orang tua, tentu saya merasa perlu melindungi anak saya dari konten yang mungkin belum sesuai untuk usianya. Namun di sisi lain, saya juga sadar bahwa sastra tak selalu menyajikan dunia yang “aman” atau sesuai dengan nilai-nilai moral tertentu. Sebaliknya, sastra acap menantang norma-norma sosial dan memaksa pembaca berhadapan dengan kenyataan-kenyataan yang sulit, bahkan pahit.

Dilema yang saya rasakan sebagai orang tua dalam konteks ini yaitu soal kapan waktu yang tepat bagi anak-anak untuk mulai berinteraksi dengan sastra yang kompleks, dan bagaimana kita bisa memandu mereka. Yuan, misalnya, mungkin belum sepenuhnya memahami kompleksitas emosional atau psikologis yang terkandung dalam Vegetarian, tapi membaca karya itu bisa menjadi kesempatan bagi kami, sebagai orangtua dan anak, untuk berdialog tentang tema-tema berat seperti identitas, kebebasan, dan kekerasan.

Kita sering kali terlalu protektif dalam memilih bacaan untuk anak-anak, dengan asumsi bahwa mereka tidak bisa menangani tema-tema kompleks atau kontroversial. Namun, pengalaman membaca Yuan menunjukkan bahwa anak-anak sebenarnya cukup cerdas untuk menafsirkan dan bahkan menyepelekan hal-hal yang dianggap orang dewasa sebagai “berbahaya” atau “tidak pantas”. Dalam kasus Yuan, ia lebih fokus pada aspek yang dianggap “tidak berbahaya”, seperti sampul buku atau gambaran bunga-bunga, dibandingkan tema-tema berat di dalamnya.

Pengalaman Yuan juga menggambarkan tantangan yang lebih luas perihal literasi pada era digital. Zaman sekarang, anak-anak memiliki akses yang jauh lebih luas ke berbagai jenis konten, baik melalui buku cetak maupun elektronik. Kebebasan itu membawa dampak positif dan negatif. Di satu sisi, mereka dapat mengeksplorasi beragam topik dan genre yang mungkin tidak akan mereka temui di sekolah atau lingkungan sekitar. Di sisi lain, hal tersebut juga menimbulkan kekhawatiran tentang paparan terhadap konten yang belum cocok dengan usia mereka.

Literasi di era digital juga menghadirkan tantangan bagi para pendidik dan orang tua untuk terus mendampingi anak-anak dalam proses membaca mereka. Ketika akses ke informasi semakin mudah, tanggung jawab untuk menyaring, mengarahkan, dan mendiskusikan konten dengan anak-anak jadi lebih besar. Kalau para pendidik dan orang tua tidak terlibat aktif dalam memahami dan membahas apa yang dibaca anak-anak, kita bisa kehilangan kesempatan untuk membentuk pemahaman yang kritis dan reflektif.

Sebagai contoh, jika seorang anak membaca Vegetarian tanpa bimbingan atau diskusi lebih lanjut, ia mungkin hanya akan menangkap sisi permukaan dari cerita tersebut, tanpa memahami pesan-pesan mendalam yang ada di balik narasi. Di sinilah peran penting pendidik dan orang tua dalam membuka ruang diskusi yang memungkinkan anak-anak memahami karya sastra dari berbagai sudut pandang.

Vegetarian sendiri merupakan karya sarat simbolisme dan lapisan-lapisan makna yang tidak mudah dicerna dalam sekali baca. Novel itu bercerita tentang Yeong-hye, seorang wanita Korea yang memutuskan berhenti makan daging sebagai protes terhadap kekerasan yang ia alami baik secara fisik maupun emosional. Keputusan tersebut, meski tampak sederhana, memicu rangkai peristiwa yang menggambarkan kekerasan patriarki, kontrol sosial, dan dehumanisasi dalam masyarakat Korea modern.

Narasi Vegetarian yang suram dan introspektif membawa kita ke dalam dunia yang penuh ketidaknyamanan dan absurditas, di mana keputusan pribadi seorang wanita bisa memicu reaksi yang begitu ekstrem dari orang-orang sekitarnya. Han Kang dengan brilian menggunakan kisah itu untuk mengeksplorasi bagaimana masyarakat kerap berusaha mengendalikan tubuh dan pilihan individu, terutama perempuan.

Gelar pemenang Nobel Sastra menjadikan Han Kang simbol penulis yang mampu menggambarkan kompleksitas manusia dan masyarakat dengan cara yang tak mudah dicerna. Melalui karya-karya seperti Vegetarian, ia mengajak pembaca untuk merenungkan soal kebebasan individu, batas-batas moral, dan kekerasan yang tersembunyi di balik norma-norma sosial.

Kisah tentang Yuan dan Vegetarian mungkin tampak seperti anekdot sederhana, tetapi sesungguhnya membuka diskusi yang lebih luas tentang bagaimana kita memandang literasi sastra dalam konteks pendidikan dan keluarga. Sastra, terutama karya-karya yang kompleks dan menantang, mestinya tidak hanya dibaca untuk hiburan, tapi juga sebagai medium untuk berdialog perkara nilai-nilai, identitas, dan perubahan sosial.

Sebagai orang tua dan pendidik, kita memiliki tanggung jawab untuk membekali anak-anak dengan kemampuan literasi yang kritis—bukan kemampuan membaca kata-kata belaka, melainkan juga menafsirkan makna, mempertanyakan asumsi, dan merenungkan pesan-pesan yang terkandung dalam sebuah karya. Dengan demikian, sastra bisa menjadi jendela untuk memahami dunia dengan lebih baik, baik bagi anak-anak maupun bagi kita semua.

Han Kang, melalui Vegetarian, telah memberi kita contoh bagaimana sastra bisa meresahkan sekaligus mencerahkan, mengganggu sekaligus menginspirasi. Di balik setiap cerita, ada kekuatan untuk mengubah cara kita melihat diri sendiri dan masyarakat sekitar.

 

Yuditeha adalah penulis yang tinggal di Karanganyar dan sesekali menjadi fasilitator sekolah.

 

Editor: Asief Abdi

 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Memandang Cinta dari Jauh

3 September 2025 - 16:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni