Menu

Mode Gelap
Kawin Silang Ekonomi dan Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

Esai Budaya

Siasat Tubuh: Dari Sullam Taufiq ke Sulam Alis


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Tahun 1986, Viva Cosmetic datang ke berbagai pondok pesantren. Annuqayah adalah salah satu tujuan mereka. Di samping jumlah santri yang berkembang pesat, alasan lain mereka datang ke pondok tersebut kiranya ialah keterbukaan Annuqayah terhadap tamu, termasuk menampung Volunteer in Asia yang notabene masih dianggap tabu di tempat lainnya karena perbedaan agama. 

Misi Viva adalah misi dagang yang dikemas dalam bentuk pelatihan. Kiranya, semua sudah tahu-sama-tahu. Tim mereka menjelaskan fungsi dan cara meratakan foundation, lotion, cushion, dan produk-produk mereka yang lain kepada santri senior dan nyai-nyai. Warga sudah akrab dengan pernak-pernik yang dijajakan, waktu itu. Namun, kosmetika masih berada pada tingkatan sekunder dalam keranjang belanja mereka, tidak seperti sekarang yang sudah naik kelas: berada di tahta kebutuhan primer.

Sialnya, kegiatan tersebut memantik polemik. Beberapa hari sesudahnya, koran Jawa Pos melansir kecaman salah seorang tokoh masyarakat lokal Madura terhadap inisiatif Pondok Pesantren Annuqayah tersebut. Pesantren—kurang lebih—dianggap telah membuatkan panggung untuk kegiatan sia-sia, bahkan cenderung haram. Bukankah meratakan bedak di wajah, menggariskan eye shadow di pelupuk mata, menggoreskan lipstik dan lipgloss di bibir itu tidak menyumbang apa pun pada ilmu pengetahuan? Bukankah wajah semestinya tertutup sebab ia adalah aurat, alih-alih membuatnya semakin mencolok? 

Lupakan kisah selanjutnya. Cerita itu adalah peristiwa masa lalu, masa sebelum adanya sulam alis dan ibu-ibu masih tekun menggeluti Sullamut Taufiq. Masa itu adalah masa ketika berdandan akan menjadi sorotan publik jika diperagakan di luar arena pernikahan. Di awal tahun 80-an, jangankan alis sintetis, mencabut bulu-bulu alis supaya rapi saja dianggap mengingkari anugerah Tuhan. Akan tetapi, waktu berubah dan orang-orang mulai memanjakan diri dengan apa pun yang disodorkan ke hadapan mereka. Pertimbangan fikih sebagai pijakan hukum menjadi urusan belakangan.

Setelah berdandan menjadi hal biasa, masyarakat masuk ke dalam era Pascakosmetika, yaitu ketika tubuh disiasati, direkayasa bentuknya. Baik dengan operasi plastik atau sayatan minimal invasif, seperti operasi kecil untuk bromhidrosis aksilaris. Demi apa? Demi mengurangi bau ketek. Itu saja. Era luluran dan uap rempah, jamu dan semua turunannya, mulai redup, menunggu pupus dan terhapus dari peta kecantikan para wanita.

Saat definisi kecantikan—termasuk cara, bentuk, jalan menuju, juga standardisasinya—berubah, bergeser, saat itu juga industri penopangnya “berjalan di latar belakang”. Gerakan “di latar belakang” semacam inilah yang membuat orang tidak sempat lagi bertanya: untuk apa mereka cantik dan untuk siapa mereka cantik. Filosofi kecantikan yang diagung-agungkan dalam khazanah berbagai kebudayaan Timur hilang perlahan. Filosofi tersebut digantikan oleh iklan-iklan dan trendsetter yang membuat definisi baru tentang kecantikan yang sesuai dengan kepentingan mereka, kepentingan kapital dan global. Walhasil, semua perempuan di seluruh dunia harus mengikutinya. 

Makna kecantikan bergeser melalui perubahan indikatornya. Lihatlah bagaimana perawatan kulit halus—yang di era Marie Antoinette dianggap indikator utama kecantikan—ikut-ikutan berubah, sebagaimana perubahan dari luluran ke skincare, dari “merawat” ke “mengubah”, dari rempah-rempah tropis ke industri kimia. Menurut Martha Tilaar (dalam bukunya Kecantikan Perempuan Timur: 2017), pengiblatan kecantikan ke Barat sudah berlangsung sejak salon “Sariayu” didirikan pada tahun 1970. Padahal di Amerika sendiri, cara ini dianggap aneh mengingat iklim tropis Indonesia kurang cocok untuk pemakaian produk yang diramu untuk masyarakat di wilayah beriklim empat musim.

Di samping berubah, indikator kecantikan juga bergantung pada khazanah budaya bangsa-bangsa. Definisinya ditentukan tempat dan masa. Sebutlah Cina, misalnya, yang mengidealkan kaki kecil dan orang Madura yang memuji alis rapi dan tebal, serta Jawa yang pernah memasukkan unsur ‘kesuburan’ (ameliorasi dari makna “berisi/agak gemuk”) ke dalam kamus kecantikannya (cara pandang yang terakhir ini mungkin dipengaruhi oleh visi pelambangan kesuburan Dewi Sri). Dan, ketika peragawati Twiggy yang fenomenal itu muncul, orang sedunia seakan ingin “kurus berjamaah”, supaya bisa disebut cantik sesuai rujukannya, siapa lagi kalau bukan model dari Inggris tersebut. Siapa dan seperti apa trendsetter-nya, seperti itu pula dunia mengikutinya. 

Masih menurut Martha Tilaar, kata kunci utama cantik itu adalah keseimbangan. Dan jika definisi ini diberlakukan untuk khazanah Nusantara, maka harus ada syarat tambahan, yaitu unsur batiniah: harmoni lahir-batin yang dalam Jawa Kuna disebut Rupasampat Wahyabyantara. Akan tetapi, semua tahu bahwa pernyataan di atas hanyalah idealisasi. Sekarang, kiblat kecantikan telah berubah seiring dengan dinamika kebudayaan modern. Demikianlah definisi itu tercipta, menjadi cerminan mekanisme fisik dan lahiriah. 

Demi memenuhi hasratnya, ambisinya, manusia bukan saja merawat, tetapi juga berani mengubah. Operasi plastik menjadi bukti pelampiasan syahwat manusia dalam menyiasati tubuh yang serba-kekurangan. Wacana fikih seputar hukum mencabut bulu alis sebagai bagian dari riasan atau sebagai tindakan mengubah ciptaan Tuhan sudah dilimpasinya. Di zaman sekarang, kecantikan dan pernak-pernik di sekitarnya telah menjadi bagian dari problem sosial, bahkan lingkungan.

Mari kita lihat data lawas berikut ini. Di dalam Al-Mar’ah al-Muslimah: Bayn asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa al-Adlalil al-Gharbiyyah (Muassasah Ar-Rayyan: Beirut, 1999), Fada Abdul Razaq al-Qashier mengutip laporan majalah Riyadh (edisi 8372, 13-11-1411 H.) yang menurunkan data hasil himpunan divisi statistik Kerajaan Saudi Arabia atas total jumlah barang-barang yang diimpor ke dalam negara minyak tersebut pada tahun 1409 H atau 1989 M. Angkanya fantastis, mencapai lebih dari 800 juta riyal; barang-barang impor tersebut meliputi pengadaan kosmetika, termasuk parfum dan sejenisnya (data dinukil dari An-Nisa’ wa Al-Maudlah wa Al-Azya’ karya Khalid Asy-Syayi’, halaman 19). Laporan majalah Ith-Thila’at, Iran, sepuluh tahun sebelum kemenangan Revolusi Islam, tak kalah mencengangkan. Disebut bahwa dalam setahun, negara tersebut mendatangkan 210.000 kilogram produk-produk kosmetika (dinukil dari Mas’alah al-Hijab, Muthahhari, halaman 52). Tinggal dibayangkan, sebesar inilah jumlah kosmetika yang diimpor ke negara yang notabene perempuannya menggunakan cadar. Itupun terjadi puluhan tahun silam. Nah, bagaimana sekarang? Pembicaraan ini belum termasuk soal microbeads—yang kala itu belum dilansir—yang terkandung dalam bedak. Perlu diketahui, barang ini sulit ditapis dan dipisahkan ketika bercampur dengan air ledeng. Sehingga dapat dipastikan air minum manusia (perkotaan) pun sudah tercemar unsur plastik level mikro dan nano. 

Semua itu hanyalah data yang akan dengan mudah dilupakan jika hasrat-tak-terbatas manusia dibiarkan melantur begitu saja oleh kendali uang; didorong dari belakang oleh kekuatan iklan; ditarik dari depan oleh media sosial. Karena memang beginilah sejatinya manusia: ciptaan terbaik tapi penuh kekurangan. Ras ini akan mengupayakan apa pun yang dianggap bolong darinya untuk disumpal hingga semua pori-pori yang dianggapnya cacat tidak tampak lagi di mata publik secara kasat mata. Maka, fitrah dilupakan. Ras Austronesia yang umumnya berkulit cokelat harus ikut-ikutan menjadi putih. Siapa yang mengendalikan? Tentu saja jaringan besar yang menjual AHA dan glutathione dan obat pemutih lainnya. Skema seperti ini juga berlaku untuk lapisan yang lebih berat, seperti perubahan hidung, dagu, bibir, dan bagian-bagian tubuh yang paling mudah dilihat oleh kristalin mata dan lensa kamera. 

Mengapa itu semua dilakukan? Tentu saja karena tuntutan warganet, sementara warganet dipandu oleh pesohor, dan pesohor dikendalikan oleh industri serta cengkeraman iklannya. Kata iklan sampo, cantik itu adalah rambut lurus (maka yang ikal—yang dulu menjadi bagian dari pujian—harus berubah, harus diluruskan); cantik itu harus langsing, kata iklan obat diet yang menyewa model bertubuh ramping untuk menjual produknya. Begitu seterusnya: harus berkulit putih, harus berhidung mancung, harus ini dan itu, sehingga definisi kecantikan pun menjadi sempit, tepatnya dibuat sempit oleh iklan-iklan itu. Sampai pada akhirnya kita terpojok dan tidak punya definisi lagi untuk menjelaskan siapa diri kita sendiri. Dan pada saat seperti inilah ironi manusia menemukan contohnya: manusia yang selalu berteriak tabula rasa, menjunjung hak dan kebebasannya, tapi pada saat yang sama tunduk pada definisi yang diatur oleh pemodal besar melalui iklan-iklannya. 

Saat di majelis kajian fikih orang-orang membahas hukum alis sintetis, di luar sana orang membahas teknologi lanjutannya. Saat aktivis sosial dan lingkungan membahas dampak konsumerisme kosmetika serta dampak ekologisnya, di luar sana orang sudah merancang skema baru penjualan produk terbarunya. Saat Anda bangun tidur lalu melihat matahari cemerlang di ufuk timur sehingga alam sekitar menjadi cantik tanpa kosmetik,  pernahkah Anda bertanya, “Sebenarnya, aku bersolek dan melakukan semua ini untuk apa, untuk siapa?”

 

M. Faizi adalah penyair, esais, dan dosen.

 

Editor: Ikrar Izzul Haq 

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Kawin Silang Ekonomi dan Politik

4 Oktober 2025 - 13:00 WIB

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka
Banyak dibaca di Esai Budaya