Menu

Mode Gelap
Kawin Silang Ekonomi Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

Kritik Seni

Kayaknya Navis …


					Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Tradisi masyarakat kita cenderung mendambakan hal-hal pragmatis. Wilayah abstrak dan imajiner sering kali dipandang sebagai sesuatu yang terlampau rumit dan berpotensi membuat gila seseorang; masyarakat kita enggak doyan perbincangan ndakik-ndakik. Obrolan akan lebih asyik jika berangkat dari sesuatu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Kecenderungan tersebut, baik secara sadar maupun tidak, membentuk tradisi membaca, kemudian memberi dampak pada tradisi sastra. Gejala ini dapat dilihat dari dominasi karya (khususnya prosa) yang berlanggam realisme. Memang, ada karya-karya anomali yang beredar di publik; mulai dari realisme yang dibubuhi bumbu magis hingga karya eksperimental yang super ekstrem. Namun pada akhirnya, karya-karya tersebut mentok dilabeli sebagai kanon tanpa antusiasme yang masif dari khalayak pembaca. 

Kayaknya, situasi ini ditangkap dan dipahami oleh Ali Akbar Navis, lalu mewujud sebagai strategi keterbacaan atas karya-karyanya. Dari situ langgam realisme kerap dimanfaatkan. Dari pendekatan inilah minat pembaca dan pesan yang ingin ia sampaikan—yakni kritik berselubung satire—menemui titik jumpa. 

Tukang servis hp dan ojol pun tahu bahwa karya-karya Navis bernuansa sindiran. Membaca Navis adalah membaca satire. Namun, janganlah kita langsung tertuju pada apa dan siapa kritik itu diperuntukkan, sebab topik tersebut akan lebih banyak dipengaruhi oleh subjektivitas pembaca. Dengan langsung meloncat pada makna, pembaca hanya akan menghasilkan tafsiran yang gegabah. Akan lebih menyenangkan—dan tampak intelek—apabila kita mengkaji karya Navis mulai dari apa-apa yang yang tertulis dalam teks. Lagi pula, dengan pembacaan dekat itu, makna sebuah karya bisa kita kerucutkan menjadi lebih spesifik dan meninggalkan argumen-argumen spekulatif. Lagi pula Navis dan satire dan apa yang disatirekan adalah konsekuensi yang rawan menjadi persoalan klise.

Lalu, apa yang mesti kita lakukan, Bung? Wkwk.

Setelah asyik masyuk dalam cerpen-cerpen Navis, ditemukanlah hal-hal yang seringkali muncul membentuk sebuah pola yang bisa kita hubung-kaitkan satu sama lain. Dari segi konten, problem ego, dan moralitas, banyak diangkat dalam karya-karya Navis. Seperti pada cerpen “Bertanya Kerbau pada Pedati” serta “Pemburu dan Serigala”. Sedangkan pada segi bentuk, cerita berbingkai dijadikan modus dalam cerpen “Robohnya Surau Kami”, “Penumpang Kelas Tiga”, “Gundar Sepatu”, dan lain-lain. Berangkat dari kecenderungan inilah kita bisa mulai merangkai argumen atas apa saja yang menyusun semesta cerpen dan barangkali juga membangun dunia satire Navis. Setiap unsur di atas tidak selalu hadir dalam cerpen, pun jika hadir tidak lantas muncul secara serentak. Kehadiran unsur-unsur tersebut tidak saling melengkapi dalam satu cerpen, melainkan lebih luas dalam keseluruhan karya Navis. 

Ego dan moralitas sepertinya merupakan sasaran empuk bagi Navis untuk ia senggol dengan sebuah satire. Kebanyakan dari kita pun akan setuju bahwa orang yang memiliki nafsu egosesentris selalu merepotkan sekelilingnya. Siapa yang punya ego dan kadar moral lebih tinggi daripada orang berumur sekaligus fanatik agama? Saya yakin, Navis dari dalam kuburnya akan berteriak “Tidak ada! Dan itulah yang membuatku gatal untuk menulis cerpen ‘Robohnya Surau Kami’,” gumam Navis (kayaknya). Dalam cerpen “Pemburu dan Serigala”, Navis menggambarkan seorang pemburu yang tersentil kegagahannya sebagai pemburu paling andal. Namun, ketersinggungan itu kemudian menjelma kerakusan dan berakhir “senjata makan tuan.” Lain halnya ketika kita membaca cerpen “Bertanya Kerbau pada Pedati”. Tokoh aku dalam cerpen tersebut merasa iba melihat kerbau yang ngos-ngosan menarik pedati menuju pendakian. Ada hal yang tidak beres, yang menyinggung sisi kemanusiaan narator dalam cerpen, bahwa tega sekali si tukang pedati menyiksa kerbaunya sendiri. Kedua cerpen tersebut boleh dikata berhasil jika tendensi awal pengarang adalah membuat sindiran.

Di luar isi cerpen, bentuk cerita berbingkai kerap dimanfaatkan Navis. Teknik macam ini memberikan efek keberjarakan yang lebih antara pembaca dan cerita. Lalu, apakah hal ini bisa ditafsirkan sebagai upaya “cuci tangan” Navis sehingga seolah bukan dia yang sedang menyindir, melainkan tokoh atau narator dalam cerita? Bisa saja, tapi kayaknya bukan begitu. Ia bukan pengecut. 

Bisa dibilang, Navis merupakan penulis yang minimalis dalam hal teknik penulisan. Tidak ada gaya bercerita yang jumpalitan. Tuturan yang cenderung runtut dan kronologis kayaknya ditujukan untuk keterbacaan publik, mengingat isi lebih penting daripada bentuk dalam cerpen-cerpennya. Namun, ada beberapa teknik yang sudah familier tetapi masih tampak keren, salah satunya adalah bentuk cerita berbingkai. Dikatakan akrab karena kita sudah karib dengan kisah-kisah 1001 malam atau format dongeng lainnya yang terkesan seperti pengisahan ulang. 

Lagipula, seperti yang telah disebut sebelumnya, pembahasan mengenai satire berpotensi menjadi persoalan klise. Begitu pun dengan karya satire itu sendiri. Jika cerita disajikan secara kronologis, tidak ada daya tawar estetik dalam karya tersebut. Mungkin Navis menyadarinya, sehingga bentuk cerita berbingkai atas kritik atau satire dalam cerpen-cerpen yang ia tulis dipilih sebagai estetika sastrawinya. 

Kayaknya, sih, gitu.

 

*Tulisan ini disajikan sebagai pengantar Mimbar Budaya 12 Lesbumi PCNU Pamekasan, “Navis, Hidup, dan Cerita-ceritanya” dalam rangka memperingati 100 tahun A. A. Navis.

Ikrar Izzul Haq adalah pembaca sastra.

 

Editor: Putri Tariza

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Memandang Cinta dari Jauh

3 September 2025 - 16:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni