Tahun 2014, serial boys love Thailand berjudul Love Sick sukses di pasaran. Serial yang merupakan karya adaptasi fan-fiction online berjudul sama–Love Sick: Chunlamoon Noom Kang Keng Namgern (Love Sick: The Chaotic Lives of Blue Shorts Guys)–ini digubah oleh penulis perempuan Thailand yang menggunakan nama samaran INDRYTIMES. Film tersebut mengisahkan hubungan asmara sepasang lelaki remaja, Noh dan Phun.
Dalam khazanah boys love Thailand, boleh dikata Love Sick adalah serial romansa antarpria pertama yang sukses tak hanya di negaranya, tapi juga di seluruh Asia (Suzuki, 2015). Penelitian antropolog Australia, Thomas Baudinette (2019) bahkan menyebut bahwa Love Sick merupakan tontonan peralihan yang dibuat untuk membiasakan mata pasar penonton Thailand dari relasi lelaki-perempuan ke lelaki-lelaki.
Sebagai penggemar boys love, bisa dibilang Love Sick adalah serial yang mengawali kesukaan saya pada film Thailand bertema serupa. Kegemaran itu bermula dari seorang kawan yang memperkenalkan sekaligus membagikan format unduhan film tersebut dalam grup obrolan Carpe Diem yang saya ikuti di WhatsApp. Grup itu merupakan kelompok obrolan kecil yang anggotanya tak lebih dari sepuluh orang dengan latar belakang gender dan orientasi seksual beragam, yang saya dan kawan-kawan gunakan untuk berbagi keresahan terkait identitas dan budaya di kota kami tercinta, Probolinggo.
Saya melakukan riset dengan mewawancarai lima orang. Empat di antaranya merupakan anggota Carpe Diem, yang terdiri dari seorang perempuan cis-heteroseksual bernama Pay, dua orang laki-laki cis-homoseksual, yakni Day dan Light, dan satu orang pria cis-heteroseksual bernama Tom. Seorang lagi adalah remaja putri asal Jakarta bernama Aim yang mengidentifikasi diri sebagai fujoshi. Nama-nama itu, tentu saja, bukan nama sebenarnya.
Sebagai queer, saya menyambut baik kehadiran Love Sick. Tak hanya pada “kecantikan” para aktornya, tapi juga pada tema yang diusung, yakni soal pencarian jati diri dan proses membangun relasi non-heteroseksual yang konsensual. Rupanya, tak hanya saya yang tertarik menikmati serial tersebut. Di Carpe Diem, Love Sick-lah yang mengawali diskusi kami mengenai isu keberagaman gender dan identitas seksual.
Seiring waktu, tentu semakin banyak film bertema boys love yang kami tonton. Saya kemudian berkenalan pula dengan film serupa yang tak hanya berasal dari Thailand, tapi juga Filipina, Korea, Vietnam, Cina, Taiwan, Hong Kong, Jepang, bahkan Afrika Selatan.
Cakrawala per-boys love-an saya meluas. Tontonan saya pun merambah ke kisah relasi asmara yang lebih inklusif, misalnya tentang pasangan bisu atau tuli (Moonlight Chicken, 2023), pasangan gay lansia (Twilight Kiss, 2019 atau What Did You Eat Yesterday, 2019), pasangan anak-anak (Monster, 2023), pasangan yang jauh rentang usianya (Ossan’s Love, 2021), atau pada kompleksnya toxic relationship yang tentu bisa saja menimpa kelompok queer (Only Friends, 2023).
Film dan Penyebarluasan Gagasan
Tak bisa dipungkiri, film telah menjadi medium yang paling berpengaruh dalam membentuk pandangan dan persepsi masyarakat. Sebagai seni yang dinamis, film tidak hanya menyajikan cerita dan hiburan semata, tetapi juga menyampaikan makna mendalam tentang kehidupan, identitas, dan nilai-nilai sosial (Syaukat dan Imanjaya, 2011: 634; Danardono, 2020: 1). Film, sebagai media diseminasi, dapat mengoreksi informasi lama yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat.
Kesadaran, kebaruan pengetahuan dan pemanfaatan informasi (baru) “dengan baik”, kiranya adalah tiga aspek dari pemaknaan diseminasi menurut Ordonez dan Serrat yang akan saya coba paparkan dan lihat melalui kacamata performativitas untuk melihat apakah film bertema boys love mampu memberi kebaruan pengetahuan–dan kesadaran, bagi pemirsanya bahwa terdapat bentuk romansa dan orientasi di luar heteroseksual yang lazim.
Realisme yang Dibenci para Queer
Pesan yang disampaikan Love Sick merupakan pesan yang realis dalam hidup kaum homo, yakni soal perasaan yang dialami sebagian besar kelompok gay saat beranjak remaja. Hal tersebut berbeda dengan pesan dalam film-film boys love yang muncul lebih belakangan, yang cenderung menormalisasi relasi homoseks. Pada drama boys love Thailand masa kini, homoseksualitas tak lagi masalah, bahkan condong dinormalkan.
Pesan realis, yang menangkap kehidupan kaum homo, justru cenderung tidak disukai oleh kelompok itu sendiri. Tom, misalnya, berharap film mampu menjadi sarana katarsis yang membebaskan diri mereka dari tragedi yang selama ini ia alami. Tom berharap film dapat membalikkan kondisi. Maka, Tom lebih memilih tontonan yang happy ending.
“Aku tidak suka film BL (boys love) yang sad ending karena hidupku sudah banyak campur tangan lika-liku yang sad, ya. Kita tuh nonton kan pengennya cari hiburan. Happy-happy biar naik lagi. Yang semula sepi biar jadi bagus. Aku menonton film untuk memberi energi positif, (aku) bukan pengamat.”
Hal serupa pernah disampaikan Aldiansyah Azura, penyair queer, yang belum lama ini meluncurkan buku kumpulan puisinya Akika ya Eyke! (2024). Dalam salah satu sesi diskusi buku tersebut, ia berkata, “Masa menjadi gay enggak boleh bahagia? Masa (di) kehidupan asli sudah berat, kok di sastra juga harus berlarat-larat? Boleh kan gay bahagia?”
Keberadaan fantasi dan unsur hiperrealitas pada film-film boys love lebih disukai. Tom mengaku cenderung termotivasi untuk memiliki hubungan yang sehat karena film-film tersebut. Ia mengaku hubungannya hanya bertahan beberapa hari dan ia kembali lagi ke “mode awal”. Bagi dia menonton boys love punya dampak positif untuk membangun hubungan yang monogami dan sehat. “Karena realitanya tidak semua film itu bisa mewujud di dunia nyata. Enggak happy ending. Beda karakter, enggak satu visi misi dengan kita. Nonton BL punya impact positif buatku,” ujarnya.
Hal yang disampaikan Tom dan Aldiansyah sedikit berbeda dengan Light. Walau akhir-akhir ini dia lebih waswas menonton film Thailand seperti itu lantaran adegannya yang bagi dia makin vulgar, tapi dia tetap menyukainya karena keterusterangannya.
Pembebasan Seksualitas Perempuan
Boys love semula berfungsi sebagai “jalan pembebas” para perempuan untuk mengekspresikan gairah seksualnya. Tema tersebut adalah “angin segar” bagi kaum Hawa untuk menanggalkan atribut sebagai objek pemuas seks pria (Masrina dan Chairil, 2020). Sesuai dengan frasa yaoi (istilah Jepang untuk boys love), tontonan tersebut awalnya dibuat untuk menyublimkan gagasan negatif tentang keperempuanan dengan cara menyamar sebagai laki-laki untuk memuaskan hasrat yang selama ini bersemayam dalam diri wanita.
Sementara itu, dalam risetnya, Masrina dan Chairil lebih lanjut menyebut bahwa film boys love, yang semula dibikin untuk penonton perempuan, rupanya justru berkembang menjadi pembenci perempuan. Perempuan, ironisnya, justru menilai karakter wanita dalam film boys love sebagai “pengganggu”.
Masrina dan Charil menyitir McLelland (2020) bahwa boys love sangat homososial karena tokoh wanitanya jarang dan biasanya antagonis, atau sekadar karakter pendukung kecil yang cuma sedikit memengaruhi cerita.
Aim menyebut bahwa film boys love Amerika yang ditontonnya memperlihatkan konteks yang juga homososial serta mengusung nilai-nilai yang memerdekakan kelompok minoritas seksual.
“Film Love, Simon … terbuka dan menerima (orientasi seksual Simon). Selain itu juga ada teman sekolah laki-laki Simon yang menunjukkan gaya berpakaian layaknya perempuan dan dia diterima oleh orang-orang sekitarnya. Saat Simon dirundung pun, pihak sekolah langsung menunjukkan keberpihakannya. Pihak sekolah dan kawan-kawan sekolah Simon menunjukkan adanya penerimaan perbedaan.”
Dari referensi bacaan dan hasil wawancara dengan Aim, tampak adanya pergeseran fungsi film boys love, dari yang semula sebagai sarana pembebasan ekspresi seks perempuan ke alternatif relasi heteroseksual yang berterima secara sosial. Di titik tersebut performativitas heteroseksual direkonstruksi. Melalui film, performativitas tersebut direbut dan dibangun ulang untuk memberi ruang renung bagi kelompok mayoritas dan juga peluang bagi kaum homo yang selama ini pengalaman ketubuhannya dimarginalkan.
Menonton Boys Love
Dari lima partisipan, semua memilih untuk menonton sendiri. Meski pada Pay tampak keterbukaan dengan keluarga tapi tak terlihat tanda bahwa ia nyaman menonton bersama mereka.
Day menceritakan pengalamannya menonton Arisan! bersama kakak-kakak dan ibunya kala film tersebut ditayangkan di sebuah stasiun televisi. Saat terjadi adegan ciuman antara Sakti (Tora Sudiro) dan Nino (Surya Saputra), keheningan panjang terentang di antara mereka sampai sang kakak mencairkan suasana dengan nyeletuk kalau itu cuma film. “Tak ada hal seperti itu di kehidupan nyata,” ujar dia. Sebuah pernyataan yang membungkam dan meniadakan pengalaman kaum gay.
Agaknya, kelompok perempuan cenderung lebih terbuka terhadap pemahaman tentang keberagaman gender melalui film boys love ketimbang kelompok laki-laki. Kesukaan mereka pada film seperti itu tidak dibebani stigma bahwa ketika menonton film tersebut mereka adalah kelompok homoseksual. Alih-alih jijik, mereka malah menikmati karena tidak merasa tersaingi dengan keberadaan perempuan yang menjadi tokoh utama.
Sementara itu, kelompok laki-laki homoseksual takut dicap buruk oleh masyarakat sehingga mereka menonton film tersebut sembunyi-sembunyi. Film boys love pun jauh dari kehidupan laki-laki heteroseksual dan membuat mereka enggan meluangkan waktu untuk menonton film macam itu.
Ketika kami menonton film-film itu pertama kali, rata-rata usia kami masih 23 tahun. Meski begitu, Aim sudah terpapar konten boys love di usia 15 tahun. Saat umat manusia terpenjara di rumah masing-masing lantaran pandemi COVID-19, di sela-sela kesibukannya belajar daring, Aim menikmati serial 2gether melalui kanal LINE TV di kamarnya yang nyaman.
Aim menjelaskan kalau ia tertarik pada serial boys love karena lain dari kisah-kisah yang selama ini ia tonton. Selain para pemainnya yang bagi dia ganteng-ganteng, ia penasaran dan ingin mendapat tontonan yang berbeda dari kisah-kisah romansa biasa.
Tom, laki-laki heteroseksual dalam Carpe Diem, bukan penyuka film begituan. Ia menonton sepintas lalu sebab kawan akrabnya, Light, yang seorang gay, menyukai dan cinta mati pada Love Sick. Dia diliputi rasa penasaran.
Dalam Carpe Diem, meski laki-laki heteroseksual seperti Tom memaklumi keadaan Light, ia tidak dapat menerima keberadaan gay secara umum. Ia menoleransi pengalaman Light karena ia adalah teman masa kecilnya. Sementara itu, kelompok homo seperti Day dan Light, yang merasa terhubung dengan film tersebut barangkali merasa rikuh untuk mengekspresikan identitas mereka secara terang-terangan, dan sepertinya hanya berbagi pengalaman menonton dengan orang-orang terdekat.
Akhirnya, riset saya menunjukkan kalau film tidak berfungsi sebagai hiburan semata, tapi juga alat edukasi sosial yang efektif. Film boys love memberi ruang bagi penonton untuk mengeksplorasi isu keragaman gender dalam konteks yang aman dan terkontrol. Dengan cara ini, ia dapat mendiseminasikan ide-ide inklusif yang menantang stereotip gender yang sudah mengakar. Dengan memberi ruang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan, film-film itu bisa membantu menciptakan masyarakat yang lebih adil dan menerima keragaman gender. Tema boys love, yang semula dianggap sekadar hiburan, mungkin kelak bisa mengubah keadaan.
Senarai Pustaka
Baudinette, Thomas. (2019). Lovesick, the Series: Adapting Japanese ‘Boys Love’ to Thailand and the Creation of a New Genre of Queer Media. Southeast Asia Research, (online) 27(2), halaman 115–132.
Danardono, Donny. (2020). Diskursus Film: Film, Pengetahuan dan Pengalaman. Discussion Paper. Unika Soegijapranata, Semarang.
Masrina, Dwi dan Augustin Mustika Chairil. (2020). Membicarakan Perempuan di dalam Serial Boys Love Thailand. Perempuan: Perempuan dan Media Vol. 1. Aceh: Syiah Kuala University Press.
Suzuki, Kazuko. (2015). What Can We Learn from Japanese Professional BL Writers? In: M. McLelland, K. Nagaike, K. Suganuma and J. Welker, eds. Boys Love Manga and Beyond: History, Culture, and Community in Japan. Minneapolis: University Press of Mississippi. pp.93–118.
Stebby Julionatan adalah penulis, pengajar, dan bergiat di Alinea.
Editor: Asief Abdi