Sulit membayangkan apa yang dialami seorang kawan ketika mengisahkan pengalaman spiritualnya—jika boleh disebut demikian—saat menginjak teras arupadhatu. “Di tiga lingkaran di teras bagian atas candi itu, tiba-tiba aku merasa seperti memasuki dunia lain,” tukasnya. “Tak ada lagi ornamen-ornamen seperti yang kutemui di teras bawah. Tidak juga dinding-dinding penuh pahatan. Yang aku lihat hanya berderet-deret Dhyani-Buddha bersemadi. Semua tampak sederhana. Tapi, kesederhanaan itu seolah-olah kesederhanaan kosmis!”
Kata “kosmis” yang sekonyong-konyong melompat dari mulutnya membuat alis kiri saya meninggi. Mendapati raut kebingungan saya, ia pun menjelaskan. “Maksudku, kesederhanaan di teras itu rasa-rasanya menimbulkan semacam ketenangan misterius. Ketenangan yang susah dijelaskan,” tandasnya, disusul asap rokok yang meruap ke udara. Matanya menerawang ke langit-langit kedai seolah lega karena sukses memuntahkan trauma.
Seumur hidup, saya sendiri sebenarnya belum pernah berkunjung ke sana. Monumen megah di Magelang itu pertama-tama saya kenal di halaman belakang Atlas sebagai satu dari tujuh keajaiban dunia. Hal lain yang juga saya ingat dari Borobudur adalah penjelasan mengenai tiga aras dalam kosmologi Buddha yang lazim kita kenal dengan kamadhatu, rupadhatu, dan arupadhatu. Itu pun juga saya baca dari buku paket IPS pinjaman sekolah yang kucel dan tak menarik. Satu lagi, seorang raja besar sebuah dinasti yang menginisiasi pembangunannya, Syailendra.
Sejumlah buku yang saya baca di kemudian waktu memberi wawasan lebih memadai mengenai Borobudur. Pembangunan monumen megah itu, misalnya, konon memakan waktu selama tak kurang dari sepuluh tahun. Menimbang keakbaran ukuran dan keindahan seni tatahnya, Syailendra dari Jawa, jelas merupakan penguasa yang tidak saja kuat, tetapi kaya raya. Hal ini juga didukung oleh absennya catatan sejarah yang menyodorkan bukti bahwa sang raja harus mencetuskan kebijakan efisiensi anggaran dan memecat sejumlah penggawa kerajaan hanya untuk merampungkan megaproyeknya. Sebuah rekonstruksi kreatif sejarah berkata bahwa kekayaan Syaleindra bersumber dari gabungan kekayaan Jawa dan Sumatera. Raja yang namanya berarti “Tuan Pembasmi Musuh-musuhnya” itu, konon memang menjalin hubungan politis dengan Sriwijaya melalui pernikahan putranya dengan putri ahli waris kerajaan di Palembang.
Saya tak tahu persis. Sejarah selalu dibuka dengan tanda tanya dan dipungkas dengan sebuah pertanyaan. Namun, yang lebih memantik rasa penasaran saya adalah apa yang kawan saya sebut dengan “dunia lain”, “ketenangan kosmis”, yang ia rasakan, tetapi tak sepenuhnya dapat ia artikulasikan. Juga apa yang ia kisahkan selanjutnya bahwa di teras arupadhatu, menurut keterangannya, satu stupa raksasa menjulang seakan-akan menutupi apa yang mewakili wujud Buddha itu sendiri—sebuah “ruang kosong”. Budhha diyakini sebagai awal, pusat, sekaligus akhir segala kehidupan.
Kita mulai tulisan ini dengan “ruang kosong” sebagai pintu masuk.
Frasa itu sontak mengingatkan saya pada sebuah sajak Subagio Sastrowardoyo, “Kata”. Larik pembuka sajak itu memberitahu kita bahwa dunia, pada mulanya, disusun oleh kata. Asal mula adalah kata/Jagat tersusun dari kata, tulis Subagio. Memang, melalui kata—dan itu berarti melalui bahasa—manusia menamai benda-benda. Dengan menamai benda-benda, manusia mengenali dunia. Kita ingat, dalam Kejadian, Adam dikisahkan menamai berbagai hal sehingga mampu mengidentifikasi satu dengan yang lain.
Akan tetapi, sungguh, bahasa hanya berguna ketika kata (word) dapat menghubungkan diri dengan konsep (tought) dan realitas (reference). Sementara itu, sejauh menyoal “konsep”, ia sebetulnya sesuatu yang imajiner. Konsep hanya eksis dalam pikiran manusia. Oleh sebab itu, realitas yang dikonsepsikan bahasa bisa tak identik ketika ditanggapi dua manusia dengan kognisi yang berbeda. Itulah mengapa bahasa lebih dari imago mundi, gambar dunia belaka. Bahasa tak hanya memenuhi fungsi praktisnya sebagai peranti komunikasi, tetapi juga mengandung ideologi. Melaluinyalah jagat dikonsepsikan. Itu artinya, ia disusun manusia, memakai instrumen bernama “bahasa”.
Namun, dari dua larik selanjutnya, Subagio segera memberitahu kita. Di balik itu, tulisnya, hanya/Ruang kosong dan angin pagi. Sebelum “bahasa”, dengan fungsi ideologis yang digunakan untuk mengonsepsikan sekaligus “menundukkan” dunia, kita barangkali tak menyadari bahwa selalu ada “ruang kosong”, wilayah gelap yang tak tersentuh konsepsi-bahasa. Ia mungkin berwujud desau yang bersahaja. Ia mungkin desah yang melintas di daun telinga. Ia mungkin sejuk yang menyentuh jangat kita, atau barangkali, ketenangan yang demikian sederhana, yang melingkupi perasaan seorang peziarah di teras inggil monumen kuna. Berbarengan dengan kesederhanaan itu, menyeruak juga sesuatu yang “entah”, seakan mengelak dari konsepsi makna.
Persis saya sebut sebelumnya, konsep merupakan sesuatu yang sejatinya imajiner. Maka, dalam hubungannya dengan fungsi bahasa sebagai yang ideologis, manusia mengonsepsikan dunia pun mengandaikan adanya sebuah hasrat. Girrard menyebutnya “hasrat mimetik”. Sebagai imago mundi, bahasa mewadahi hasrat manusia untuk merekam realitas ke dalam kata, ke dalam kalimat, ke bangun wacana. Namun, serentak Di balik itu, selalu ada ruang kosong yang tak kuasa dicitrakan. Masalahnya, sejauh menyangkut “hasrat”, ia kerap seperti banteng terluka yang tersangkur ujung senjata; kuda jingkrak yang berderap liar memutus tali kekang.
Kita agaknya perlu juga mengutip kisah Bani Israil dalam kitab Keluaran sebagai contoh ketika Gunung Sinai bertudung asap lantaran Tuhan turun di atasnya dalam api. Gunung itu dikisahkan sampai gemetar. Sedang di langit murka, kilat menyambar-nyambar, mendung bergulung-gulung, dan jerit sangkakala menorehkan kengerian purba ke kuduk siapa saja. Pada hari itu jugalah Tuhan berwasiat kepada umat-Nya. Akulah Tuhan, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan. Jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air, di bawah bumi. Sementara Musa masih bersemuka dengan “indeks” Tuhan di puncak Sinai yang menggigil itu, Bani Israil justru membuat patung lembu emas sebagai representasi fisik Tuhan yang tak kunjung menampakkan diri di hadapan mereka.
Di kemudian hari, seni-seni ikonografi terasa mengulang pola praktik idolatri Bani Israil. Sang Nominous, Yang Maha Tak Terjangkau, diejawantahkan manusia dalam rupa benda-benda sebagaimana lembu emas Bani Israil. Masjid-masjid dibangun megah dengan pilar mentereng, berkubah agung. Patung-patung dibangun dengan ukuran dan material menakjubkan; juga gereja-gereja dengan skala gigantis. Mungkin juga termasuk di antaranya stupa raksasa yang disaksikan kawan saya di teras tertinggi Borobudur ketika ruang tak lagi didominasi relief dan dekorasi. Yang tersisa hanyalah “ruang kosong”. Apa pun itu, seluruhnya merupakan manifestasi “hasrat mimetik” manusia untuk mencitrakan Tuhan ke dalam yang fisik. Hal yang sama berlaku pada citra-citra antropomorfis yang disematkan kepada Tuhan dan diwujudkan manusia melalui bahasa. Sayang, upaya-upaya tersebut mengandaikan niat yang kadang menghasilkan kesemuan.
Saya percaya, ada lebih banyak pengetahuan yang tak kuasa dibahasakan ketimbang yang dapat. Angkuh bila seseorang tak meyakini “ruang kosong” misterius hanya karena ia tidak atau belum dapat dijelaskan nalar. Pengalaman spiritual barangkali adalah satu dari sekian contoh. Pada sajak yang lain, Subagio menulis: pada pertemuan begini mesra/tugas kita hanya mengalami/tanpa berkata-kata.
Di sini kita melihat pengalaman tampak lebih primordial ketimbang bahasa. Maka, ketika pengalaman itu diartikulasikan ke dalam bahasa, ada yang tak terangkum. Terhadap pengalaman itu, bahasa hanya menyajikan sebuah imago. Saya jadi ingat perjalanan malam Muhammad dari Makkah ke Yerusalem. Kita mengenalnya sebagai Isra Mikraj. Tak perlu repot-repot menjadi ateis untuk menafikan kisah itu. Bahkan, ketika pengalaman mukjizati itu dikisahkan, pengikut terdekatnya pun dibuat gelisah atas “kemustahilan” perjalanan tersebut. Jika sebuah kafilah butuh waktu tempuh kira-kira dua bulan untuk bolak-balik Siria-Makkah, bagaimana mungkin seseorang mampu menuju Yerusalem hanya dalam semalam? Tak ayal, sejarawan sekaliber Ibn Ishaq begitu hati-hati dalam merawikan kisah-kisah mukjizat. Ketimbang memberi derajat kepastian, ia secara bijak lebih memilih menghindari narasi yang bersifat perumusan.
Apa pun itu, kita sebetulnya melihat kegagalan bahasa menarik “yang metafisis” ke dalam wujud “fisik”. Apakah misalnya, burak, tunggangan Nabi itu, memang berwujud kuda putih, bersayap bulu merak, bermustaka puan jelita, sebagaimana posternya jamak terpajang di rumah-rumah muslim di beberapa negara Timur Tengah, Asia, dan Afrika Utara? Tentu saja tidak.
Singkatnya, yang hendak ditangkap dan disuar ulang “citra” barangkali adalah suatu “pesona” betapa pun bahasa tersengal-sengal menangkap “pesona” itu. Akan tetapi, tampaknya citra memang tak dimaksudkan untuk menyodorkan sebuah makna. Itulah mengapa Subagio menulis: di balik pesona/aku tidak mencari makna/di luar kamar, segala pengenalan serba samar/tetapi sebelum tumbang semua lambang/ingin kurenggut kehadiranmu membekas di tikar.
Jika “kamar” pada puisi itu dibaca sebagai “bahasa”, dapatlah kita bayangkan sepetak ruang privat di mana dinding-dindingnya menggaris batas antara si pemilik kamar dengan dunia di luar dirinya. Dunia di luar kamar bahasa itu berada di wilayah antara yang dekat sekaligus jauh, gelap sekaligus terang, terkatakan dan tak terkatakan, dapat dimengerti, tetapi sejalan dengan itu, tidak dapat dimengerti.
Walhasil, sebuah “ikon” pada akhirnya cuma “lambang”. Mewakili sesuatu yang sebetulnya tak sepenuhnya dapat diwakili. Sebagaimana “citra” hanya dapat menangkap secuil “pesona”. Meski kita tahu, apa yang ditangkap “citra”, sekadar sisa yang membekas di tikar setelah perjumpaan akbar. Maka, Tuhan yang telah dikonsepsikan ke dalam “ikon” dan “citra” sejatinya adalah “pesona” yang telah kehilangan “misteri” sebagaimana aurat-tubuh yang telah tersingkap dan terjamah jari-jemari saat segala satire sudah dilucuti. Bukankah aurat merupakan derivasi kata dalam bahasa Arab ‘awira yang berarti “hilangnya cahaya”?
Seperti Tuhan yang telah dikonsepsikan ke dalam pengertian-pengertian, Tuhan dalam “ikon” dan “citra” pun akhirnya tak lagi memancarkan cahaya. Dia bukan lagi misteri. Dia bukan lagi causa sui. Dia bukan juga Al-Shamad. Dia bukan lagi yang tak berpangkal dan bermuasal; yang tak beranak dan tak pula diperanakkan. Maka, “kekosongan” barangkali satu-satunya artikulasi paling presisi untuk menyentuh Yang Maha Tak Tersentuh itu. Sebab, “kekosongan” tak hendak menjadi “ikon” untuk mewakili, tidak juga “citra” yang menangkap “pesona”. Ia tak merangkum. Ia hanya mencoba.
Yohan Fikri adalah penyair dan prosais.
Editor: Ikrar Izzul Haq