Prolog
Dalam riwayat pembacaan saya atas sastra Indonesia, nama Ali Akbar Navis telah melekat sedemikian rupa dengan cerpen “Robohnya Surau Kami” yang dapat dikategorikan sebagai karya monumental sekaligus kontroversial akibat usungan cerita yang tidak jamak, terlebih lagi pada masa penerbitannya untuk kali pertama (1955). Cerpen yang secara sekilas tidak menghadirkan ledakan-ledakan hingga menjelang akhir cerita ini, tetap menyisakan selarik pahit di pangkal lidah bahkan ketika dibaca untuk kali kesekian. Bagaimanapun, yang pahit nyatanya bukan berarti tanpa disertai kecanggungan sebagai dampak pemosisian pembaca sebagai pihak yang “dipaksa” memihak—atau setidaknya menyimpulkan—ketika tiba di akhir cerita.
Pengalaman mencengangkan cerita si Kakek dan Ajo Sidi ini kemudian berkembang secara organik dan menempatkan cerpen “Robohnya Surau Kami” sebagai semacam templat bagi saya dalam membaca cerpen-cerpen lain A.A. Navis. Hal ini bukan tanpa alasan mengingat bahwa pengalaman pembacaan turut berkontribusi dalam menentukan bagaimana kita selanjutnya membaca, seperti dinyatakan Jauss (1983). Sebagai konsekuensi atas kuatnya “Robohnya Surau Kami”, sembilan cerpen lain dalam kumpulan yang sama menjadi terasa biasa, meskipun sejatinya tetap memiliki daya yang tidak alakadarnya. Percikan asumsi ihwal karakteristik cerpen-cerpen A.A. Navis baru meletup ketika saya mengingat kembali salah satu buku kumpulan cerpen pilihan Kompas berjudul Dua Tengkorak Kepala (2000) yang memuat cerpen “Dua Orang Sahabat”. Terlepas dari ceritanya yang sama sekali berbeda dengan “Robohnya Surau Kami”, ada sejumlah irisan yang terbentuk oleh kedua cerpen ini. Salah satu yang terkuat adalah dua tokoh sebagai fokus cerita, baik hadir secara langsung maupun sebagai sosok yang sekadar diceritakan. Hal ini kemudian menggerakkan saya untuk membaca cerpen-cerpen A.A. Navis di luar sepuluh cerpen dalam Robohnya Surau Kami sebagai semacam pembanding sekaligus ikhtiar meluaskan pembacaan dan pemahaman atas semesta karyanya.
Tokoh Sentral dalam Jejaring Kelampauan
Seperti halnya “Robohnya Surau Kami”, cerpen-cerpen lain A.A. Navis berfokus hanya tidak lebih daripada empat tokoh sentral. Tokoh sentral ini pun—untuk yang lebih dari dua—tidak selalu hadir secara bersamaan dalam sebuah ruang, tetapi secara bertahap atau membentuk bingkai cerita, baik yang dituturkan oleh aku/saya-pencerita maupun pencerita di luar cerita, seperti tampak pada tabel berikut ini.
Cerpen | Tokoh Sentral | Pencerita |
---|---|---|
“Robohnya Surau Kami” | Kakek & Ajo Sidi | Aku |
“Anak Kebanggaan” | Ompi & Indra Budiman | Aku |
“Nasihat-Nasihat” | Hasibuan & orang tua | Sosok di luar cerita |
“Topi Helm” | Pak Kari & Tuan O.M./ Nyonya Gunarso | Sosok di luar cerita |
“Datangnya dan Perginya” | Masri & Ayah | Sosok di luar cerita |
“Pada Pembotakan Terakhir” | Aku & Ibu, Maria & Mak Pasah | Aku |
“Angin dari Gunung” | Aku & Nun | Aku |
“Menanti Kelahiran” | Lena & Haris | Sosok di luar cerita |
“Penolong” | Sidin & lelaki gila | Sosok di luar cerita |
“Dari Masa ke Masa” | Saya & sobat Saya | Saya |
“Penumpang Kelas Tiga” | Dali, Nuan, Nain, & Wati | Sosok di luar cerita |
“Tamu yang Datang di Hari Lebaran” | Inyik Datuk Bijo Rajo & Encik Jurai Ameh | Sosok di luar cerita |
“Dua Orang Sahabat” | Si Kekar & Si Kurus | Sosok di luar cerita |
“Mak Pekok” | Aku & Mak Pekok | Aku |
Apabila dicermati, kekhasan cerpen-cerpen A.A. Navis tidak berhenti sampai pada jumlah tokoh sentralnya, melainkan siapa dan bagaimana relasi mereka. Secara umum, tokoh-tokoh dalam keempat belas cerpen memiliki kedekatan, baik interaksi secara personal pada masa lampau untuk kemudian bertemu kembali maupun bersama dalam kekinian. Apabila semakin dicermati, tidak kurang dari setengah cerpen-cerpen tersebut memperlihatkan relasi antargenerasi, baik secara langsung—seperti pada “Robohnya Surau Kami”, “Anak Kebanggaan”, “Nasihat-nasihat”, “Datangnya dan Perginya”, “Pada Pembotakan Terakhir”, dan “Mak Pekok”—maupun berupa pembicaraan tentang generasi yang berbeda—seperti pada “Dari Masa ke Masa” dan “Tamu yang Datang di Hari Lebaran”. Hal ini mau tidak mau kemudian menggerakkan saya untuk memberi perhatian pada hadirnya kelampauan pada cerpen-cerpen tersebut, dan memperoleh data seperti tampak pada tabel berikut ini.
Cerpen | Kelampauan dan/atau Orang Tua |
---|---|
“Robohnya Surau Kami” | Kalau beberapa tahun lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar […] Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua […] Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin [sic!], penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek […] Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal (Navis 2002, 1—2). |
“Anak Kebanggaan” | Semua orang, tua-muda, besar-kecil, memanggilnya Ompi. Hatinya akan kecil bila dipanggil lain. Dan semua orang tak hendak mengecilkan hati orang tua itu. Di waktu mudanya Ompi menjadi klerk di kantor Residen (Navis 2002, 15). |
“Nasihat-nasihat” | Ketika Hasibuan, anak muda yang menumpang di kamar depan menceritakan kesulitannya, dengan penuh perhatian ia mendengarkan […] Sedang rambut dan kumisnya yang lebat dan telah putih seluruhnya itu, memberikan keyakinan dalam setiap hati yang dilanda kerisauan, bahwa dari padanya saja nasihat yang paling baik memancar (Navis 2002, 27). |
“Topi Helm” | Ingat itu, ia pun ingat pada suatu peristiwa di rumah Tuan O.M. Ketika itu Pak Kari tidak berdinas. Perai mingguan (Navis 2002, 56). |
“Datangnya dan Perginya” | Selagi Masri berumur tiga tahun, istrinya yang dicintai itu meninggal. Waktu itu ia masih muda. Dan hatinya patah sudah. Dan ia merasa-rasakan, bahwa bahagia tak mungkin datang lagi padanya (Navis 2002, 60). |
“Pada Pembotakan Terakhir” | Sudah lama peristiwa ini berlalu. Tapi apalah arti waktu. Waktu hanya suatu ukuran yang tak mampu memisahkan ingatan dan kenangan yang pernah terjadi. Dan dalam waktu yang berlalu, semua cerita yang terjadi dalam jaraknya banyak yang tumbuh dan hidup sepanjang masa, meski antara pelakunya tiada lagi kini. Dan kisah ini sungguh sebuah kisah celaka, yang menakutkan anak-anak dan ibu-ibu. Takut kalau si anak ditinggalkan mati oleh si ibu (Navis 2002, 75). |
“Angin dari Gunung” | “Sembilan tahun yang lalu.” “Ya. Aku masih ingat. Tapi itu sudah lama lampaunya.” “Ya. Sudah lama. Aku tak pernah mau mengingatnya. Tapi kini aku ingat lagi” (Navis 2002, 88). |
“Menanti Kelahiran” | Lalu dia ingat pada beberapa kejadian di sekitarnya seperti yang ia dengar dari kawan-kawannya. Laki-laki itu banyak main gila dengan perempuan lain di kala istrinya sedang mengandung (Navis 2002, 97). |
“Penolong” | Dalam berlari Sidin selalu ingat, bahwa ada kereta api jatuh di jembatan Lembah Anai. Itulah yang mendorongnya berlari, seperti orang-orang lain juga. Sama seperti dulu, ketika peristiwa yang sama terjadi enam bulan yang lalu (Navis 2002, 113). |
“Dari Masa ke Masa” | Waktu saya muda dulu, sekitar usia dua puluh tahun, saya sering dongkol pada orang tua-tua. Bayangkanlah, setiap apa pun yang akan kami lakukan selalu kena tuntut agar minta nasihat dulu, minta restu dulu ada orang tua-tua. Memang tidak ada paksaan. Tapi selalu saja ada pesan-pesan agar sebelum kami mulai melaksanakan kegiatan kami, sebaiknya kami berbicara kepada Bapak Anu, Bapak Polan, Bapak Tahu, atau pada bapak sekalian bapak (Navis 2002, 131). |
“Penumpang Kelas Tiga” | Si Dali bertemu teman lamanya di kapal Kerinci yang berlayar dari Padang ke Jakarta, sebagai penumpang kelas tiga […] Mereka saling bertanya-tanya dan saling berjawab-jawab. Dengan asyik […] Dalam pada itu pikiran si Dali berjalan ke masa lalu yang sudah lama sekali (Kuntowijoyo, dkk. 2002, 81—82). |
“Tamu yang Datang di Hari Lebaran” | Sepasang orangtua [sic!] yang rambutnya telah memutih memandang dari ruang tamu ke jalan yang ramai oleh orang-orang berbaju indah-indah dan baru […] Setiap orang tau siapa penghuninya, yaitu Inyil Datuk Bijo Rajo dan Encik Jurai Ameh […] Inyik dulunya seorang pejuang dan pernah menjadi gubernur (Darma, dkk. 1999, 95—96). |
“Dua Orang Sahabat” | “Kita telah bersahabat sejak SMP. Berapa lama itu? kau ingat? Lebih dua puluh tahun,” si kekar memulai bicara sebagai awal pembicaraan yang panjang, dengan mengingatkan segala yang telah diberikannya kepada si kurus selama mereka bersahabat kental (Busye, dkk. 2000, 121). |
“Mak Pekok” | Tak putus-putus tamu datang sedari pagi hingga senja semenjak aku tiba setelah dua puluh tahun hidup di rantau. Sudah tua-tua benar rupanya mereka. Lebih tua dari umurnya […] Segala percakapan siang itu kembali beruntun di muka anganku ketika berbaring karena aku tidak bisa tidur […] Aku ingat, di situ dulu ada pondok. Pondok Mak Pekok (Danarto, dkk. 2002, 106—107). |
Fakta tekstual pada kedua tabel kemudian secara umum terbaca sebagai kegamangan orang/generasi tua untuk melepas orang/generasi muda menempuh jalan mereka sendiri, termasuk dengan pandangan dunianya. Hal yang demikian ditegaskan secara eksplisit oleh cerpen penutup Robohnya Surau Kami—“Dari Masa ke Masa”— khususnya pada bagian berikut ini.
“Mungkin karena dinamika orang-orang muda masa dulu yang meyebabkan saya dongkol melihat tingkah lalu orang tua-tua yang sok-sokan. Sehingga saya berjanji dalam hati saya, jika saya telah tua, apa yang tidak saya sukai tentang tingkah laku orang tua-tua terhadap orang-orang muda tidak akan saya lakukan,” kata saya pada sobat itu setelah lama kami merenung-renung.
“Apa janji itu Bung lakukan?” tanya sobat saya yang bekas diplomat itu.
“Ya. Saya lakukan.”
“Kenapa?”
“Karena saya percaya, apa pun yang dapat kita lakukan di waktu muda dulu, pastilah dapat dilakukan oleh orang-orang muda sekarang.”
“Tapi nyatanya orang-orang muda sekarang begitu sulit melepaskan dirinya dari sifat kekanak-kanakannya.”
“Kata kita. Tapi apa kata orang tua-tua kita dulu tentang kita?” tanya saya membalikkan alasannya. (Navis 2002, 137—138).
Hal senada hadir pada cerpen “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” sebagai berikut.
“Tulisan siapa yang pernah aku baca dulu?” Hasan, Roem, Natsir atau siapa, ya? Katanya, Nabi tidak menyuruh orang berpesta untuk merayakan Idul Fitri, melainkan berzakat dan takbiran. Tapi kebudayaan baru menjadikannya lain. Acara takbir dijadikan tontonan di lapangan. Pakai musik segala. Takbir bukan lagi ibadah pribadi, melainkan dijadikan pesta dunia dengan biaya miliaran rupiah. Sepertinya uang sebanyak itu tidak lagi berfaedah untuk orang miskin. Sebetulnya Idul Adha tak kurang mulianya. Bahkan lebih. Kewajiban inti pada kedua hari raya itu membantu orang miskin. Pada Idul Fitri memberi zakat fitrah. Sedangkan pada Idul Adha memberi Qurban senilai seekor kambing.”
***
INYIK terbatuk-batuk. Setelah minum sereguk [sic!] air, renungannya melanjut. “Waktu jadi gubernur dulu, aku mencoba mengubah tradisi lama itu. mengikis keduniawian pada acara ritual. Hampir semua orang menyalahkan aku. Termasuk ulama dengan mengeluarkan fatwanya. Sebagai kepala pemerintahan aku dipojokkan. Kolegaku menyalahkan aku dengan kata-kata durjana, ‘Biar saja agama begitu, asal stabilitas terjamin’” (Darma, dkk. 2001, 97—98).
Melalui kedua kutipan tersebut tampak bahwa ada kemenduaan—bahkan pada generasi yang sama—dalam memandang relasi generasi lama/tua dan generasi baru/muda, baik dalam hal-hal umum maupun khusus seperti kebergamaan. Lebih lanjut, kedua tabel tersebut juga memperlihatkan bahwa sebagian besar tokoh yang ada di dalam kekinian senantiasa terjebak oleh kelampauan masing-masing. Kedua tabel tersebut sekaligus memberi pijakan bagi saya untuk melanjutkan pembacaan, selaras dengan pernyataan Todorov (1977) bahwa setiap karya, baik secara eksplisit maupun implisit, menyarankan cara pembacaannya masing-masing.
Sengkarut Pikiran dalam Cangkang Canggung Kekinian
Berkaitan dengan terjebak oleh kelampauan masing-masing, ada kecenderungan lain yang hadir dalam cerpen-cerpen A.A. Navis. Tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen tersebut dapat dikatakan canggung dalam kekiniannya, atau mendadak melemparkan diri ke masa lalu yang apabila dicermati tidak lantas memiliki kaitan yang ketat dengan kekinian dirinya. Hal ini tampak salah satunya pada cerpen “Penumpang Kelas Tiga” sebagai berikut.
Mereka saling bertanya-tanya dan saling berjawab-jawab. Dengan asyik. Sampai beberapa orang sudah keluar dan masuk kakus, mereka masih bertanya-tanya dan berjawab-jawab. Dalam pada itu pikiran Si Dali berjalan ke masa lalu yang sudah lama sekali.
Nuan punya saudara kembar, Nain namanya […] (Kuntowijoyo, dkk. 2002, 81—82.
Segala peristiwa yang berlintasan di ingatan Dali tentang Nuan dan Nain saudara kembarnya menjadi hal yang tampak tidak relevan bagi Dali sendiri, akan berbeda apabila yang mengingat adalah Nuan sebagai salah satu pelaku dalam rangkaian peristiwa masa lalu tersebut. Selain itu, bagian penutup cerpen ini juga tidak memiliki kaitan apa pun dengan masa lalu Nuan dan Nain.
“SUDAH lama sekali, ya, kita tidak bertemu?” kata salah seorang setelah sama menopang dagu di pagar geladak kapal sambil memandang ke gelombang laut lepas.
“Ya, sudah lama sekali.”
“Tiba-tiba saja kita telah menjadi tua.”
“Meski begitu, kita tidak bisa sepenuhnya lupa.”
“Memang” (Kuntowijoyo, dkk. 2002, 86).
Kecanggungan senada ternyata pernah hadir pula pada “Robohnya Surau Kami” sebagai berikut.
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggorok lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.”
“Ya, dia pergi kerja” (Navis 2002, 13).
Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa tokoh aku yang sekaligus bertindak sebagai pencerita berada di dalam kecanggungan ketika menanggapi berita kematian Kakek dan santainya Ajo Sidi—yang dianggap sebagai penyebab kematian Kakek sekaligus pembual—berpesan kepada istrinya untuk kemudian pergi bekerja. Lebih lanjut, apabila saya kembali ke bagian awal cerpen ini, satu hal yang belum dapat saya raba arah tujunya adalah apa yang menjadi motivasi si aku-pencerita mendadak menuturkan kembali peristiwa kematian Kakek, terlebih lagi dengan menyebut pembaca implisit sebagai Tuan yang dapat dipahami bahwa pencerita memiliki kesadaran penuh untuk bercerita kepada sosok yang juga jelas kehadirannya baginya.
Kecenderungan serupa ternyata juga dimiliki oleh aku/saya-pencerita pada cerpen-cerpen “Anak Kebanggaan”, “Pada Pembotakan Terakhir”, “Dari Masa ke Masa”, dan “Mak Pekok”. Pada cerpen “Mak Pekok”, misalnya, aku-pencerita yang tidak bisa tidur justru melemparkan dirinya menjauhi kekinian dan kembali ke masa kanak-kanaknya, yang sejatinya tidak berkaitan dengan awal cerita tentang “Tak putus-putus tamu datang sedari pagi hingga senja semenjak aku tiba setelah dua puluh tahun hidup di rantau” (Danarto, dkk. 2002, 105).
Segala percakapan siang itu kembali beruntun di muka anganku ketika berbaring karena aku tidak bisa tidur. Hawa malam malah terasa panas. Menggelisahkan benar. Tubuhku berbalik-balik di ranjangku. Berdenyit-denyit bunyi hubungan bagiannya. Aku kian letih. Tetapi, mataku tak bisa juga terlelapkan. Ketika kegelisahan itu tak tertahankan, aku berdiri. Aku buka jendela kamar. Hawa malam menerpaku. Alangkah sejuknya. Samar-samar terlihat semak belukar.
Aku ingat, di situ dulu ada pondok. Pondok Mak Pekok. Di pondok itu juga beberapa ekor sapi berkandang. Sapi milik Datuk Penghulu yang digembalakan Mak Pekok dengan sistem bagi hasil. Dan pondok itu tak ada lagi kini (Danarto, dkk. 2002, 107—108).
Alih-alih bertutur tentang dua puluh tahun hidupnya di perantauan, aku-pencerita justru menyoroti masa lalu terkait pondok Mak Pekok. Tidak berhenti sampai di situ, cerita pun memuai hingga bermuara pada tragedi yang dialami Mak Pekok untuk kemudian ditutup dengan semacam kesaksian sekaligus penghiburan. Cerita tidak pernah kembali ke aku-pencerita dan kekiniannya sendiri.
Fakta tekstual yang demikian mau tidak mau membuat saya membayangkan versi lain cerpen-cerpen tersebut yang langsung bertutur tentang subjek-subjek dari masa lalu alih-alih menggunakan moda cerita berbingkai yang seolah menempatkan subjek kekinian sebagai sekadar piranti serupa pintu yang setelah dibuka tidak pernah benar-benar ditutup kembali. Bagaimanapun, mengingat bahwa yang demikianlah yang hadir secara eksplisit di dalam teks dan saya sebagai pembaca hanya dapat menerima apa adanya, pembacaan pun kemudian mengarah pada satu kata: berpikir secara berlebihan. Baik pencerita maupun tokoh cerpen-cerpen A.A. Navis memiliki kecenderungan yang demikian, khususnya—seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya—terkait relasi antargenerasi, juga keberagamaan. Segala kekinian yang sejatinya baik-baik saja menjadi rongseng bahkan kaos akibat ingatan, lamunan, dan bualan yang tentu saja tidak mengubah apa pun yang telah demikian adanya di kelampauannya masing-masing. Kekinian tokoh menjelma sesak dengan sendirinya akibat tsunami masa lalu—dengan adukan peristiwa remang hingga kelam—yang justru dibukakan jalan masuk, padahal tanggul-waktu yang memisahkan kelampauan dan kekinian telah begitu tebal, lebar, dan tinggi.
Epilog
Pembacaan ulang cerpen-cerpen A.A. Navis adalah serupa perjalanan mundur menelusuri tokoh-tokoh yang berada dalam semesta mikro—personal dan domestik alih-alih publik dan politik—yang melakukan dialog ihwal diri, relasi, cinta, dan agama. Cerpen-cerpen yang pada awalnya tampak mengajukan sejumlah pernyataan dan pertanyaan tentang mitos—sesuatu yang secara umum diyakini sebagai kebenaran—dan hitam-putih, lambat laun terbaca sebagai hal yang lain: ada konsekuensi pada setiap pilihan yang bahkan terus ditanggung hingga masa-masa yang jauh. Pada akhirnya, cerpen-cerpen A.A. Navis yang sebagian besar terbit sekian dasawarsa lalu tetap memperlihatkan relevansinya dengan kekinian, khususnya ketika dibaca pada masa transisi antargenerasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Daftar Pustaka
Busye, Motinggo, dkk. 2000. Dua Tengkorak Kepala: Cerpen Pilihan Kompas 2000. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Danarto, dkk. 2002. Jejak Tanah: Cerpen Pilihan Kompas 2002. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Darma, Budi, dkk. 2001. Derabat: Cerpen Pilihan Kompas 1999. Jakarta: Kompas.
Jauss, Hans Robert. 1983. Toward An Aesthetic of Reception. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Kuntowijoyo, dkk. 2002. Pistol Perdamaian: Cerpen Pilihan Kompas 1996. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Navis, A. A. 2002. Robohnya Surau Kami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Todorov, Tzvetan. 1977. The Poetics of Prose. New York: Cornell University Press.
Bramantio. Membaca dan menulis fiksi, puisi, dan telaah sastra. Mengajar di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FIB Universitas Airlangga.
Editor: Ikrar Izzul Haq