Ada satu adegan yang sangat mengganggu saya dalam The Boy and the Heron (Bocah Lelaki dan Cangak). Mahito kabur dari sekolah lalu menyakiti diri sendiri dengan membenturkan batu ke kepalanya sampai bocor. Saya bertanya-tanya alasan Hayao Miyazaki menampilkan adegan sadis itu. Namun, bukankah sinema Miyazaki tidak pernah tidak mengganggu? Dalam Spirited Away, misalnya. Tragedi mencengangkan terjadi tatkala orang tua Chihiro yang tamak tiba-tiba berubah menjadi babi setelah dengan sangat rakus mengganyang sajian makan di suatu kedai alam gaib.
Setelah insiden berdarah itu, dengan tubuh terbaring di atas tatami dan kepala dibebat kain kasa, Mahito demam (barangkali karena infeksi) lalu mengigau (mengeluarkan kesakitan dan kesedihan). Apakah anak itu mengalami delirium?
Kejadian melukai diri dengan batu itu rupanya menjadi batas antara jagat nyata dan fantasi (atau halusinasi?) Mahito. Cedera di kepala mengubah dunianya. Seekor cangak mulai berbicara dengannya. Burung yang selama ini hanya muncul dan mengganggu, kini bisa bicara dan mengajak Mahito ke menara misterius untuk menemui mendiang ibunya.
Batu tampaknya menjadi unsur yang signifikan dalam film ini. Tak cukup menjadi pembuka gerbang dimensi baru, elemen tersebut kembali muncul dalam petualangan Mahito di menara. Bangunan itu mulanya merupakan sisa benda ekstraterestrial yang jatuh dan kemudian dibangun ulang. Namun, upaya konstruksi tersebut urung lantaran fondasinya runtuh. Lalu, batu hadir lagi di selasar dalam menara. Susunan batu tersebut menyambut Mahito dengan ketus dan tampak menghalangi Mahito hingga mencegah bocah itu kembali ke alamnya.
Batu berikutnya muncul dalam bentuk patung kecil menyerupai sosok Kiriko, pelayan perempuan tua yang mengiringi si bocah ke menara. Di saat bersamaan, Kiriko menjelma seorang pemuda penolong. Mahito juga menemukan patung batu serupa jimat mengelilingi tubuhnya yang terbaring di atas tatami ketika ia baru siuman. “Jangan ganggu batu itu,” pesan Kiriko muda pada Mahito.
Batu melayang muncul pula sebagai manifestasi dari pusat kekuatan dunia fantasi. Di saat itu, Mahito bertemu paman buyut yang bertugas menjaga batu melayang. Ia meminta Mahito untuk menciptakan tatanan dunia baru. Kestabilan diwujudkan dengan cara menyusun balok-balok batu. Mahito menolak sebab merasa tak sanggup dan tak layak. Raja parkit merebut balok-balok batu, berupaya membuat dunia baru, tetapi gagal dan dunia pun mulai runtuh dan hancur. Mahito eksodus kembali ke dunianya dengan membawa pulang patung batu jimat dalam genggaman.
Ada yang menyebut karya ini, yang disebut-sebut sebagai karya terakhir Miyazaki, sebagai surat cintanya pada film animasi. Ia berkali-kali mendeklarasikan pensiun, tetapi nyatanya ia kembali lagi. Sebuah perjalanan kembali yang senantiasa disambut gemuruh tepuk tangan. Film ini dianggap sebagai wasiat Miyazaki kepada penerusnya. Sebagaimana paman buyut meminta Mahito membangun dunia baru. Apakah sang penerus sanggup menciptakan sesuatu yang baru bagi Studio Ghibli?
Ghibli, yang memiliki arti “angin panas yang berembus di Sahara”, punya makna mendalam. Studio kecil ini diimpikan pendirinya bakal meniupkan angin pembaruan bagi jagat animasi. Ghibli dalam bahasa Jepang dieja ji-bri, berakar dari kata bahasa Arab, qibly, yang berarti “kiblat”. Sesuai akarnya, Ghibli telah menjadi arah sinema dunia yang patut diperhitungkan.
Apa yang membuat studio ini masyhur barangkali adalah visi pendirinya. Hayao Miyazaki dan Isao Takahata punya pandangan yang meresapi setiap karya Studio Ghibli. Kendati demikian, apabila dibandingkan, karya Miyazaki memiliki kesatuan gaya dan visi personal yang konsisten dibanding Takahata. Film karya Takahata periode awal meletakkan semestanya ke panggung realis macam Grave of the Fireflies (1988) dan Only Yesterday (1991), sementara filmnya yang belakangan cenderung semakin fantasi seperti Pom Poko (1994) dan The Tale of Princess Kaguya (2013). Bandingkan dengan karya Miyazaki yang secara berkesinambungan mengangkat kisah dengan bingkai dunia fantasi yang kuat dan sarat metafora.
Miyazaki tampak demikian keras dalam bekerja. Di sebuah film dokumenter produksi NHK World Japan tahun 2016, dia berkata, “Kau harus melakukan sampai mimisan.” Pernyataan tersebut muncul saat pak tua itu berseteru dengan anaknya, Goro Miyazaki. Putranya itu ia anggap buruk dalam berkarya. “Goro semestinya memiliki visi dan pandangan yang jernih.” Akan tetapi sang anak bersikukuh, “Aku tidak ingin melakukan apa yang selalu dia katakan.”
Relasi buruk ayah-anak tersebut membuat atmosfer studio memanas sampai Toshio Suzuki, seorang rekan senior yang dihormati, harus turun tangan menjembatani perbedaan pandangan Miyazaki dan putranya. Sang ayah dalam solilokuinya sadar dan mengaku, “Karena pekerjaan, aku tidak banyak meluangkan waktu untuk Goro.”
Kultur kerja keras memang telah menjadi ciri orang Jepang. Karakter itu pula yang merasuk ke dalam roh kerja Studio Ghibli. Ketika rumah produksi memasuki era digital dan menganut animasi 3D canggih, Studio Ghibli tetap bertahan dengan animasi 2D yang terkesan kuno. Namun, teknik frame by frame 2D memungkinkan gerak animasi digambarkan dengan detail dan presisi. Semua gambar kudu dibuat manual satu demi satu oleh tangan para kreator. Dengan teknik macam itu, Studio Ghibli hanya sanggup membuat film berdurasi 1 menit setiap bulannya dan selama setahun, rumah produksi tersebut cuma menghasilkan film animasi berdurasi 12 menit.
Bagi rumah produksi animasi lain, barangkali hal tersebut dianggap buang-buang waktu. Namun di sinilah rahasia karya Miyazaki. Saat animasi lain dimulai dengan skenario, film gubahan Miyazaki selalu dimulai dengan gambar-gambar yang disebutnya “untuk menguji batas imajinasi”. Bahkan dengan harapan dapat menemukan adegan yang belum pernah terbayangkan. Ia berupaya menemukan banyak kemungkinan lain. “Aku tidak bisa hanya duduk di mejaku. Ide-ide datang dari hal-hal tak terduga,” kata dia. Ia memulai aktivitas kerja paginya dengan menyapa “penghuni” yang ada di sekitar studio. Saya membayangkan pak tua itu menyapa makhluk lucu serupa kodama dan wara wara yang memberikan energi.
Menurut Miyazaki, bakat memudar karena digunakan hari demi hari. Mencari inspirasi adalah segalanya. Sebab itu pula ia menjadikan area dalam radius 3 kilometer di dalam hidupnya sebagai dasar inspirasi. Setelah sekian lama mencari gambaran karakter untuk filmnya, ia menjadikan seorang anak stafnya yang sering main ke studio sebagai model tokoh yang kelak dikenal sebagai Ponyo. Ia percaya, adalah takdir jika film harus dibuat dengan cara tertentu.
Miyazaki memegang prinsip bahwa ia ingin membuat film yang tidak akan membuatnya malu. Ketika berkutat dengan film yang tak kunjung rampung, ia sampai merasa seperti Sisifus. Dalam kesuksesan film-film dia, orang-orang justru bertanya, kenapa tidak membuat seperti Totoro? Tapi ia sudah membuat Totoro. “Karya kita harus menjadi jawaban kita untuk perubahan era ini,” kata dia.
Miyazaki barangkali tengah melakoni dirinya sebagai Sisifus dalam jagat animasi. Ia mungkin akan mengatakan ini karya terakhirnya dan ia bakal pensiun. Tapi, sebagaimana Sisifus, batunya tak akan bertahan lama di atas. Lalu, ketika batu itu menggelinding jatuh, ia harus kembali lagi untuk mendorong. Begitulah ia muncul lagi dengan film baru.
Wendy Fermana Putra adalah penulis prosa dan puisi.
Editor: Asief Abdi