Pernahkah kita berpikir bahwa scrolling adalah kegiatan kerja—atau haruskah kukatakan perbudakan? Sesiapa yang karib dengan istilah attention economy, niscaya akan langsung paham dengan pertanyaan di atas. Istilah tersebut dicetus oleh Herbert A. Simon, peraih Nobel ekonomi tahun 1978. Attention economy merupakan satu skema bisnis di era digital yang bertujuan memproduksi konten-konten untuk menarik perhatian. Strategi ini muncul agar konten yang diproduksi dapat keluar dari genangan informasi dan menunjukkan kuncupnya di permukaan. Semisal, “7 Fakta Menarik Blablabla. Nomor 5 Bikin Garuk-Garuk Kepala!”
Attention economy selalu bergerak pada kecenderungan rasional manusia. Manusia cenderung menghindar dari ancaman. Oleh karena itu, ia menghindar dari kesedihan. Tujuannya semata-mata untuk memperbesar peluang hidup. Emma McAdam menyebut kecenderungan ini sebagai bias negatif dan positif. Bias-bias negatif selalu mendapat porsi perhatian lebih banyak ketimbang bias positif, sebab ia memiliki potensi ancaman. Contoh informasi dengan bias negatif ini ialah pencurian, pembunuhan, pertikaian, dan sebagainya. Sementara itu, informasi dengan bias positif adalah kebalikannya. Lebih jauh, apa yang dimaksud sebagai bias negatif juga meliputi sesuatu yang asing dan langka. Dengan kata lain, otak kita tak pernah dirancang untuk bahagia. Organ itu hanya dirancang untuk bertahan hidup. Kecenderungan inilah yang kemudian menjadi turbin produksi informasi dunia maya dalam skema attention economy. Untuk membatasi substansi tulisan ini, media digital yang akan dibahas adalah media sosial.
Hampir semua dari kita menggunakan media sosial. Medium tersebut menawarkan akses praktis. Kepraktisannya memungkinkan setiap pengguna terhubung satu sama lain tanpa perlu merisaukan jarak. Aku follow kamu, kamu follow dia, dia follow sesiapa. Begitu terus dan seterusnya. Namun, sejatinya keterhubungan itu semu belaka, sebab yang di media sosial itu tak benar-benar nyata. Oleh karena itu, kita menyebut ia dunia maya. Melalui interaksi yang hubung-terhubung inilah (sesemu apa pun), sebuah pertukaran informasi menjadi niscaya. Setidaknya, kita memiliki tiga plus satu opsi interaksi: like, comment, share. Atau lebih dalam, direct message. Pertukaran informasi inilah yang kemudian menjadi pintu masuk industri digital.
Per hari ini, sudah berapa akun media sosial yang kalian subscribe? Untuk apa berlangganan akun tersebut? Berbicara soal subscription, embrio awal model ekonomi ini ialah langganan koran cetak. Tawarannya adalah jasa layanan informasi. Memasuki dunia digital, subscription economy marak digunakan untuk menawarkan jasa layanan dalam bentuk-bentuk maya. Ini menggeser tradisi lama yang menggunakan model pay per product. Media sosial pun tak pelak menjalankan model ekonomi yang demikian. Sebab, kerangka media sosial ialah medium pertukaran informasi; model subscription economy masuk dengan kedok jasa layanan informasi. Kukatakan kedok karena hampir seluruh informasi di sana meluber dan tercecer sebagai yang tak penting. Dengan kata lain: sampah.
Kali ini, mari coba kita jahit paparan di paragraf-paragraf sebelumnya. Mula-mula, konten diproduksi dalam bias-bias yang negatif untuk menarik perhatian kita kepadanya. Di era keberlimpahan informasi, kemampuan untuk meletakkan perhatian menjadi tumpul sehingga tuntutan memproduksi konten-konten dengan bias negatif menjadi penting untuk mencuri atensi. Ukurannya, yaitu, seberapa besar views? Seberapa banyak likes? Seberapa masif comments? Dan seberapa sering konten itu dibagikan ulang? Selanjutnya, atensi yang didapat tak boleh dibiarkan begitu saja. Ia harus dimanfaatkan, dimonetisasi! Dan agar dapat terus-menerus menghasilkan akumulasi kapital, atensi tersebut wajib masuk dalam model subscription economy. Tak berhenti di situ, media sosial semakin banal membawa kita pada moda konsumsi yang lain.
Dengan berbasis media sosial, orang-orang kemudian semacam terlibat dalam suatu perlombaan. Garis finisnya tak lain adalah atensi. Sesiapa yang mencapai lebih banyak atensi memiliki potensi muncul ke permukaan lebih sering. Dan sekali lagi, atensi pada akhirnya tak boleh hanya atensi. Ia harus diolah sedemikian rupa untuk meraup pundi-pundi ekonomi. Masalahnya, tak ada formula pasti untuk mencapai suatu atensi. Sebab, kepentingannya ialah monetisasi. Dengan demikian, yang perlu diperhatikan ialah pasar, dan pasar ini fluktuatif adanya. Tak semua orang punya kapasitas untuk terus menganalisis pasar.
Meski kita tahu bahwa yang paling mudah menarik perhatian ialah konten-konten dengan bias negatif, rupa konten tersebut sungguh abstrak. Walhasil, kita membuat jalan pintas. Kita babat sebuah jalan berbasis kekuatan utama media sosial; keterhubungan yang syarat utamanya adalah kenalan. Jalan itu bernama personal branding. Kita perkenalkan diri kita di media sosial. Kita tunjukkan bahwa kita begini dan begitu yang boleh jadi bukan kita sama sekali. Siapa peduli? Toh, media sosial mengakomodasi kita membangun citra.
Maka, terjadilah pertarungan lain selain pertarungan informasi; pertarungan citra. Dan oleh karena gelanggangnya adalah media sosial, secara tak langsung kita turut menyumbang dalam bangunan citra seseorang sembari menyusun citra kita sendiri. Maka, like, comment, dan share menjadi niscaya melalui kegiatan scrolling kita sehari-hari. Dengan kata lain, kita telah menyerahkan diri dalam satu kepentingan pasar. Pada akhirnya, pertarungan citra membangun pasarnya sendiri. Sesiapa yang mampu meraup segenap atensi akan mendapat gelar “seleb”. Inilah ketokohan baru, ketokohan maya. Ketokohan yang sejatinya berakar pada atensi yang kita berikan cuma-cuma.
Lalu, sebagaimana pertarungan informasi, pertarungan citra pun memonetisasi atensi. Ketokohan selalu berdiri sejajar dengan fanatisme. Ketika seorang “seleb” mengaktifkan mode subscription di akun media sosialnya, pengikutnya akan membayar untuk itu. Ketika seorang “seleb” yang sama mengiklan sebuah produk, pengikutnya tak pelak akan membayar untuk produk itu. Kita yang mula-mula membangun personal branding malah terjebak dalam satu moda konsumsi yang didasarkan pada personal branding itu sendiri. Betapa gagah kita hanya untuk menjadi gagap. Kemudian, kita merasa lelah dan berbondong-bondong membuat akun kedua untuk katarsis, untuk menampilkan diri kita yang apa adanya. Namun, sungguh kita sejatinya tak ke mana-mana karena kita masih saja berada dalam media sosial itu.
Di sinilah moda-moda konsumsi kita disetir sedemikian rupa; basisnya tak lagi kebutuhan dasar. Namun, kebutuhan yang didasar-dasarkan. Sungguh njelimet.
Muhammad Jibril atau Jai menamatkan studi Sastra Indonesia di Universitas Airlangga. Saat ini bergiat di komunitas Titik Nol.
Editor: Ikrar Izzul Haq