Teror, sayangnya, dipicu oleh hal-hal yang justru sangat religius. Dan hanya Terry Eagleton, dalam bukunya Holy Terror, yang secara gamblang dan blak-blakan mengungkapkan hal tersebut. Padahal, orang beramai-ramai menjadikan religiositas, ketentraman rohani dan ragawi, sebagai pijakan. Lantas dalam buku ini, mengapa teror justru lebih agamis dari pemeluknya?
Tuhan punya pesona spontan―paling spontan. Tak akan pernah terpikir di benak seorang hamba yang saleh, mengapa baginya Tuhan begitu absolut dan otoriter. Seorang penganut fundamentalis, misalnya, yang kebetulan menjadi pemangku agama, juga tak perlu menimbang-nimbang siksaan yang lebih etis untuk para pezina, sehingga mereka mencipta lara, hukuman yang justru melampaui kelayakannya. Para pemeluk agama kerap ditakut-takuti, “Kau akan dihukum Tuhan dan Dia tak akan mengampunimu jika kau melakukan dosa besar.”
Ini tidak jauh berbeda dengan kultus semi-fasis, begitu Terry Eagleton mengacu pada penyiksaan berbasis ilahiah di bab pertama “Invitation to an Orgy”. Bab ini khusus membahas ambivalensi (oxymoron) terang-terangan yang melekat pada sifat-sifat Tuhan, Tuhan Dionysus dan Proteus sebagai contoh.
Masalahnya, Proteus yang secara simbolik memberkati alam dengan kesuburan, merekahkan kuncup tetumbuhan, melimpahkan air, anggur, madu, dan susu, juga menyandang nama Dewa Darah. Ya, yang cair memang bukan cuma yang menghidupi dan manis-menyegarkan, darah juga cair. Tapi buku ini bukan membahas kimia elemental, melainkan sifat-sifat Tuhan yang terlampau bertolak belakang, yang terlalu biner namun tak terpikirkan oleh pemeluknya. Tuhan, yang mahakejam tetapi di sisi lain juga Maha Pengasih lagi Penyayang―oxymoronic.
Tidak hanya itu, bagi Eagleton, Tuhan juga selalu memikat. Sangat memikat, magnetik, menarik. Misalnya, kita tak perlu pikir panjang apakah mau gabung di pesta meriah Tuhan jatmika Dionysus atau terjebak di seminar Apollo yang bangku-bangkunya sering kosong gara-gara Poseidon dan Athena cekcok tiada henti. Apalagi kalau jadi pengikut Proteus, dijamin tak bakal ada kelaparan, sebab anggur tumpah ruah, madu mengalir, susu membanjir. Untuk meyakinkan umat kepada kepercayaan tertentu, ajakan yang melenakan harus digelontorkan, dan pesona surgawi perlu dibentangkan.
Namun, ada kejanggalan dalam meriahnya pesta Dionysus dan Proteus. Ajakan yang melenakan tersebut, sebagaimana dikukuhkan dalam buku Hegel yang berjudul Night of the World―Pawai Kematian (diterjemahkan bebas oleh penulis), merupakan teror dan keimanan yang berada dalam satu tubuh yang sama. Contoh sederhananya, kita sering menganggap hanya agama tertentu yang pantas menempati surga, sisanya matang ditanak di neraka. Begitu pula dalam paganisme, orang ditumbalkan demi rintik hujan, dan si tumbal kudu percaya bahwa tindakannya adalah jihad.
Ambivalensi tidak hanya mutlak melekat pada sifat ketuhanan, hamba-hamba yang terlalu agamis dalam hal tertentu, justru semakin tidak toleran kepada siapa pun yang melanggar aturan. Ditambah, dalam kadar tertentu, orang yang merasa sangat beriman akan skeptis dengan pemeluk agama lain.
Untuk menegakkan agama, penyiksaan dan teror dianggap sebagai kedisiplinan ilahiah yang mesti ditegakkan. Villette karya Charlotte Brontë, misalnya, mengungkap sosok saleh yang memberi diskon hukuman alam baka pada siapa-siapa yang sudi menggantinya dengan siksaan dunia. Mau dibakar di sini, apa di neraka? Mau dihukum sesama atau Tuhan yang Maha Murka? Juga, rekaman sejarah Asrama Mendoet oleh Y. B. Mangunwijaya dalam Balada Dara-dara Mendoet menjadikan hukuman-hukuman tertentu misalnya “menusuk lidah dengan jarum” sebagai alat penegak kepatuhan manusia beragama.
Mengapa mereka yang justru menjadi imam atau pengasuh dalam institusi keagamaan, yang lebih religius, kadang memiliki sikap yang jauh lebih brutal dan anarkis demi menegakkan tiang agama? Mengapa orang-orang ini justru lebih tekun mengatur, membatasi, dan menghukum orang tanpa ampun daripada utusan Tuhan seperti Nabi atau Malaikat? Semua pertanyaan ini sangat menggelitik dan Terry Eagleton menyelami ranah-ranah religiusitas yang lazimnya tak terbantahkan.
Lantas, kritik yang sudah mengobrak-abrik ranah ketuhanan, keagamaan, serta keimanan ini, apakah mengajak pembaca menjadi seorang nihilis atau ateis?
Apakah karya ini bisa membuat seorang hamba memiliki tendensi untuk menikung Sang Pencipta?
Di sinilah gebrakannya. Pertama kali saya membaca karya ini, saya mengira Terry Eagleton pastilah seorang ateis. Tapi saya salah. Terry Eagleton justru spiritualis. Nihilisme, setelah ia mengulik gagasan Nietzsche, khususnya “kematian Tuhan”, baginya akan berimbas pada ketidakadaan atau bahkan keruntuhan makna transendental. Itu berarti lantaknya fondasi religius dan metafisik malah akan membuat manusia menghadapi dunia tanpa tujuan yang jelas.
Manusia modern, begitu ia mulai topik selanjutnya, sering terperangkap dalam ide-ide kebebasan yang tidak jelas dasar dan tujuannya. Kekerasan nihilistik, begitu ia melebarkan topik teror, adalah kebebasan yang didamba manusia modern. Mereka memiliki dorongan buas untuk menghancurkan tatanan sosial tanpa bisa menawarkan alternatif yang layak. Demi menciptakan tatanan baru, mereka justru melakukan tindakan destruktif untuk mewujudkannya.
Manusia modern menyembah satu Tuhan, Ia bernama kebebasan. Dan itu membuat Terry Eagleton gerah. Dalam bukunya, Holy Terror, ia menahbiskan bahwa kebebasan ternyata bermuka dua. Pagi merupa bidadari ayu, malam berubah jadi ular sanca; Nawangwulan dan Badarawuhi dalam satu tubuh. Malaikat dan iblis, begitu ia bilang berkali-kali. Padahal, mestinya kebebasan adalah hajat yang harus diperjuangkan, seutopis apapun itu. Tapi, selain mimpi indah tentang masa depan, kebebasan ternyata adalah embrio absolut … dari teror.
Kebebasan yang dielu-elukan manusia modern sering kali terperosok pada pencarian kebebasan absolut. Eagleton menggandeng Hegel yang menggagas “kebebasan yang mengakar pada kehampaan”. Kalau nilai-nilai tradisional, moral, dan agama diberangus, jangankan individu, masyarakat pun bisa mengalami kekosongan makna. Yang chef kiss dari gagasan Eagleton, setelah merujuk pada Hegel, bukan terletak pada keinginan bebas dengan tujuan dan makna transenden. Malah, ketika manusia mengalami kekosongan makna, di situlah teror akan muncul.
Bahkan, semangat revolusioner yang selalu dianggap sebagai hal yang “memerdekakan” bisa menjelma keinginan radikal―menghancurkan tanpa ada upaya atau tujuan untuk membangun tatanan baru. Tujuan konstruktif harus berjalan beriringan dengan semangat revolusioner. Sedangkan sebuah tujuan konstruktif, apapun aspeknya, takkan terbentuk dalam kekosongan makna.
Eagleton menambahkan konsep The Agreed Violence (Kehancuran yang Disepakati), keinginan masif yang tercipta dari sekelompok manusia yang mendamba kebebasan nihilistik. Kehancuran, kata orang, dapat dihindari dengan terbentuknya tatanan sosial. Namun, tatanan sosial terbentuk dari hukuman atau perang. Untuk menghendaki kedamaian serta sistem yang lebih ideal, perang harus dilancarkan. Jadi, bagi Eagleton, baik seorang raja maupun pembunuh, keduanya tidak bisa dipisahkan.
Muara kegariban ini melekat pada kebebasan dalam setiap jiwa manusia. Kebebasan menjadi semacam air di saat dahaga yang mesti diteguk secepatnya. Namun, bila digali hingga ranah eros (Eagleton juga menganalisis dengan gagasan Sigmund Freud dan Jacques Lacan), krisis eksistensial bisa terpicu ketika seseorang menghendaki kebebasan absolut―kebebasan nihilistik.
Dalam diri manusia terdapat death drive atau “dorongan kematian” yang menurut Sigmund Freud merupa sebuah hasrat atau dorongan untuk kembali pada yang tak bernyawa. Dorongan ini tentunya bersinggungan dengan eros, “dorongan kehidupan” (yang memusatkan kehidupan dari penciptaan dan kelangsungan hidup). Kebebasan yang tumbuh dari kehampaan, sebagaimana Eagleton mengembangkan teori Sigmund Freud, dapat termanifestasikan melalui perilaku merusak; agresif dan destruktif.
Begitu pula dengan jouissance yang digadang Jacques Lacan. Kenikmatan yang berlebihan, yang melampaui batas-batas kepuasan normal, akan selalu menyeret seseorang pada pintu kehancurannya sendiri. Di sinilah titik ambivalensi itu, kenikmatan dan kehancuran adalah satu. Seperti Dionysus, sang dewa pemberi kebahagiaan sekaligus pembawa kehancuran. Dionysus kiranya adalah metafora kenikmatan … juga teror.
Eagleton menyodorkan analogi yang cukup representatif, ia menukil narasi The Secret Agent karya Joseph Conrad tentang seorang anarkis yang siap meledakkan bom, walaupun itu artinya bom tersebut juga meledakkan dirinya sendiri. Bagi Eagleton, di sinilah letak nihilisme yang ekstrem; kehancuran kerap menjadi jalan pembebasan yang sejati―patriotik. Berkaca melalui perspektif The Secret Agent, kecenderungan modernitas dan kebebasan kerap membuat seseorang terjerumus pada anarkisme dan terorisme.
Seseorang yang telah melucuti dirinya sendiri dari ikatan-ikatan moral memiliki kecenderungan “terasing”. Itu artinya, ketika seseorang terputus dari nilai-nilai sosial, ia akan berpikir bahwa satu-satunya tindakan atau jalan yang tersisa baginya adalah “perlawanan”. Entah dengan menghancurkan dirinya sendiri, dengan menunaikan dorongan bawah sadar kematian, atau melalui tindakan destruktif.
Analisis ini mengarahkan Eagleton pada terorisme modern. Tidak melulu politis, ada aspek lain yang melatari terorisme. Manifestasi dari ketiadaan tujuan dan pijakan, atau dorongan nihilistik, dapat menjadi tendensi untuk menghancurkan segala sesuatu serta merombak tatanan. Kehancuran yang tak berdasar dan nihil tujuan konstruktif.
Holy Terror bukan kudapan cepat saji yang membuat pembaca menelan hidangan gamang. Karya ini bukan santapan asal kenyang. Dalam bab-bab yang membahas tentang kebebasan absolut yang bangkit dari nyala nihilisme, saya merasa terpojok. Sebagaimana manusia modern dan hasrat kebebasannya, saya juga mendamba kebebasan―lepas dari keterikatan. Namun setelah bebas, saya sadar bahwa saya kerap hilang arah. Alih-alih merasakan bahwa tema ini hanyalah objek, saya merasa, diri saya sendiri adalah subjek yang dibahas.
Apakah karya ini membuat saya lebih konservatif dan menanggalkan hasrat sebagai manusia bebas? Justru sebaliknya. Karya ini sangat reflektif, membuat saya mengorek-ngorek kebebasan yang selama ini saya harap. Apakah kebebasan yang lama saya damba hanyalah sesuatu yang impulsif? Bukankah kemanusiaan itu mengenal dan menghormati batasan-batasan? Bukan malah meruntuhkannya?
Dorongan apa yang membuat saya menginjak pedal destruksi dan agresi? Semua ini membawa saya pada pemikiran yang lebih terbuka. Selebihnya, saya dapat mengetahui bahwa banyak dari hasrat kemanusiaan saya tercipta bukan berdasarkan konstruksi yang lebih positif, melainkan “Suka-suka gue, dong. Emang lo mau apa?” (di mana ini terasa sangat nihilistis).
Tidak hanya itu, Terry Eagleton menyodorkan seabrek ambivalensi dari literatur yang cukup beragam. Ia tidak hanya memberi latar teror secara literal sejak zaman Revolusi Prancis atau yang lebih arkais dari itu. Ia menguak jeroan Crime and Punishment karya Fyodor Dostoevsky, di mana seorang intelek, avant-gardist, secara bersamaan juga seorang kriminal. Ia sodorkan pula hasrat naluriah kematian dan kehancuran dalam Buddenbrooks karya Thomas Mann. Juga rasionalisme dan nihilisme yang menurutnya tak terpisahkan dalam novel Women in Love karya D. H. Lawrence. The Secret Agent karya Joseph Conrad menjadi jantung analogi kebebasan nihilistik dan selusin lainnya.
Citizens do indeed need safeguarding, by force if necessary, from those who offer to destroy them. Terror has its civilized uses, [Holy Terror, hal. 15].
Masyarakat memang butuh perlindungan (dengan kekerasan, kalau perlu) dari oknum yang justru berusaha menghancurkan mereka. Teror punya daya guna tersendiri bagi peradaban.
Putriyana Asmarani adalah penulis cerpen dan esai.
Editor: Ikrar Izzul Haq