Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Koloman Budaya

Ludens


					Ludens Perbesar

Agaknya, panitia dan pengunjung Festival Permainan Tradisional telah bersahabat dengan badai dan hujan yang mengguyur Pamekasan pada Sabtu, 22 Februari 2024. Sebab, angin dan basah tidak menghalangi mereka memulai festival yang telah ditaja sejak dua bulan terakhir. Maka, lalu-lalang manusia menyesaki Manifesco yang menjadi lokasi hajatan tersebut. Pengunjung segera tahu bahwa kafe dan resto di Jalan Jalmak itu sedang menyelenggarakan pesta ketika umbul-umbul, poster, baliho Festival Permainan Tradisional menghiasai area seluas 3.000 meter persegi tersebut.

Inisiasi Tanèan Mosaic Event Organizer yang bergandeng tangan dengan kawula muda Compok Literasi, The Notes, dan Sivitas Kothèka itu dibuka dengan karawitan yang didendangkan siswa-sisiwi SDN Jalmak 1 Pamekasan. Instrumen tradisional yang mereka kumandangkan menggenangi seluruh area utama Manifesco dengan suara masa silam, berkelindan dengan rintik gerimis pukul 13 waktu Indonesia bagian barat. 

Konon, acara itu diwujudkan untuk menjadi festival di Madura yang menghidupkan kembali kegembiraan permainan tradisional Madura, menginspirasi generasi muda, dan menjadi daya tarik wisata baru yang berkelanjutan. Festival Permainan Tradisional merasa turut memanggul tanggung jawab untuk melestarikan dan mengembangkan permainan tradisional Madura, membangun komunitas yang kuat dan inklusif, serta mendorong pertumbuhan ekonomi kreatif, khususnya yang berkaitan dengan permainan tradisional. 

Ketua panitia, Achmad Maghfur, dalam pidato pembukaan berkata, “Hari ini kita berkumpul di sini untuk merayakan kekayaan warisan kita, untuk menghidupkan kembali semangat masa kecil, dan untuk merasakan kehangatan kebersamaan. Bersiaplah untuk terhanyut dalam gelombang kegembiraan untuk melompat, berlari, dan tertawa lepas dalam Festival Permainan Tradisional 2025. Mari kita lupakan sejenak rutinitas sehari-hari, mari kita lepaskan penat, dan mari kita nikmati setiap detik dari festival yang penuh warna ini.” Lalu, pria 44 tahun itu menutup mukadimah dengan aforisme melankolia, “Biarkan semangat persaingan yang sehat membara, biarkan tawa riang menggema, dan biarkan kenangan indah terukir dalam hati kita semua.” Sementara itu, ketika menyampaikan sekapur sirih, Duta Wisata Pamekasan, Rafli Islami Kurniawan, berharap festival ini dapat mengenalkan permainan tradisional kepada generasi belia yang suntuk dalam teknologi kiwari. Secara resmi, festival dibuka dengan demonstrasi kalèlès, semacam permainan tradisional yang mengambil ilham dari properti karapan sapi. 

Hujan telah reda, dahan-dahan ketapang cina meneteskan jejak gerimis. Namun, kelancaran festival tidak bergantung pada cahaya keemasan pukul 3 sore yang absen karena matahari tertutup langit mengkudu. Kala itu, pusat acara pecah di dua area: loteng dan halaman utama Manifesco. Di loteng, 24 bocah tengah menguji selera artistik mereka dalam lomba mewarnai, sedangkan di halaman utama yang dikitari 16 plakat permainan tradisional, diskusi interaktif  “Pelestarian Permainan Tradisional” dilangsungkan. 

“Permainan tradisional bukan cuma permainan, tapi juga menyangkut pembentukan karakter,” buka Prin Hartini yang memandu diskusi interaktif. Bincang santai itu menghadirkan pendiri dan pegiat Kampoeng Dolanan dari Surabaya, Mustofa Sam, sebagai pemantik. 

Pengatar moderator dikukuhkan Cak Mus—begitu pria itu karib disapa. Hompimpa alaium gambreng, misalnya, memiliki arti “dari Tuhan kembali ke Tuhan, ayo bermain”. Ungkapan dalam bahasa sanskerta itu memendam petuah teologis yang menggaungkan kembali falsafah kuno tentang asal-usul dan tujuan eksistensi manusia: sangkan paraning dumadi. Di sisi lain, hompimpa juga menjadi simulasi sederhana praktik musyawarah dalam permainan anak.  

“Permainan tradsional memang berkait dengan tiga perkara: hubungan diri dengan diri, diri dengan liyan, dan diri dengan Tuhan,” tukas Cak Mus. Banyak orang tidak memahami kompleksitas relasi yang sebenarnya melekat secara implisit pada permainan tradisional ini. “Orang tua tidak mengajari anak tentang makna permainan tersebut agar anak-anak berpikir sendiri apa artinya,” tambahnya.  Dengan begitu, anak juga bisa menerapkan hakikat praktik permainan tradisional di kehidupan lebih luas. 

Bagi alumnus Teknik Elektronik Institut Teknologi Sepuluh Nopember tersebut, nilai positif atau negatif sebuah permainan bergantung pada siapa yang memainkannya. Ia memberi contoh domino. Kartu gaple baik untuk melatih nalar, memprediksi probabilitas, dan memperkuat siasat, tetapi jelek ketika disalahgunakan para penjudi. Kasusnya sebelas dua belas dengan gawai yang bisa berguna atau justru memperburuk kualitas hidup. Cak Mus mengutip nasihat Bill Gates dan Mark Zuckerberg yang membatasi anaknya—yang belum cukup umur—untuk menggunakan produk teknologi ciptaan dua figur Lembah Silikon itu sendiri.

Pria 175 cm itu juga menunjukkan contoh tradisi mengejar layangan yang lazim dijumpai di dunia anak. Mengejar layangan meniupkan semangat berdarah-darah untuk tetap optimis meski berhadapan dengan kompetitor berat secara fisik dan muhal untuk dikalahkan. Ia mengajarkan manusia untuk tangguh dan berdiri tegak walau berkubang dalam takdir yang pahit. Pada akhirnya, gim tradisional memiliki efek patos, baik yang bersumber dari diri maupun orang lain ketika dan sesudah permainan dioperasikan. 

Dilansir dari riset panjang seorang pakar permainan tradisional, pendiri Komunitas Hong, sekaligus dosen, Zaini Alif, Cak Mus mengungkap bahwa Indonesia memiliki 2.600 permainan tradisional. Sayang jika jumlah masif permainan tersebut tidak dipraktikkan dan tak menuai manfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi anak-anak generasi sekarang. 

Cak Mus tidak setuju ledekan “masa kecil kurang bahagia” saat ada orang dewasa bermain. Baginya, “Orang dewasa juga butuh bahagia.” Permainan tradisional yang dipraktikkan orang-orang dewasa sebagaimana yang disaksikan di Manifesco saat itu bukan nostalgia belaka. Lagipula, tak ada yang salah dengan nostalgia. “Cuma orang malas dan nirfaedah yang tak tertarik pada masa lalunya,” ucap psikoanalis Sigmund Freud.

Permainan tradisional juga menjadi bukti absolut Homo ludens bahwa manusia memang gandrung bermain-main, bersanding imbang dengan watak Homo faber—manusia yang bekerja. Bahkan, dalam kewajiban faber untuk mencari nafkah, kerap dijumpai watak ludens ketika manusia bereksperimen, memecahkan masalah, berikhtiar secara kreatif, dan berupaya mencapai inovasi. “Jika tidak mampu membangun Indonesia yang besar ini, kita bisa membangun Indonesia dari kampung,” tambah Cak Mus mengutip Zaini Alif yang dianggap gurunya. 

Pukul 17, matahari yang tak kasat mestinya telah tergelincir di ufuk barat. Meski acara hari pertama telah rampung, di area Manifesco masih tampak beberapa anak muda terseok-seok bermain egrang. Mungkin mereka berlatih untuk kompetisi egrang bambu yang bakal diselenggarakan di hari kedua. 

Kompetisi egrang memang berlangsung dengan gembira di hari kedua Festival Permainan Tradisional di halaman belakang Manifesco, 23 Februari 2025. Di area itu juga, sebelumnya lomba gobak sodor diselenggarakan saat gerimis jatuh pada pukul 8. Selain egrang dan gobak sodor, hari kedua festival juga dimeriahkan lomba dam-daman dan kalèlès dengan kontestan yang tak cuma anak-anak, tapi juga orang dewasa.

Jika pada hari pertama, di halaman belakang Manifesco, panitia menyediakan fasilitas periksa kesehatan gratis, pada hari kedua, mereka juga menyiapkan sarana donor darah. Sementara itu, di halaman muka berdiri stan-stan makanan tradisional yang hanya bisa ditebus dengan bilah pering. Rautan bambu berbentuk pipih dengan panjang seukuran sendok tersebut tertera angka yang menunjukkan nilainya. 1 berarti seribu, 2 berarti dua ribu, dan 5 berarti lima ribu. Sebelum membeli, terlebih dahulu pengunjung menukar uang dengan benda bernomor itu kepada panitia. Pengunjung festival, Afnan Rahmaturrahman, menebak mengapa bambu menjadi alat tukar dalam transaksi tersebut. “Festival ini kayaknya mau nunjukin bahwa bambu yang berasal dari alam itu juga berharga,” ujar pria 28 tahun tersebut.

Festival Permainan tradisional ini ditutup pukul 16 dengan pembacaan puisi, pidato penutupan, dan seremoni penyerahan hadiah bagi para pemenang pada setiap kompetisi. “Tahun depan kami akan menyelenggarakan festival ini dengan persiapan dan konsep lebih matang, powerful, dengan impact yang luas,” tukas inisiator festival, Andy Dedyono. “Kami tidak berupaya melawan teknologi, tetapi berusaha menyeimbangkannya. Kami miris melihat di sekolah-sekolah, anak-anak berkompetisi mobile legend. Orang berpikir bahwa bermain gawai menandakan kemajuan, padahal teknologi tinggi juga berarti dekadensi. Dengan festival ini kami ingin mempromosikan permainan yang memiliki muatan edukasi dan kearifan,” pungkas pria kelahiran 1980 itu mengakhiri percakapan.  

 

Royyan Julian adalah Pemimpin Redaksi sivitaskotheka.org.

 

Editor: Ikrar Izzul Haq

Foto: panitia

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta

1 Oktober 2025 - 13:34 WIB

Foto oleh Ahmad Naufal Amini

Mengasah Pisau Karl Marx

9 Agustus 2025 - 14:56 WIB

Warung Madura sebagai Dramaturgi

2 Juli 2025 - 14:05 WIB

Banyak dibaca di Koloman Budaya