Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Kritik Seni

Peristiwa dan Derita Rumah Jadah


					Foto oleh Adek Agustian/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Adek Agustian/Sivitas Kothèka

Sebagai poros perjalanan yang akan menciptakan pengalaman, bahkan kenangan di dalam karya sastra, tokoh-tokoh memiliki kedudukan sentral di dalamnya. Membawa, memahami, memiliki, menderita, dan mendapatkan atau menguasai peristiwa adalah sesuatu yang melekat pada mereka. Sebagai sosok yang antroposentris, kewenangan adalah tantangan untuk dunianya. Saya akan mencoba menaruh pengarang pada posisi yang tidak ikut andil dalam cerita, meskipun kita semua tahu bahwa karya yang lahir adalah keterlibatan pengarang melihat dan mengolah peristiwa.

Sebagai penikmat karya sastra yang biasa-biasa saja, tentu saya mencoba membahas peristiwa apa yang saya dapat dari aktivitas membaca. Kali ini, saya menemukan Rumah Jadah, novela karya Royyan Julian sebagai objek percobaan. Buku tersebut memang membuat saya ingin terlibat dalam diskusi dan mencoba menyatakan pendapat mengenai tokoh-tokohnya; karena seorang tokoh bernama Marsia, yang mati telanjang di Bukit Maronggi, di samping makam Syekh Jakfar Sadik, tepi Ngarai Kalajengking, tak kunjung bertemu dengan jawaban atas pertanyaan, siapa yang membunuhnya?

Dalam cerita ini, masyarakat Tanjung Mayang saling menebak penyebab kematian Marsia. Bagi mereka, menemukan penyebab pasti dan kebenaran sejati merupakan sesuatu yang tidak bisa dijangkau sehingga melahirkan penderitaan-penderitaan yang dikantongi bersama dan menciptakan kenangan bagi penduduk yang masih hidup di Bukit Maronggi dan Tanjung Mayang. 

Tokoh-tokoh yang terlibat membawa, mengolah, dan memiliki beban derita serta keinginan, terdorong menciptakan isu.

Kemudian, mereka mengaitkan kasus satu dengan kasus yang lain. Misalnya, letak Marsia terbujur—dengan  rambut yang menjuntai, terkenal dengan tempat terkutuk, tempat jin dan memedi bermukim (hal. 10). Sehingga Oleh karena itu, banyak persepsi bermunculan, mulai dari menuduh Marsia bersekutu dengan setan karena menjalankan ritual pesugihan, hingga ingin bunuh diri karena tak sanggup melawan Fandrik di arena politik.

Tudingan itu tidak berangkat dari pikiran yang asal menyembur, tetapi dari perseteruan antara keluarga Marsia dan Fandrik. Mulanya, Fandrik dijodohkan dengan anak yang ada di dalam kandungan (Marsia) dengan orang tuanya. Orang tua mereka sepakat. Setelah Marsia cukup umur, orang tua Fandrik meninggal. Ketika Fandrik datang sendiri ke kediaman keluarga Marsia, meneruskan apa yang sudah disepakati, Marsia tidak merasakan getaran dan keluarganya menolak Fandrik menikahi Marsia. Dari sanalah perasaan dendam muncul di hati Fandrik. “Baginya, penolakan mereka adalah penghinaan, terutama bagi keluarganya. Ia terluka membayangkan senyum mendiang kedua orang tuanya pudar lantaran tahu anaknya ditalak sebelum perkawinan terjadi (hal. 27).”

Dari dendam turun ke tudingan-tudingan. Konflik yang tak kelar-kelar terus mengerumuni warga sekitar. Terjadilah mala petaka bagi mereka berdua dan kubu-kubu mereka yang kemudian berimbas pada masyarakat lain. Malapetaka terbesarnya adalah isu-isu yang hidup. Terlebih, mereka sudah menemukan posisi atau jabatan tertentu, sedangkan Fandrik menjadi pegawai di pemerintahan.

Marsia menikah dengan Linggo, anak seorang juragan kapal yang kaya raya. Kemudian mereka tidak dikaruniai anak dan menjadi cibiran banyak orang. Sebagai orang kaya, ia tak tahan menanggung malu jika dikatakan mandul. Linggo menyuruh tukang cukur depan rumahnya untuk menggumuli istrinya. Lahirlah Maeda, anak dari ayah yang lain, yang menjadi materi cibiran lanjutan dari warga sebagai bentuk perjanjian Marsia dengan setan.

Marsia tidak terima saat Fandrik mencalonkan diri di pemilihan kepala desa. Hal itu membuat dia maju sebagai calon, menggantikan Ra Wasir yang sudah diluluhkan hatinya dengan iming-iming kedudukan oleh Linggo, suami Marsia. Mereka memakai isu Syiah untuk menyerang Fandrik melalui Ra Wasir (hal. 89). Sebagaimana yang kita ketahui, di dalam politik, untuk menunaikan keinginan berkuasa, banyak politikus memakai cara-cara biadab, salah satunya politik identitas. Sementara itu, Fandrik menyerang dengan isu bahwa Marsia punya teluh yang hendak mencelakakan dirinya meskipun hal yang dimimpikannya bukan sebuah kiriman, melainkan mimpi buruk yang biasa menimpa siapa saja (hal. 91).

Tudingan terus terjadi, begitu pula di kehidupan nyata, “di luar karya sastra” memang banyak terjadi. Konflik-konflik saling mengisi seperti kehidupan yang bukan mustahil lagi untuk terjadi dengan cepat. Cerita-cerita terus hidup. Sampai pada akhirnya, kematian Marsia tidak pernah bisa ditebak. Kematiannya dianggap benar dari cerita-cerita warga yang punya anggapan berbeda-beda. Apalagi anaknya yang tak kunjung menikah juga menjadi bahan risakan banyak orang.

Hal itu mengingatkan saya tentang isu Syiah yang pernah pecah di Sampang, Madura. Lalu, apakah Rumah Jadah menggambarkan isu-isu yang terjadi di Madura sebagaimana juga ada perjodohan sejak dini yang sama pada cerita itu dan dilakukan oleh orang Madura? Belum tentu. Buku ini sudah mewakili bahwa suatu peristiwa akan mudah terjadi di mana pun dan kapan pun dengan menawarkan banyak konflik baru yang bermunculan. Sosok Marsia sejak awal difokuskan sebagai tokoh sentral yang mempunyai tabiat buruk. Baik Marsia, maupun Fandrik merupakan tokoh sentral yang sangat ambisius dalam mengejar keinginan-keinginan ideal.

Di dalam Rumah Jadah, manusia adalah pusat terjadinya peristiwa. Manusia adalah pengintai. Tokoh-tokoh itu hidup ditentukan oleh penilaian masyarakat yang kemudian menciptakan penderitaan-penderitaan yang akan menimpa generasi selanjutnya. Pada akhir cerita, Maeda digambarkan sebagai sosok yang merindukan kehadiran ibunya. Ini terkesan absurd karena dia menunggu sesuatu yang tidak ada. Untuk membunuh kesepiannya, yang mengancamnya menjadi perawan tua, dia bersetubuh dengan Madong, ayah kandung yang tidak diketahuinya itu. Kemudian dengan kehadiran benih baru, dia berharap ibunya akan singgah ke rumahnya di malam Jumat.

Yang absurd tidak hanya itu. Ada bagian tertentu juga. Misal, hantu-hantu di dalam mimpi Marsia seperti Wewe Gombel dan juga orang yang terlibat dalam mimpi juga ikut mengingat-ingat sesuatu yang pernah menimpa di kehidupannya, cerita masa kecilnya (hal. 44). Saya kira ini ditulis dengan terburu-buru. Sulit terkontrol. Entah karena waktu penerimaan naskah ini hampir selesai atau sengaja, saya tidak tahu. Bisa jadi untuk menambah jumlah halaman, penulis memperbanyak kata dan menyelesaikan cerita dengan konflik yang kurang fokus. 

Bahasa sastra merupakan bahasa kedua yang memiliki makna dan penafsiran masing-masing, yang kemudian oleh Barthes, bahasa sastra disebut mitos. “Sastra secara umum bukanlah puncak, tetapi jembatan,” kata Ahmad Kekal Hamdani, seorang budayawan dari Madura. Royyan menampilkan konflik-konflik yang datangnya cepat. Narasi-narasi yang dibangun terdiri dari mitos-mitos, rumor ilmu hitam, kemandulan, intrik politik, makhluk jadi-jadian, dan hubungan terlarang.

Rumah Jadah dibawa dengan keadaan sunyi agar pembaca bisa mengisi dengan penafsiran-penafsiran. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.” Ya. Betul, yang hebat di dalam Rumah Jadah adalah cerita-ceritanya.

Namun tetap saja, Rumah Jadah tidak seperti karya prosa Royyan lainnya, yang menggambarkan peristiwa dengan utuh. Di sini, Royyan tampak kekurangan materi untuk menyudutkan konflik yang berusaha ia bangun, sebab ada beberapa percakapan yang membuat saya kurang fokus terhadap cerita.  Selebihnya, persoalan bahasa yang ditulis Royyan merupakan bahasa yang terkontrol. Indah. Tidak seperti Tandak dan Tanjung Kemarau.

 

Zainal A. Hanafi seorang pembaca, penulis, dan aktivis budaya. Ia aktif di Sivitas Kothèka dan Compok Literasi.

 

Editor: Putri Tariza 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Memandang Cinta dari Jauh

3 September 2025 - 16:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni