Ketika saya minta seorang kawan memutar lagu “blue” – Yung Kai, ia menatap picik seakan-akan saya sedang minta diputarkan lagu “Genjer-Genjer”. Pada kesempatan lain, ketika saya memutar Tiny Desk Concert-Billie Eilish yang di dalamnya juga memainkan “BIRDS OF A FEATHER”, kawan saya dengan ketus berkata, “Musik pasaran!” Beberapa hari kemudian, saya menyadari bahwa kedua lagu itu ternyata ramai dipakai untuk audio konten Reels Instagram. Ini membuat saya kepikiran. Apakah sebuah lagu semata-mata kemudian jadi kitsch ketika ia diputar berulang-ulang? Lantas, apakah sebuah lagu harus tetap berada pada jumlah angka putar yang kecil agar kita bisa berkata, “Ini baru musik!”
Membicarakan ini tentu saja akan menyeret kita pada satu perdebatan panjang, lebih-lebih kaitannya dengan yang estetis dan yang tidak. Estetika dibangun melalui persepsi. Dan persepsi selalu berangkat dari pengalaman pribadi. Sama halnya ketika berbicara estetika musik, itu berarti pengalaman seseorang atas musik. Misalnya, seseorang yang setiap malam nongkrong di warkop beralun musik Denny Caknan, tidak akan klik dengan musik yang dimainkan Khruangbin atau Yuuf. Cakrawala pengalaman atas musik menentukan taraf estetika musik yang dapat diterima. Tiap orang bisa berbeda. Dengan demikian, saya memilih untuk tidak bercokol pada persoalan estetis dalam tulisan ini. Namun, kiranya saya akan melempar satu pertanyaan untuk pembaca renungkan: Apakah sebuah karya seni—katakanlah musik—harus selalu indah?
Dengan meninggalkan persoalan estetis di paragraf kedua, saya hendak membicarakan persoalan yang lebih konkret, yakni algoritma. Beberapa pekan lalu, Whiteboard Journal merilis konten pendek tentang what song tortured you the most. Hasilnya, “APT” – Rosé & Bruno Mars, “Kita Bikin Romantis” – Maliq & D’Essentials, “Sialan” – Adrian Khalif & Juicy Luicy, dan “Creep” – Radiohead, masuk sebagai lagu yang—kalau meminjam pernyataan Whiteboard Journal—”membuat kuping mati rasa akibat diputar melulu.” Selanjutnya, izinkan saya mengesampingkan sejenak topik di paragraf ini. Tenang, nanti akan saya bahas kembali.
Setidak-tidaknya, terdapat dua megaplatform penyedia layanan streaming musik yang paling karib, Spotify dan Youtube Music. Masing-masing dari keduanya memiliki fitur Playlist by Personality. Pada Spotify fitur itu bernama Discover Weekly, Spotify Wrapped, Daylist, dan mix lainnya. Sedangkan, di Youtube Music fitur tersebut bernama Discover Mix, Youtube Music Recap, New Mix Release, beserta mix lainnya. Fitur itu memberikan tawaran musik yang dirasa cocok dengan selera pendengar melalui musik-musik yang kerap diputarnya. Selayaknya sahabat setongkrongan yang sedang memberikan rekomendasi musik, padahal sejatinya menjebak pendengar pada sebuah loop hole berkepanjangan. Ini yang saya maksud dengan algoritma, yang pada kemudian hari tanpa sadar memonetisasi.
Fungsi indra pendengaran pada tubuh manusia masuk dalam klasifikasi kerja non-produktif. Dengan kata lain, kerja yang tidak dibayar atau tidak menghasilkan. Ia bekerja secara otomotis untuk diri kita. Namun, per hari ini, indra pendengaran kita telah dibajak dan dimonetisasi oleh kerja algoritma. Kemudian, dengan gagah dan bangga kita memamerkan apa yang kita dengarkan melalui daftar putar yang kita pikir bikin sendiri, padahal tidak lain merupakan buah hitungan mesin. Hingga pada suatu waktu, daftar putar itu tidak bermain sesuai urutannya, kualitas audionya menurun, dan bahkan harus melewati jeda iklan setelah beberapa lagu. Sekali lagi, si mesin datang memberikan tawaran. Berlanggananlah untuk mendapatkan pengalaman musik yang lebih ciamik! Paket-paket langganan itu menerobos muncul bak solusi praktis, hingga pada akhirnya si pendengar menjadi pelaris. Lama-lama, biaya langganan itu tanpa disadari masuk dalam daftar biaya pengeluaran bulanan. Lantas, apakah si pendengar pernah bertanya ke mana bermuaranya semua duit langganan itu?
Apa modal yang dimiliki layanan streaming musik? Ya, mesin. Apa yang dihasilkan? Ya, hitungan mesin; algoritma. Namun, bukankah kita menggunakan layanan streaming musik untuk mendengarkan musik? Dengan kata lain, arche-nya adalah musik itu sendiri. Dan yang menghasilkan musik bukan layanan streaming musik, tetapi musisi. Saya izin hitung-hitungan sedikit. Spotify memberikan royalti kepada si pembuat musik sekecil 0,003 dolar untuk sekali putar, Youtube Music lebih parah dengan hanya 0,002 dolar untuk setiap pemutaran. Dengan kata lain, si pembuat musik harus mendapatkan 1000 kali pemutaran untuk menggeser angka nol ke belakang. Artinya, tidak profit. Royalti dari layanan streaming musik memang tidak memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi musisi. Pundi itu datang dari konser, merchandise, sampai hak cipta pemutaran—misalnya saja untuk soundtrack film atau untuk musik latar iklan. Layanan streaming mentok hanya menaikkan jenama atau popularitas bagi si pembuat musik. Namun, ini bisa dikatakan sebagai sebuah pseudo—entah pseudo apa—karena sistem algoritma. Hitungannya ialah, semakin sering musik itu diputar, semakin masif musik itu dan yang sejenis itu ditawarkan kepada pendengar. Jadi, selain boncos, musisi harus berlomba-lomba memprediksi musik macam apa yang sedang dan akan ada dalam peredaran telinga pendengar. Dengan kata lain, musik bertransformasi sedemikian rupa untuk sejajar dengan kebutuhan pasar. Mungkin saja, kelak semua bentuk musik jadi seragam. Hanya mereka-mereka yang berani, yang bisa ambil resiko untuk keluar dari rancangan peredaran algoritma. Izinkan saya mengulang pertanyaan di paragraf kedua, apakah sebuah karya seni—katakanlah musik—harus selalu indah?
Dampak dari bentuk musik yang disejajarkan dengan kebutuhan pasar kemudian melahirkan musik-musik overplay seperti yang sudah disebutkan di paragraf kedua. Musik-musik macam itu yang kerap kita jumpai sebagai audio konten-konten digital. Dan sesiapa yang memutar musik itu adalah pendengar dengan selera pasar. Sungguh, betapa geli term “selera pasar” itu. Padahal sedari awal tak pernah ada ukuran estetis dalam kalkulasi mesin. Inilah janin yang melahirkan fenomena gate keeping. Musik yang bagus adalah yang pendengarnya sedikit karena ketika musik itu sering diputar, ia jatuh sebagai kitsch. Gate keeping juga sama gelinya karena tak memiliki ukuran pasti tentang yang estetis dan tidak.
Meski tampak menawarkan kebebasan, perkembangan industri musik pada layanan streaming ternyata tak cukup adil bagi si pembuat musik. Kebebasan yang sama pseudonya juga ditawarkan kepada si pendengar. Menjebak telinga pada putaran musik itu-itu saja. Kepentingannya jelas akumulasi kapital. Muslihat semacam ini tak hanya mengeruk, tapi juga melahirkan dikotomi selera yang kabur. Ya sudah, kaos itu tak jogeti saja dengan lagu-lagu Denny Caknan.
Muhammad Jibril atau Jai, menamatkan studi Sastra Indonesia di Universitas Airlangga. Saat ini bergiat di Komunitas Titik Nol.
Editor: Putri Tariza