Seorang ibu yang lolos dari pembantaian oleh putranya sendiri, berkata bahwa ia mengampuni dan tetap mencintai sang anak. Bagaimanapun, kata dia, bocah itu adalah darah dagingnya. Betapa kasih ibu mengalahkan maut. Pola macam ini juga kentara di sinetron-sinetron ketengan yang menayangkan adegan seorang ibu dalam proses persalinan maha sulit. Sering kita temui dialog seperti ini: “Dok, selamatkan anak saya, walau taruhannya nyawa saya.” Pemirsa bakal terharu biru menyaksikan adegan klise macam itu tanpa tahu bahwa sebenarnya alam telah memanipulasi otak sang ibu untuk rela menukar nyawanya.
Seseorang yang mengalami preeklamsia (komplikasi kehamilan yang ditandai tingginya tekanan darah dan kebocoran protein dalam urine) berat, sering kali ngotot mempertahankan kandungannya kendati janin tak ubahnya parasit yang “meracuni” badannya. Padahal, pilihan tersebut berisiko tinggi bagi sang ibu. Ia bisa saja memilih terminasi kehamilan demi jiwanya sendiri dan itu tak melanggar hukum. Akan tetapi, tentu dia tetap memilih si jabang bayi. Begitu pula dengan ibu hamil yang terjangkit ca mammae, kanker payudara. Alih-alih aborsi dan melakukan kemoterapi atau radioterapi, ia cenderung bertahan hingga bayinya lahir. Alhasil, setelah persalinan, saat sel kanker telah metastase atau bertamasya ke organ-organ lain, sudah terlambat bagi dia untuk menjauh dari pintu ajal.
Begitulah seorang ibu. Jika ada adu altruisme tingkat semesta, tentu dialah juaranya. Apalagi altruismenya tak henti di masa hamil dan persalinan saja. Ia harus menyusui bayinya setidaknya selama 6 bulan hingga 2 tahun demi transfer nutrisi dan imunitas. Padahal, Jared Diamond dalam Evolusi Reproduksi Manusia telah menantang para bapak untuk turut menyusui anaknya, dan itu mungkin secara teori dengan suntikan hormon tertentu seperti prolaktin dan oksitosin. Selain itu, karena beban pengasuhan, ibu tak bisa sesuka hati berkarier atau sekadar nongkrong ngopi bersama teman-temannya. Ia harus mendekam di gua, di kamar, menginvestasikan waktu demi menjaga anak-anaknya seperti seekor induk burung sikatan yang tabah meringkuk di sarang.
Namun, mengapa seorang ibu mesti berkorban sebanyak itu? Di bagian kedua bukunya, yakni “Perseteruan Antarjenis Kelamin”, Diamond menyebut laku demikian itu dengan istilah “investasi”. Sedari awal, seorang ibu telah menyetor modal besar, yaitu ovum yang ukurannya jauh melampaui sperma. Sel telur juga mesti mengandung banyak zat gizi dan perangkat metabolik guna menyokong perkembangan embrio, misalnya untuk proses mitosis dari zigot menjadi morula, blastula, hingga gastrula. Dan itu berarti energi yang mesti ia sediakan juga jauh lebih banyak dari pejantan. Dengan modal segede itu, tentu tidak mudah bagi seorang ibu untuk mengabaikan begitu saja bayinya. Meski sulit, ia sudi mengabdikan jiwa raganya demi si bayi.
Pada masa kehamilan dan postpartum, darah ibu dibanjiri berbagai hormon yang memaksanya untuk mencintai sang anak. Normalnya, sebagai sel asing, zigot, yang memiliki komposisi kromosom berbeda dari induknya, bakal dibombardir dari segala arah oleh sel T (salah satu komponen sistem kekebalan tubuh). Pada penelitian terhadap mencit, dalam kondisi in vitro, sel imun akan menyerang embrio. Namun, situasinya berbeda di dalam tubuh. Sel T maternal seolah buta terhadap keberadaan fetus dan mengizinkannya tumbuh, meski segumpal daging tersebut tak ubahnya sel asing alias “parasit”. Maka, pada keadaan tertentu, ketika “mata” sel-sel imun tidak buta, terjadilah respons kekebalan yang menyerang fetus hingga berujung keguguran, preeklamsia, dan persalinan prematur. Akan tetapi, jauh lebih banyak fisik ibu yang menoleransi keberadaan si “parasit” imut dalam tubuhnya. Agaknya, sedari mula, tubuh ibu telah dikutuk untuk mencintai janin.
Dan kutukan pun berlanjut. Begitu plasenta terbentuk, hormon hCG (Human Chorionic Gonadotropin) akan memerintah tubuh sang ibu untuk membangun sarang yang nyaman bagi si janin di uterus. Akibatnya, sang ibu bakal didera kelelahan, pening, mual, sampai sensitivitas emosi yang terkadang harus ditambal dengan ngidam.
Hormon lain, yakni progesteron, membikin otot uterus relaksasi sehingga mampu menampung pertumbuhan fetus, menciptakan sistem pada rahim demi keberlangsungan suplai nutrisi bagi fetus, serta menjadikan sel imun induk lebih toleran terhadap embrio. Lalu, naiklah level estrogen dengan segala fungsinya. Namun, yang perlu saya garis bawahi di sini yaitu ketika keberadaan janin memompa kadar oksitosin dalam darah ibu. Sebab, di sinilah sumber kutukan sepanjang hayat itu.
Efek Oksitosin tak main-main. Ia memacu kontraksi uterus selama persalinan. Hormon itu pun tetap melaksanakan tugasnya setelah bayi lolos dari liang garba, yakni merangsang rahim terus berkontraksi hingga menyusut ke ukuran semula. Pascapersalinan, sekresi hormon ini dirangsang oleh laktasi. Semakin sering menyusui, semakin besar kadar oksitosin dalam darah ibu. Di sisi lain, oksitosin adalah hormon “cinta”, yang mengikat ibu dan anak. Kian tinggi konsentrasinya, makin lengket keduanya. Dan terjadilah kaskade kasih maternal tanpa batas. Sekalipun proses persalinan amat menyiksa, pada akhirnya sang ibu tidak akan pernah sanggup membenci si penyebab rasa sakit itu, bagai lelaki yang ribuan tahun memelihara luka akibat kata-kata perpisahan yang menohok dari sang mantan. Begitulah oksitosin mengakali otak seorang ibu.
Mekanisme tersebut merupakan strategi evolusi agar induk lebih mementingkan keturunannya dibanding diri sendiri. Ia merelakan diri sebagai wahana gen belaka demi keberlangsungan DNA-nya di masa depan. Hal itu diungkapkan Richard Dawkins dalam Selfish Gene secara gamblang. Tak ayal jika kebanyakan ibu (dalam angka yang mendekati mutlak 100 persen) menjalani laku altruis penuh demi kesintasan makhluk pembawa informasi genetiknya.
Cara semacam ini merupakan siasat yang sempurna supaya manusia tidak punah dan digantikan spesies cerdas lain seperti simpanse dan gurita. Gen manusia tetap lestari dan akan kian pesat berevolusi dengan pengorbanan seorang ibu, yang tidak hanya mengorbankan tubuh, tapi juga waktu dan keberadaannya. Mengapa keberadaan? Karena banyak ibu yang merelakan impiannya demi menyokong mimpi generasi penerusnya.
Dalam dunia hewan, altruisme induk juga berlaku, bahkan hingga tataran ekstrim. Ngengat bulan, misalnya. Pada tahap imago, spesies tersebut tak punya mulut fungsional, yang berarti mustahil untuk ia makan dan minum. Serangga malam itu mengandalkan cadangan energi yang ia timbun semasa larva. Sayangnya, di fase dewasanya yang cuma hitungan hari, ia mengabdikan seluruh energinya untuk bereproduksi. Misinya: bertelur lalu mati. Semacam bunuh diri terprogram. Padahal, jika ia tak buru-buru kawin, cadangan tenaga yang ia punya mungkin bisa membuatnya hidup lebih lama. Saya belum tahu soal kaskade hormon dalam otak binatang itu, tapi izinkan saya berasumsi kalau ia senasib dengan Homo sapiens betina: dikutuk mencintai keturunannya sampai mati.
Begitulah jika dipandang dari sudut pandang ekologi. Lalu, bagaimana kiranya pada tataran individu? Apakah proses transfer energi demi kontinuitas gen egois ini cuma menyebabkan kematian jasadi dan tidak menyebabkan “kematian” yang lain?
Pada zaman berburu dan meramu, manipulasi hormon membelenggu seorang perempuan di dalam gua. Padahal, mestinya perempuan cukup dikutuk lekat pada anaknya, tak perlu mendekam di gua. Akan tetapi, evolusi sistem masyarakat, terutama setelah Revolusi Agraria, menyulap perempuan tak sekadar menjadi pengasuh anak, tapi juga pengurus segala hal terkait per-gua-an.
Kiwari, banyak perempuan, demi anak-anak mereka, berdiam di gua bernama rumah, lengkap dengan segala tanggung jawab yang katanya milik mereka. Menurut riset, tugas ibu rumah tangga menggerus setidaknya 98 jam milik perempuan setiap minggu. Angka itu 2,5 kali lebih besar dari profesi lainnya. Seperti Sisifus, mereka harus berurusan dengan batu raksasa bernama pekerjaan domestik, yang sayangnya tidak bisa mewujud menjadi kastil atau sekadar roda gerobak Flintstone. Upaya-upaya mereka sublim menjadi partikel-partikel niskala yang acap terlupa dan tak dihargai atas dasar “sudah sewajarnya” atau “sudah kewajiban”. Belum lagi kebebasan personal yang hangus dan ketiadaan akses terhadap uang bagi diri mereka sendiri. “Pendidikan dan mimpi tak lagi penting, dan ambisi perlahan padam, keputusasaan dan kekecewaan mulai merasuk dan hidup pun menjelma siksaan,” kata Dr Usha Verma Srivastava, psikolog klinis India yang dikutip BBC. Tak heran, di India, pada tahun 2021, terjadi satu kasus bunuh diri oleh ibu rumah tangga setiap 25 menit.
Akhirnya, pada kasus-kasus tertentu, kutukan cinta maternal mewujud maut yang sesungguhnya, lewat kematian pre dan postpartum. Secara komunal, pengorbanan tersebut penting demi kelanjutan hidup Homo sapiens, tetapi secara personal, ada hal-hal yang perlu diperhatikan agar perempuan, sebagai “alat angkut” gen, tetap waras dan selamat. Ibu bukanlah ngengat bulan yang menggelindingkan dadu kehidupannya demi keturunan. Biarkan ia menjadi monarch, sang kupu-kupu raja, yang selepas bertelur tetap merentangkan sayap indahnya menyusuri angin dan terbang ke selatan.
Sasti Gotama adalah dokter sekaligus penulis prosa fiksi. Karya-karyanya pernah menjadi buku sastra pilihan Tempo 2020, pemenang pertama hadiah sastra RASA 2022, cerpen pilihan Kompas 2020 dan 2023, pilihan juri sayembara novel DKJ 2023, dan pemenang kedua sayembara naskah teater DKJ 2024.
Editor: Asief Abdi