“Marie Curie emang gokil! Dia satu-satunya perempuan di antara para ilmuwan pria!” cetus Nanda Fauzan suatu petang. Ucapannya merujuk pada potret hitam-putih kala Marie Curie berfoto bersama Einstein, Bohr, Heisenberg, Schrodinger, dan saintis pria lainnya di Konferensi Solvay kelima pada 1927. Padahal, perempuan cerdas bukan perkara menakjubkan. Menurut neurosains, meski otak wanita berukuran 10% lebih kecil ketimbang pria, kapasitas intelektualnya setara otak pria. Merunut lebih jauh ke masa-masa pra-Marie Curie, kita akan menjumpai lebih banyak ilmuwan perempuan yang sayangnya tak jarang dilabeli penyihir.
Kisah Hypatia adalah contoh brutal. Kecemerlangan otaknya di bidang matematika, astronomi, dan filsafat menerbitkan kecemburuan biarawan fanatik. Pada musim panas 415, ia ditangkap ketika memberi kuliah dan dituduh penyihir. Biji matanya dicongkel, lidahnya dipotong, organ dalamnya diburaikan, dan sisa tubuhnya dipanggang.
Perburuan penyihir perempuan tak berhenti sampai situ. Di Eropa abad ke-15 sampai 17, kira-kira 500 ribu orang yang kebanyakan perempuan dituduh tukang sihir dan dibakar setelah disiksa dengan penghancur jempol, sepatu bertaji, pita jarum, tang panas sebagaimana dicatat Marvin Harris dalam Sapi, Babi, Perang dan Tukang Sihir. Begitu juga di New England. Dalam The Devil in the Shape of a Woman disebutkan bahwa 78% dari 344 tersangka penyihir adalah wanita. Agaknya, hal ini sejalan dengan risalah panduan perburuan penyihir Malleus Maleficarum yang menyebut bahwa penyihir biasanya berasal dari kalangan perempuan lantaran mereka dianggap gampang percaya kepada iblis.
Sebagian besar tuduhan itu konyol, cuma berdasar pada kebencian personal, sengketa tanah, dan menyasar perempuan terbuang yang tak selaras sistem patriarki, seperti memilih selibat serta tak mau beranak. Meski begitu, beberapa kasus memang menarget perempuan pintar, terutama perihal keahliannya dalam bidang medis tradisional. Agaknya hal ini selaras dengan stereotipe penyihir masa itu yang kerap digambarkan sebagai perempuan tua jelek, berhidung panjang lengkap dengan kutil, tinggal bersama kucing hitam, dan gemar bikin ramuan di kuali besar. Bisa jadi ramuan tersebut berkhasiat mengecilkan bisul, menurunkan demam, atau obat halusinasi. Namun, ramuan itu lebih sering dianggap biang kerok kematian sapi-sapi di desa, bocah sawan, dan gagal panen gandum.
Kelihaian perempuan dalam meramu jejamuan sebetulnya bisa dilacak ke masa yang jauh, sekitar 70 ribu tahun silam. Kala lelaki sibuk mengejar mamut, perempuan gabut dalam gua pergi menyusuri hutan sekitar. Otak yang terlatih merawat anak membuat mereka lebih cermat mempelajari tumbuhan. Bisa jadi mereka menemukan bahwa kulit leluhur pohon poplar bisa menurunkan demam atau nenek moyang pegagan mampu menyembuhkan luka—sebuah prestasi mengingat dahulu kala kebanyakan penyakit dianggap ulah iblis. Ketika perempuan cerdas mampu mengusir setan dari manusia purba penyakitan, logis bila ia dianggap setara dewa. Jangan-jangan arketipe dewi-dewi atau Bunda Agung mencitrakan para perempuan superior itu.
Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan budaya, secara hierarkis perempuan makin dianggap inferior. Bagi Yuval Noah Harari, pergeseran tersebut terjadi tidak secara alami. Seperti hierarki tuan-budak dan kulit putih-kulit hitam, sistematika itu hanya eksis di dunia khayali yang konyol dan tak berdasar. Hierarki memang dibutuhkan untuk mengatur persekutuan manusia dalam jumlah besar, yang meski tidak saling kenal, bisa bekerja sama secara efisien. Maka, mitos identitas, kebangsaan, dan dogma dibutuhkan untuk merekatkan massa. Sayang, mitos tersebut kerap melegitimasi purbasangka inferioritas perempuan, termasuk tingkat intelegensinya.
Kita akrab dengan kisah-kisah dari berbagai kepercayaan. Seperti ketika perempuan pertama tegas menyatakan apa yang “ingin ia makan”—bukan berkata “terserah” seperti cewek-cewek masa kini—manusia terusir dari surga. Atau riwayat yang dikisahkan Al-Majlisi dalam Hayat al-Qulub: Ketika Adam menabur benih gandum, yang tumbuh adalah gandum, sedangkan ketika Hawa melakukannya, yang tumbuh malah jelai. Sedari awal perempuan dianggap tidak kompeten bahkan untuk perkara sederhana seperti menanam.
Sebuah potongan film hitam-putih berbahasa Inggris—saya lupa judulnya—masih tergambar jelas dalam benak. Si lelaki tampak berusaha membaca tingkat kecerdasan perempuan dengan menempelkan tangan pada kepala si perempuan seolah telapaknya ialah topi sihir yang membaca isi kepala Harry Potter. Pria itu bergeming, lalu berkata, “Tak becus dalam sains dan seni, tapi lihai dalam mengurus anak.”
Hingga kini, narasi-narasi tersebut agaknya dipertahankan secara turun-temurun. Sebagai contoh, perempuan dianggap tidak lihai mengemudi dan membaca peta. Padahal, menurut riset, perbedaan volume gray matter pada hipokampus mid-posterior tidak bergantung pada jenis kelamin, tetapi bergantung pada bagaimana otak dilatih. Jadi, bukan karena nature otaknya yang berbeda, melainkan nurture-nya. Jika sedari dini dilatih menyetir dan membaca peta, perempuan juga akan lihai.
Jadi, asuhan sesuai ekspektasi gender akan memengaruhi terbentuknya “otak wanita”. Karena itu, seseorang yang hidupnya diatur gender, otaknya pun bakal menyesuaikan dengan ekspektasi gender tersebut. Agaknya hal ini selaras dengan postulat Simon de Beauvoir: Perempuan tidak dilahirkan, tetapi dibentuk menjadi perempuan.
Barangkali itulah mengapa tak banyak perempuan yang mampu berkompetisi di lini adiluhung macam sains yang didominasi pria walau secara kognisi keduanya setara. Sejak kecil, kebanyakan perempuan dituntut menjadi wanita “baik-baik”: penurut, manis, dan tidak banyak bicara; karakter yang bertolak belakang dengan watak stereotipikal ilmuwan: logis, kukuh pendirian, dan tak sungkan berdebat untuk mempertahankan teori. Perempuan dengan sikap demikian kerap dilabeli dingin, eksentrik, tomboy, bahkan penyihir.
Marie Curie cukup beruntung tak lahir di masa gelap ketika seseorang mudah melabeli perempuan pemikir sebagai penyihir. Lebih-lebih, dia lahir di keluarga egaliter. Ayahnya memberi dia kesempatan belajar setinggi langit. Begitu juga suaminya, Pierre Curie, membebaskan sang istri untuk menyibukkan diri di laboratorium siang-malam. Maka, bersama si suami, ia berhasil menemukan unsur radioaktif polonium dan radium serta bisa menjadi ilmuwan. Dia punya kemewahan yang tak banyak dimiliki perempuan lain kala itu: pilihan dan kesempatan.
Sekarang, barangkali pilihan dan kesempatan telah direngkuh banyak perempuan meski konstruksi sosial dan dogma-dogma yang tak berpihak kepada mereka masih ada. Belenggu tersebut telah eksis selama puluhan ribu tahun, jauh sebelum manusia mendomestikasi gandum. Akan tetapi, bisa jadi batasan moral yang mengatur perempuan tersebut semula dirancang demi kesintasan mereka.
Terlepas dari semua itu, bagaimana jika kehendak Hawa memakan khuldi bukan sebuah kesalahan? Mungkin sang puan pertama tahu apa yang ia mau: pengetahuan.
Sasti Gotama adalah dokter sekaligus penulis prosa fiksi. Karya-karyanya pernah menjadi buku sastra pilihan Tempo 2020, pemenang pertama hadiah sastra RASA 2022, cerpen pilihan Kompas 2020 dan 2023, pilihan juri sayembara novel DKJ 2023, dan pemenang kedua sayembara naskah teater DKJ 2024.
Editor: Asief Abdi