Menu

Mode Gelap
Kawin Silang Ekonomi dan Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

Esai Budaya

Menyemai Madura, Menyiasati Jawa


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Madura merupakan entitas sosial dan kebudayaan yang berbeda dengan Jawa. Perbedaan tersebut niscaya saat kita perbandingkan secara vis a vis. Salah satu penanda perbedaan etnologis keduanya adalah bahasa, yang menjadi batas identitas kolektif Madura dan Jawa. Dua etnis tersebut memiliki historisitas dengan corak dan karakter yang berbeda. Dilihat dari bentang geografis Nusantara secara khusus dan Asia Tenggara secara umum, Madura merupakan rerangkai gugusan pulau-pulau yang berada di antara bentang luasnya perairan Asia Tenggara.

Laut menjadi faktor penentu yang signifikan untuk melihat perkembangan sebuah peradaban. Hal ini dikarenakan sejarah awal kita tidak pernah bisa lepas dari peran perairan sebagai penghubung utama bangsa-bangsa dan kebudayaan di dalamnya. Jika kita sepakat dengan pandangan ini, maka Madura adalah salah satu penyangga bagi berkembangnya peradaban maritim di Asia Tenggara. Studi semacam ini—bagaimana perairan berperan begitu penting atas terjadinya kontak kebudayaan dari berbagai suku bangsa—sudah banyak dilakukan, seperti Fernand Braudel di Mediterania dan Heather Sutherland di Asia Tenggara.  Air (laut) menjadi faktor penentu dalam perkembangan sejarah Asia Tenggara (Sutherland, 2007:28).

Sebagai bagian dari gugusan pulau di Nusantara yang identik dengan peradaban maritim, Madura memiliki kurang lebih 30 jenis perahu cadik. Informasi ini penulis dapatkan dari Kadarisman Sastrodiwirdjo dalam sebuah kesempatan bedah buku Demadurologi di Pamekasan. Ia mengatakan bahwa “DNA orang Madura adalah maritim. Bukan dalam artian nelayan, melainkan pelaut.” Dalam catatan Petrik Matanasi Pelaut Madura dalam Sejarah Indonesia yang terbit di historia.id, “Kemampuan orang-orang Madura dalam melaut tidak diragukan lagi. Mereka berlayar ke berbagai tempat, terutama ke sekitar laut Jawa dan selat Makassar.” Ia juga mengutip Theodora Benson, bahwa orang Madura ada di urutan kedua dalam bidang pelayaran setelah orang Bugis-Makassar.

Lekatnya Madura dengan budaya maritim bisa kita lihat melalui peribahasa “Abhântal ombâ’, asapo’ angin” (berbantal ombak dan berselimut angin), yang kemudian menjadi lirik dalam lagu Tanduk Majeng. Dalam salah satu transkrip wawancara Abdul Hadi Wachid B.S. dengan D. Zawawi Imron, disebutkan bahwa kondisi alam sangat mempengaruhi proses kreatifnya dalam menulis puisi. Melalui cerita-cerita mendiang kakeknya yang sering berlayar ke pulau Jawa  hingga Banjarmasin, memantik sentimentalitas Zawawi kecil terhadap kondisi alam di sekitarnya. “Di tengah laut, saya menemukan keluasan seluas-luasnya, ada gairah hidup yang benar hidup dari laut” (Imron, 2022: 170). Dari sini kita menemukan benang merah.  Bahwa relasi geografis perairan mempengaruhi sikap dan pandangan seseorang terhadap dunia. Selain itu, sifat sentimental kolektif orang Madura terhadap laut dapat dijumpai pada lagu Tanduk Majeng. Saya berpendapat bahwa kontak peradaban melalui jalur laut ini terjadi secara egaliter sehingga memungkinkan terciptanya hubungan yang inklusif.

Pasca politik perdagangan dimonopoli oleh V.O.C (Vereenigde Oostindische Compagnie), perlahan cara pandang kita beralih pada pemusatan peradaban di daratan (agrarisasi). Di sinilah letak persoalannya. Perspektif “geografis perairan” yang lebih kosmopolit digeser oleh perspektif daratan yang cenderung tertutup. Bangkrutnya V.O.C pada tahun 1799 dan transformasi menjadi Negara Hindia-Belanda pada tahun 1800, mengubah secara drastis bentuk peradaban maritim ke agraris. Penanda paling kentara dari pergeseran ini adalah pembangunan infrastruktur transportasi di daratan yang begitu masif.

Rudolf Mrazek dalam bukunya Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006) menulis bahwa transportasi kereta api dibangun pertama kali melalui dekrit yang dikeluarkan oleh Raja Willem I pada tahun 1842 di wilayah Vorstenlanden di Jawa. Transportasi ini sangat berbeda apabila dibandingkan dengan transportasi masyarakat Jawa pada umumnya yang hanya mengandalkan kereta kuda di waktu itu. Tiga puluh lima tahun setelah dekrit itu terbit, terbangunlah transportasi kereta api di sebagian besar daratan Jawa. Kesuksesan pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan kota-kota besar di Pulau Jawa menjadi pemantik kesadaran akan bentuk modernitas awal di Hindia-Belanda, khususnya Jawa. Kemenangan paling mengagumkan oleh manusia atas waktu dan jarak, insentif paling kuat untuk bekerja keras, pertukaran nilai-nilai, dan peradaban (Mrazek, 2006:11). Sebuah modernitas yang membuat Kartini—gadis Jepara dari keluarga bangsawan—berdecak kagum. Jalan-jalan baru di seluruh Jawa dan di seluruh jajahan, bagi Kartini, haruslah terbuat dari kemajuan. Di Madura, jalur kereta api dibangun secara perlahan sejak tahun 1898 hingga 1901. Meski fungsi awalnya hanya sebagai kendaraan untuk mengangkut garam.

Pesatnya pembangunan transportasi dan gedung-gedung pusat pemerintahan di era kolonial, menjadikan Jawa sebagai pusat dari peradaban modern. Kita tahu bahwa industri utama penyokong surplus kapital di masa kolonial adalah perkebunan dengan berbagai komoditas lainnya, seperti tebu, kopi, karet, teh, dan  tembakau. Dalam kebutuhan surplus kapital itulah, Belanda mendirikan perkebunan di daerah-daerah koloninya. Wilayah Madura yang memiliki struktur ekologis berbeda diperlakukan sama, kecuali komoditas garam yang membentang di daerah kawasan pantai selatan. Dari sini bisa dilihat bahwa pembangunan di masa kolonial berbasis pada agrarisasi wilayah. Administrasi, tata kelola birokrasi pemerintahan, dan pertumbuhan pembangunan di Jawa yang dibentuk oleh kolonialisme Belanda kemudian membentuk ketergantungan wilayah-wilayah non-Jawa terhadap Jawa.

 

Agrarisasi Madura

Agrarisasi Madura adalah ejawantah kolonialisasi di Madura. Ia mengubah bentuk hubungan manusia Madura dengan alamnya, yang kemudian berdampak pada pergeseran cara pandang terhadap kebudayaan di dalamnya. Baik cara pandang orang Madura terhadap dirinya sendiri dan/atau cara pandang orang luar—outsider— terhadap orang-orang Madura.

Dalam sebuah penelitian sejarah yang ditulis oleh Kuntowijoyo Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940 (2017), perbedaan Madura dan Jawa dapat dilihat dari sudut pandang ecohistorical. Secara sederhana, bentuk sistem sosial didasarkan pada kontur ekologis. Madura didominasi oleh bentuk-bentuk ekologi tegalan, sementara Jawa terbentuk dari bentang alam yang berbeda. Kuntowijoyo setengah hati menghadirkan Madura sebagai subjek sejarah yang utuh, an sich. Dia melihat Madura dengan kacamata Jawa yang superior. Pandangan Kuntowijoyo itu ditanggapi melalui buku Demadurologi: Manusia Madura, Kemewaktuan, dan Memori (2023) sebagai sanggahan atas pandangan bias terhadap Madura yang disebut-sebut tidak memiliki kebudayaan dan miskin sejarah.

Letak kekeliruan pertama Kuntowijoyo adalah, ia tidak menghadirkan diskursus ekonomi-politik dalam pengarusutamaan sejarah yang ia tulis. Ketergantungan Madura terhadap Jawa merupakan akibat dari penetrasi kolonial Belanda, yakni dengan menjadikan Jawa sebagai pusat dari peradaban modern. Di sisi lain, penetrasi tersebut mengakibatkan munculnya kemiskinan yang dialami oleh orang-orang Madura. Sehingga relasi keduanya tidak berada dalam hubungan yang sejajar, melainkan hirarkis dan menyiratkan relasi superior dan inferior. Kesalahan Kuntowijoyo selanjutnya adalah, ia tidak menghadirkan peran perairan sebagai faktor penting dalam proses pembentukan peradaban di Madura pada lingkup khusus dan Jawa pada cakupan yang lebih luas. M. Faizi dalam artikelnya yang terbit di alif.id berjudul Sarung, Madura, dan Inferioritas  (Faizi, 2018) menuliskan konstruksi citra diri orang Madura yang dipandang sebagai objek inferior. Salah satunya lantaran kelekatan orang-orang Madura dengan sarung sebagai pakaian sehari-hari. Sekali lagi, ini merupakan cara pandang orang-orang luar yang mencerminkan perspektif kemodernan. Mengutip pandangan Sindhunata dalam artikel yang berjudul Malangnya Orang Madura dan dan Teganya Orang Jawa, Faizi melihat peran politik etnologi Belanda yang menempatkan Madura dan masyarakatnya sebagai subjek inferior. Ia temukan hal tersebut melalui penggunaan istilah ‘toron’ (turun) bagi perantau, terutama di Jawa, yang pulang kampung ke Madura. Sebaliknya, apabila seseorang hendak pergi ke Jawa istilah yang digunakan adalah ‘ongghâ’ (naik). Dua istilah tersebut menyiratkan bahwa Madura secara sosial dan budaya berada di bawah Jawa. Yang juga berarti, Jawa dianggap sebagai daerah dengan peradaban yang lebih tinggi. Hal seperti itu tetap berlangsung dalam wajah pembangunan saat ini.

 

Mengenali kembali Madura

Kolonialisasi yang panjang disertai perombakan struktur sosial, ekonomi, dan lingkungan membuat orang Madura tercerabut dari akar budayanya sebagai penopang kebudayaan maritim. Setidaknya hal itu bisa kita tandai melalui dua hal utama, yakni agrarisasi dan urbanisasi. Setelah agrarisasi yang dibangun kolonial Belanda, muncul urbanisasi sebagai tanda baru dalam mobilisasi kebudayaan dan perekonomian. Jamaknya, urbanisasi ini diartikan sebagai perpindahan penduduk dari daerah periferal ke pusat-pusat perkotaan. Misalnya, fenomena merantau bagi masyarakat Madura. Hal ini dilakukan untuk mengatasi keterbatasan lahan produksi yang tidak mampu menopang kebutuhan sehari-hari penduduk di Madura.

Kita bisa mengemukaan pendapat bahwa fenomena merantau ini pada mulanya terjadi setelah agrarisasi yang dilakukan oleh kolonial Belanda pada abad ke 19. Perpindahan penduduk Madura yang dulunya bekerja sebagai buruh di perkebunan Belanda, pada akhirnya menetap dan membentuk komunitas-komunitas kecil di daerah-daerah tempat mereka tinggal. Seperti di Kabupaten Malang, Lumajang, Probolinggo, hingga Banyuwangi.

Dengan adanya jembatan Suramadu (Surabaya-Madura), mobilitas urban tidak hanya bisa ditandai dengan perpindahan orang-orang Madura ke perkotaan. Sebaliknya, perpindahan dari perkotaan ke daerah-daerah di Madura juga terjadi, meski dengan intensitas yang berbeda. “Hadirnya Suramadu tentu saja membawa dampak terhadap perubahan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Madura” (Syamsuddin, 2019, p. 251). Suramadu adalah proyek urbanisasi untuk memperluas cakupan kota Surabaya ke Madura. Jembatan ini merupakan penanda eksploitasi tingkat lanjut untuk menopang ekspansi kapital berbasis industri. Kita belum memiliki bayangan bentuk kemajuan seperti apa yang diharapkan bagi orang Madura. Dengan begitu, jembatan Suramadu seolah-olah hanya dibangun untuk menopang kebutuhan orang-orang perkotaan di Jawa.

Upaya menjumpai Madura dapat dilakukan melalui pandangan kolektif orang-orang Madura atas dunianya. Juga pandangan historis yang dikemukakan oleh seseorang yang dianggap mewakili sejarah kolektif di masa lalu. Tidak seperti peristiwa carok yang kerap dijadikan alasan bagi orang-orang luar untuk mengatakan bahwa orang Madura itu primitif. Seringkali, istilah “carok” digunakan secara seragam pada setiap peristiwa kekerasan atau pembunuhan. Padahal, tidak semua perilaku penyerangan menggunakan senjata tajam adalah carok. Stereotipe itu dibayangkan sebagai sebuah ketetapan yang melekat pada orang Madura. Sedangkan identitas tidak bisa kita bayangkan sebagai entitas yang absolut.

Seorang budayawan Madura asal Bangkalan, Hidrocin Sabarudin berpendapat dalam wawancaranya di TV One (22/01/2024) “Di masa sekarang, carok itu sudah tidak ada. Sudah hilang. Kalau dulu, di masa-masa abad ke 18 bahkan jauh ke belakang, abad 16, carok merupakan penyelesaian akhir di mana itu akan mengikat pada (persoalan) harga diri.” Menariknya, dia berpendapat bahwa carok itu bukan tradisi. Sebab semestinya, suatu barang dapat dikatakan tradisi apabila mengandung—secara intrinsik—kebaikan bagi masyarakat. Menurutnya pula istilah carok itu berasal dari bahasa Kawi yakni caruk yang berarti perkelahian. Sedangkan di sisi lain, carok dapat dilihat sebagai bagian dari kontrak tak tertulis manusia Madura dan Tanahnya (Maulana, 2020). Duel carok bisa terjadi sebab tiga hal, yakni perempuan, warisan, dan/atau tanah (2020; 164). Ketiganya menjadi simbol dari harga diri manusia Madura. Mengambil alih paksa tanah orang, baik melalui pengakuan sepihak ataupun melalui cara-cara ilegal lainnya, dianggap menghina dan mempermainkan harga diri orang lain bagi kebanyakan masyarakat Madura. Dari kedua pendapat tersebut, kita menemukan satu fakta sosiologis yang menarik bahwa harga diri, bagi manusia Madura, menjadi hal yang utama dalam kehidupan bermasyarakat.

 

Daftar Bacaan

Anam, S. (2023). Demadurologi: Manusia Madura, Kemewaktuan, dan Memori. Malang: Mori.

Faizi, M. (2018, Juni 22). Sarung, Madura, dan Inferioritas. Retrieved from alif.id: https://alif.id/read/m-faizi/sarung-madura-dan-inferioritas-b210277p/

Imron, D. Z. (2022). Bantalku Ombak Selimutku Angin. Yogyakarta: DIVA Press.

Kuntowijoyo. (2017). Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940. Yogyakarta: IRCiSoD.

Matanasi, P. (2024, Februari 06). Pelaut Madura dalam Sejarah Indonesia. Retrieved from Historia.id: https://historia.id/militer/articles/pelaut-madura-dalam-sejarah-indonesia-6jXZm

Maulana, R. C. (2020). Manusia Madura dan Tanahnya. In A. D. Subairi, A. Murtadho, A. A. Wardana, B. Sujibto, B. Arifin, I. Dzulkarnain, . . . R. C. Maulana, Rebutan Lahan di Pesisir Pantai Sumenep: Refleksi dan Kritik (pp. 163-176). Yogyakarta: Cantrik Pustaka.

Mrazek, R. (2006). Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sutherland, H. (2007). Geography as destiny? the role of water in Shoutheast Asian History. In P. Boomgaard, H. Sutherland, S. Pannell, M. Osseweijer, J. F. Warren, G. Bankoff, . . . Anton Lucas and Arief W. Djati, a world of water: Rain, rivers and seas in Southeast Asian Histories (pp. 27-70). Leiden: KITLV Press.

Syamsuddin, M. (2019). History Of Madura : Sejarah, Budaya, dan Ajaran Luhur Masyarakat Madura. Araska: Yogyakarta.

 

Syaiful Anam adalah penulis buku Demadurologi: Manusia Madura, Kemewaktuan, dan Memori.

 

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Kawin Silang Ekonomi dan Politik

4 Oktober 2025 - 13:00 WIB

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka
Banyak dibaca di Esai Budaya