Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Kritik Seni

Setelah Puisi, Sebuah Third Thought


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Saya merasa harus menyampaikan sebuah catatan tentang satu hal yang sangat ingin saya tanggapi: meneruskan second thought Nirwan Dewanto dalam “Di Seberang Puisi Emosi” di bagian “Postscriptum” yang menanggapi risalah “Puisi dan Intelektualisme” karya Zen Hae.

Setelah membaca dua risalah itu, saya sampai kepada third thought berikut.

Dalam esai “Di Seberang Puisi Emosi”, di bagian “Postscriptum”, Nirwan berkata dengan terang bahwa “intelektualisme berlaku manakala seorang penyair menyiapkan landasan bagi proses kreatifnya, termasuk membuat kredo dan menyatakan tanggapan tertulis tentang situasi kesastraan di ranah yang dekat atau jauh.” Nirwan berusaha menerangkan, barangkali juga berusaha melampaui, kredo Subagio Sastrowardoyo perihal bakat alam dan intelektualisme—juga perihal “puisi sebagai pengentalan pandangan yang filsafat”. Bagi saya, Nirwan berhasil membangun sebuah argumentasi bahwa intelektualisme yang menyerap begitu dalam ke sebuah karya, tak secara niscaya menjebak karya tersebut pada didaktisme yang kering: “Intelektualisme bahkan bisa menghasilkan puisi suasana atau puisi murni.”

Bagaimana mungkin sebuah kredo intelektualisme justru bisa menghasilkan sebuah karya yang terhindar dari didaktisme? Bagi Nirwan, “intelektualisme berlaku manakala penyair menyiapkan landasan bagi proses kreatifnya.” Dan, “intelektualisme hanyalah persiapan menuju kreasi.” Ia memberi contoh, adakah yang intelektualistis dalam sinema Wong Kar-wai dan Abbas Kiarostami, puisi Joao Cabral de Melo Neto dan Vasko Papa, seni rupa Xu Bing dan Paul Klee? Nirwan menjawab, tidak ada yang tampak intelektualistis ketika sebuah karya telah selesai dibuat. Singkatnya, intelektualisme hanyalah sebuah persiapan, sebuah ancang-ancang menuju sebuah kerja penciptaan karya seni.

Sebelum ada karya seni, ada proses intensionalitas, sebuah kesadaran yang tertuju, sebuah intelektualisme. Dari situ, meminjam Subagio, intelektualisme mengendap menjadi pengetahuan bawah sadar dan terinternalisasi menjadi suara batin sang pencipta. Lalu, ilham bawah sadar itu menyeruak tanpa hasrat untuk secara gamblang menguarkannya secara telanjang dalam karya. Sebuah “… kematangan dalam mengolah bentuk persajakan, termasuk bentuk yang bisa mengosongkan intelektualisme atau pandangan filsafat dari tubuh puisi.” Benarlah, dari proses itu, sang pencipta berhasil lolos dari jebakan didaktisme—maaf, saya harus mengatakannya—yang buruk secara bentuk. Di titik ini, karena alasan itu pula, saya sepakat dengan Nirwan.

Maka, “berfilsafat demi puisi adalah justru berlaku anti-didaktik. Cara untuk mengakhiri filsafat itu sendiri.” Persis di situ, bagi Nirwan, Subagio tidak menjalankan dan mengolah intelektualisme dalam sajak di jalan lurus yang serba-normal. Singkatnya: antididaktik. Sajak Subagio bukanlah sajak Platonis yang seolah-olah menjadi. Nirwan meminjam perkataan Goenawan Mohamad, “… sang guru penunjuk jalan.” Intelektualisme Subagio tak menghasilkan sebuah sajak yang gandrung memberi petuah moral atau penunjuk kompas di tengah amuk laut di bawah langit murung dengan ombak yang menggulung-gulung. Kita tidak mendapati sajak yang riang dan serba-petuah, melainkan suasana yang murung, mengerikan, pesimis, pasrah, kalah.

Dari proses yang berhasil keluar dari diktat didaktisme yang tak tampak intelektualistis dalam sebuah sajak, puisi adalah buldoser yang meremukkan bangunan filsafat: “Hanya reruntuhan filsafat. Hanya semu filsafat. Pasemon atas filsafat.” Filsafat telah ambruk, filsafat bermetamorfosis jadi sajak dengan segala bentuk bangun puitiknya: “… di mana segala yang falsafi, intelektual dan diskursif telah berakhir.”

Konsekuensinya, yang terjadi adalah sajak Subagio—Nirwan menyinggung “Manusia Pertama di Angkasa Luar” yang dinukil Zen Hae dalam “Puisi dan Intelektualisme”tidak lagi menjadi “… sejenis realisme atau, katakanlah, sejenis representasionalisme.” Bahwa penggunaan bahasa dalam sajak bukanlah cermin dunia nyata di mana bahasa menjadi pantulan seratus persen dari kenyataan atau alam ide. Sajak sudah selalu lolos dari, juga sinis sekali pada, mimetisme. Bagi Nirwan, segamblang, sejernih, semudah, dan sesederhana apa pun sajak itu, fantasi murni belaka. Singkatnya: hanya sebuah metafora, bukan ungkapan diskursif atau yang-falsafi. Maka, karena sajak adalah metafora, apa yang tampak bukanlah makna yang sebenarnya. Ia mengatakan hal lain. Dan akhirnya sajak sederhana pun mengelak dari pemaknaan tunggal.

Misal, sepuluh larik terakhir (dengan menghilangkan patahan dan kapital di setiap awal larik) dalam sajak “Manusia Pertama di Angkasa Luar”: “tetapi aku telah sampai pada tepi darimana aku tak mungkin lagi kembali. ciumku kepada istriku, kepada anak dan ibuku dan salam kepada mereka yang kepadaku mengenang. jagat begitu dalam, jagat begitu diam. dari bumi yang kukasih. hati makin sepi makin gemuruh. bunda, jangan membiarkan aku sendiri.

Dalam sepuluh larik itu, sajak seolah-olah berbicara langsung dengan makna yang satu. Namun, karena kini ia bukan lagi ungkapan diskursif, hanya metafora, kita juga bisa membayangkan, jangan-jangan dalam sajak itu Subagio sebenarnya sedang menggambarkan sebuah alam kematian. Kini sajak hanyalah metafora, ungkapan fantastik belaka. Bagaimana jika “tepi” adalah alam kematian? Bahwa Subagio hanya menggunakan astronaut untuk memetaforakan, sebagai tamsil, kondisi manusia di alam kematian? Artinya, sajak itu tak hanya bisa ditafsirkan melalui sudut eksistensialitas manusia di angkasa luar, tapi juga bisa ditafsir lain sebagai suara muram orang-orang mati yang rindu kepada hidup. Karena itu pula, sebuah sajak, sesederhana apa pun, jadi kaya dan tak dimiskinkan pada kerangkeng realisme yang maknanya hanya satu.

Benar sudah, filsafat dan segala yang diskursif sudah roboh. Kini yang tersisa metafora dan ungkapan fantastik belaka. Dengan demikian, dari penjabaran di atas, peristiwa kritik puisi adalah kerja-kerja melihat, menganalisis, dan menyigi sebuah reruntuhan, sebuah pasemon—atas filsafat, atas psikologi, atas sosiologi, atas sains, dan seterusnya.

Konsekuensinya, justru dari reruntuhan filsafat itu, peristiwa kritik bermula. Namun, di tangan puisi, ambruknya filsafat tak membuatnya otomatis mati. Persis ketika filsafat runtuh dan menjadi sajak (yang tak didaktik), kritik puisi mulai membangkitkan filsafat dari jagat kematian yang dingin dan sunyi. Filsafat bangkit dari reruntuhan seperti feniks yang hidup lagi dari tumpukan abu.

Sebuah third thought: Sebelum dan setelah puisi, ada filsafat, ada intelektualisme. Sebelum-puisi ada pengarang, setelah-puisi ada pembaca. Sebelum-puisi ada filsafat-pengarang, setelah-puisi ada filsafat-pembaca. Sebelum-puisi ada proses kreatif penyair mengolah bentuk, setelah-puisi ada proses peristiwa kritik yang mensyaratkan keintiman bergumul dengan sajak. Di tengah-tengah keduanya, ada reruntuhan filsafat. Dengan demikian, momen setelah-puisi bukan lagi sebuah kematangan mengolah bentuk, melainkan sebuah kematangan dalam berpikir dan menyigi reruntuhan dengan cara mendalam.

Peristiwa kritik membutuhkan filsafat, juga linguistik, untuk membaca pasemon-filsafat agar tak jatuh pada kedangkalan parafrasa dan tafsir yang kering, persis seperti membedah cadaver di atas meja laboratorium yang disesaki bahasa Latin dengan makna kata seratus persen tak boleh melenceng. Di laboratorium, metafora tak diizinkan masuk. Kegandaan makna adalah barang najis. Yang ada hanya bahasa yang patuh dan merujuk total pada kenyataan.

Filsafat—sekurang-kurangnya dalam arti kedalaman berpikir—perlu dan harus hidup dalam kritik agar, bagi saya, meminjam perkataan Nirwan sendiri, “… ‘kedalaman’ kita terperosok ke dalam siasat verbal itu.”

Di sisi lain, kritik puisi tak harus mengejar atau bersandar patuh pada makna autentik yang diharapkan pengarang—karena memang usaha ini mubazir, barangkali juga mustahil. Kerja kritik yang bermula dari reruntuhan itu tak seperti kerja arkeolog yang hendak mengonstruksi kejadian atau bentuk artefak yang persis sama seperti di masa lampau. Artinya, filsafat yang bangkit dari alam arwah itu tak akan membangun sebuah bangunan yang sama seperti yang terjadi dalam intelektualisme sebelum-puisi. Filsafat yang menyigi pasemon-filsafat, yakni sebuah momen membangun sebuah bangunan dari reruntuhan, akan membentuk sebuah bangunan yang sama sekali berbeda. Burung feniks yang bangkit dari tumpukan abu itu menjadi burung yang sama sekali baru.

Tapi bukan filsafat yang sekadar dinukil untuk menyokong argumentasi kritik, melainkan filsafat yang hadir utuh dalam bentuk penalaran mendalam yang bergumul intim dengan sajak. Dari sajak, kita bisa melahirkan sebuah filsafat yang sama sekali baru. Meski sajak dalam dirinya sendiri, pasemon-filsafat itu sendiri, tak berpretensi mengejar atau menawarkan sebuah teori atau diktat-diktat falsafi yang rigor.

Seperti, misalnya, Derrida yang mengulas panjang lebar karya Kafka, Before the Law, dan menelurkan sebuah konsep filsafat yang bahkan tak bisa diduga Kafka sendiri. Namun, kita tak harus seratus persen sama seperti Derrida yang tak terlalu menekankan, juga seringkali abai, pada analisis bentuk. Dengan imbang kita bisa menyatukan dua hal ini: membangun filsafat dari sebuah reruntuhan di satu sisi dan analisa struktur atau bentuk karya di sisi lain. Toh, yang kedua juga akan berpengaruh besar pada yang pertama.

Namun, kritik sastra yang dirasuki filsafat juga ditakdir jadi reruntuhan, jadi pasemon atas pasemon (meta-pasemon). Singkatnya: metakritik. Kritik sastra dikutuk membangun sesuatu dari reruntuhan untuk menjadi reruntuhan yang lain; membangun tafsir dan konsep untuk menuju tafsir dan konsep lain. Bangunan teks itu ternyata hanya bangunan semi-permanen yang kapan pun siap dibuldoser siapa pun. Persis di situ, kita bisa menawarkan tiga triplet takdir perjalanan sebuah puisi. Pertama, intelektualisme. Singkatnya: kreativitas sebelum-puisi. Kedua, membaca dan menyigi pelan-pelan sebuah sajak, pasemon-filsafat. Ketiga, meta-pasemon.

Di titik ini, tak ada lagi jangkar dan bangunan kokoh nan abadi. Di tengah suara sayup pengarang (sastrawan atau kritikus) yang sedang sekarat, karya apa pun gampang jadi abu. Namun, pada saat yang sama, suatu karya dikutuk terus-menerus bangkit dari tumpukan abu.

Ad infinitum ….

 

R.H. Authonul Muther adalah esais dan Direktur Edisi Mori.

 

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Memandang Cinta dari Jauh

3 September 2025 - 16:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni