Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Kritik Seni

“Persetubuhan Kunthi”, Persetubuhan Estetis (Bagian 1)


					Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Pornografi dan erotika/erotisme, dua istilah yang membusurkan maknanya, masing-masing ke titik tuju yang berbeda itu, selama ini tampaknya kerap disalahpahami. Keduanya, bahkan sering dipertukarkan maknanya satu terhadap yang lain, sedemikian rupa, sehingga seakan-akan sama belaka. Ini barangkali terjadi lantaran keduanya, memang, bagaikan dua lingkaran yang masing-masing sebagian lengkungnya saling beririsan pada wilayah yang sama, yakni “seksualitas”. Kendati demikian, ada jurang yang lebar memisahkan keduanya, sesungguhnya. Bahwa terdapat satu elemen vital pada “yang kedua” (erotisme), yang itu tak dimiliki oleh “yang pertama” (pornografi). 

Dalam menjelajahi tapal batas antara “pornografi” dan “erotika”, kita seolah memasuki sebuah ruang di mana sensualitas dan estetika saling bertarung. Keduanya berbicara tentang tubuh dan hasrat, tetapi sejatinya, dengan nuansa yang sangat bertolak belakang. Pornografi, galib dipahami sebagai representasi yang eksplisit dan komersial dari aktivitas seksual. Ia cenderung menampilkan tubuh manusia sebagai objek. Ia terjebak dalam narasi yang mengedepankan kepuasan instan dan jasadi. Hasrat diolah menjadi konsumsi, sebuah produk yang mudah dijangkau dan diakses, namun hilang kedalaman maknanya. Kedalaman makna ini, dalam sebuah teks pornografi—juga dalam medium selainnya—hilang sebab, jika kita bertaklid pada Sara Mills, tubuh difragmentasi, dipenggal-penggal hanya pada bagian-bagian yang dipandang mengundang kenikmatan visual, dan itu artinya, tubuh didepersonalisasi dan diobjektikasi, sehingga karenanya, ia sekaligus juga direduksi—sebuah praktik yang jamak kita saksikan misalnya dalam film-film porno, di mana bagian tubuh pemain (terutama perempuan) disorot dengan sangat detail dan dalam pose-pose yang provokatif secara seksual, dengan lensa yang berfokus pada karakteristik seksual mereka, katakanlah: garis bibir tebal dan sensual, sepasang payudara nan mengkal, atau betis mulus sebening porselen. Singkatnya, pornografi tidak memberikan ruang untuk eksplorasi emosi yang lebih kompleks, lantaran ia terjebak dalam pengulangan dan klise monoton. 

Sementara itu, di kutub seberang, erotika bekerja dengan cara yang sama sekali berbeda. Ia berfungsi sebagai sebuah bentuk ekspresi yang lebih halus dan mendalam. Ia tidak sekadar menggambarkan tindakan seksual, tetapi mengeksplorasi nuansa perasaan, keintiman, dan hubungan antarmanusia. Dalam erotika, terdapat dorongan untuk merayakan keindahan tubuh dan hasrat dengan cara yang lebih puitis. Di sini, seksualitas diperlakukan sebagai bagian dari pengalaman manusia yang lebih luas, menghubungkan individu dengan dunia emosi dan imajinasi yang kaya. Yang diproduksi dan diimplikasikan oleh erotika, sehingga membedakannya dari pornografi, walhasil bukanlah “penis yang ereksi”, melainkan—sebagaimana kata Picasso—”mata yang ereksi” (l’œil en erection).

Perbedaan mendasar antara “pornografi” dan “erotika” barangkali terletak pada bagaimana “seksualitas” dipandang dan didekati. Bahwa pornografi seringkali eksploitatif. Ia menyajikan tubuh tanpa konteks. Sementara erotika, berusaha menciptakan hubungan yang lebih intim dan sublim, mengundang seseorang yang menikmatinya untuk merenungkan keinginan dan kerentanan, atau apa pun yang melampaui persentuhan fisik. Dalam erotika, keindahan terletak pada ketidakpastian dan kerumitan perasaan, sedangkan dalam pornografi, keindahan dibanjiri oleh kejelasan yang banal. Erotika, karenanya, tak melemparkan lembing orientasi ke arah reproduksi. Oktavio Paz, dalam sebuah esainya mengatakan bahwa erotisme berbeda dari sekadar seksualitas. Jika tindakan seks selalu mengatakan hal yang sama, yakni reproduksi, erotisme justru mengalihkan atau menyangkalnya. Dengan demikian, erotisme menggagalkan tujuan fungsi seksual yang justru menjadi orientasi daripada “pornografi”. Apabila dalam seksualitas—dalam arti “pornografi”—kesenangan melayani prokreasi, dalam ritual erotis, kesenangan malah merupakan tujuan itu sendiri. Erotisme, walhasil, meletakkan tujuan fungsi seksual tersebut di tengah apitan sepasang tanda kurung [1].

Gayung bersambut dengan pandangan Paz di atas, Goenawan Mohamad—dalam pandangannya yang memisah antara “pornografi” dan “erotisme”, penyair uzur itu tampaknya memang menyitir gagasan Paz—mengatakan bahwa yang ditangkap oleh pornografi adalah momen biologis dari seksualitas. Ia berfokus pada organ tubuh secara detail (khususnya alat kelamin). Oleh karenanya, pornografi cenderung statis. Sebaliknya, erotika berada di lajur gerak nan dinamis. Ia bukan sekadar menyoal momen persetubuhan. Erotisme, juga tak membangun suasananya tersentral pada organ genital. Sementara itu, pornografi menggambarkan tubuh yang beku, objek, dan mekanistik, jauh berbeda dengan erotisme yang meletakkan tubuh sebagai bagian dari kehidupan dan kejadian. Di dalam erotisme, gerak mengambil alih detail dan organ pun hilang. Yang lahir, katanya, adalah kesan.

Oleh sebab itu, dapatlah kita katakan bahwa erotika, akhirnya memang bukan sekadar menyoal seks. Ia adalah sebuah seni yang menghargai kehalusan, menggugah intuisi, dan merangsang imajinasi. Dalam konteks ini, kita bisa memahami bahwa erotika menawarkan sebuah ruang bagi pencarian makna di balik hasrat, sementara pornografi sering kali terjebak dalam pengulangan yang tak berujung. Dengan demikian, perbedaan antara pornografi dan erotika bukan hanya terletak pada bentuk atau konten, tetapi lebih pada bagaimana masing-masing dari keduanya merespons keinginan dan pengalaman manusia. 

Dalam dunia yang semakin terfragmentasi ini, penting bagi kita untuk mampu membedakan antara keduanya, menghargai erotika sebagai seni yang menggugah, dan memahami pornografi sebagai fenomena budaya yang kehilangan makna. Kegagalan kita dalam membaca, memaknai, dan lalu menerakan garis pisah tegas antara pornografi dan erotisme, akhirnya menghasilkan konsekuensi yang fatal, sesungguhnya. Kefatalan itu, acap juga kita temui dalam pembacaan terhadap karya sastra yang mengandung unsur erotika, atau, menggunakan erotika sebagai piranti artistik dan muatan estetiknya. Erotika, sering dipersamakan sebagai semata-mata perkara “seksualitas” ketimbang sebuah seni erotis (ars erotica). Kajian terhadap erotika dalam karya sastra, dengan demikian, kerap tenggelam jauh ke lubuk sebuah discourse, ke dasar samudera wacana, katakanlah wacana seksualitas dengan berbagai cecabangannya, semisal relasi kesetaraan gender, atau, lebih parah lagi, ia tersuruk dalam stereotipe, sehingga acap dilabeli fiksi murahan, yang derajatnya disejajarkan dengan “teks-teks pornografi”. Anda dapat menemukan contoh-contoh sedemikian rupa itu dengan berselancar di laman Google Scholar. Baru-baru ini saya bahkan mendapati seorang guru besar di sebuah kampus ternama di Yogyakarta, bahkan dengan enteng dan tanpa tedeng aling-aling menerakan tajuk di sampul buku teoretiknya dengan “Seksologi Sastra”, seakan-akan, tidak ada garis tegah sama sekali yang memisah antara “teks pornografi” dengan “teks sastra” sebagai “ars erotica”. Puisi yang akan menjadi objek formal dan material dalam kajian ini pun, ironisnya, juga saya dapati kerap dibaca dengan cara yang sama menyebalkannya.

Sebelum beranjak pada pembahasan, saya kiranya penting juga untuk menegaskan, bahwa mendudukkan puisi sebagai “wacana” atau “diskursus” tentu saja bukanlah suatu hal yang keliru [2]. Kita, misalnya bisa melandaskan bagaimana puisi jugalah sebuah discourse pada gagasan Antony Easthope (2003). Dalam risalahnya, Easthope menyodorkan pandangan bahwa puisi dapat diposisikan sebagai wacana, terutama karena puisi dibangun oleh baris-baris yang terhubung dalam sebuah relasi kohesif, mempertautkan bagian satu dengan yang lain, sehingga ia membangun semestanya sendiri, semesta wacana. Easthope  mencontohkan, dalam sebuah soneta, di mana bait pertamanya disusun oleh empat satuan kalimat, ke-kohesif-an antara masing-masing satuan kalimat itu membentuk sebuah “wacana” yang dalam konteks puisi, disebutnya sebagai “wacana puitis”. 

Wacana, walhasil, adalah istilah yang menentukan cara kalimat-kalimat membentuk susunan yang berurutan, dan mengambil bagian dalam keseluruhan yang homogen dan juga heterogen. Sebagaimana halnya kalimat-kalimat yang bergabung bersama dalam wacana membentuk sebuah teks, demikian pula teks-teks itu sendiri bergabung dengan teks-teks lain dalam wacana yang lebih besar [3]. Puisi, sebagai sebuah diskursus atau wacana, kurang lebih pun demikian. Itulah mengapa, misalnya, sebuah ancangan pembacaan naratologi Sara Mills dalam Stilistika Feminisnya pun, di mana salah satu scope analisisnya bergerak di tataran discourse bahkan dapat kita pergunakan untuk menyigi teks puisi. Bahkan, bila pun kita tahu, naratologi galibnya digunakan untuk menyigi sebuah prosa. Legitimasi teoretiknya jelas, yakni apa yang sedikit sudah saya jabarkan dengan mengutip pandangan Easthope di atas. 

Lantas, “Di manakah posisi seorang kritikus ketika menyigi sebuah puisi? Di tataran bahasakah? Atau wacana?”.

Terhadap pertanyaan tersebut, Eliot (1950) menyodorkan sebuah jawaban yang saya kira dapat kita pakai sebagai acuan. Kritik terhadap puisi, katanya, bergerak di antara dua kutub ekstrem. Di satu sisi, kritikus mungkin menyibukkan diri dengan implikasi sebuah puisi, atau implikasi karya seorang penyair terhadap moral, sosial, agama, atau lainnya, sehingga puisi tersebut hampir tidak lebih dari sebuah wacana. Di sisi lain, ia mungkin terlalu berpegang teguh pada “puisi” itu sendiri, sehingga mengesampingkan apa yang disampaikan oleh si penyair. Walhasil, dengan begitu, ia mengevakuasi puisi dari segala makna potensial yang diimplikasikannya [4]. Di tengah-tengah kedua kutub ekstrem itulah, kira-kira, seorang kritus memosisikan dirinya sewaktu mengkaji sebuah teks puisi. Ia berada di titik diametral antara puisi yang bergerak di tataran bahasa sekaligus sebagai wacana.

Amatan ini, secara khusus akan menyigi bagaimana erotika diekspresikan dalam satu sajak karya Goenawan Mohamad yang berjudul “Persetubuhan Kunthi”. Saya akan menyisir “Persetubuhan Kunthi” melalui dua kanal, yakni bahasa dan wacana. Pada tataran bahasa saya akan coba masuk ke dalam teks untuk mengurai bagaimana “persetubuhan” ditampilkan oleh penyair—melalui bahasa—bukan sebagai “seksualitas” dalam arti “pornografi” melainkan “erotika” dalam arti “seni puisi”. Sementara pada tataran wacana, berangkat dari penyigian di tataran bahasa itu, saya akan berusaha untuk mendedah makna-makna yang mungkin diimplikasikannya. Namun, demi kenyamanan pembacaan, saya tak akan menceraikan keduanya menjadi subbab berbeda laiknya dalam artikel ilmiah di jurnal-jurnal terindeks prestisius itu. Kedua kanal akan saya susuri dalam satu tarikan napas.

Ada satu pernyataan menarik yang disampaikan oleh Oktavio Paz dalam esainya, The Kingdoms of Pan. Hubungan antara erotisme dan puisi, kata Paz, adalah bahwa erotisme merupakan bahasa tubuh, sementara puisi, ialah erotika bahasa. Keduanya berfungsi sebagai simbol yang saling bertentangan. Bahasa—suara yang membawa makna, jejak material yang menunjukkan hal-hal immaterial—mampu memberi nama pada sesuatu yang paling cepat berlalu dan hilang, yakni sensasi. Sementara itu, erotisme juga bukan sekadar seksualitas binatangiyah. Ia adalah upacara. Juga representasi. Di antara keduanya, imajinasilah yang menjadi sebuah agen yang memprovokasi “tindakan erotis” dan “tindakan puitis”. Dengan imajinasi, seks berubah menjadi ritus, dan bahasa menjelma ritme dan metafora. Jika puisi menciptakan perpaduan antara realitas kontradiktif dan sajak adalah persetubuhan suara, demikian pula, erotika atau erotisme adalah metafora dari seksualitas hewani; seksualitas yang hanya melulu perkara kenikmatan ragawi. Metafora ini menunjuk pada sesuatu yang berada di luar realitas yang menghasilkannya, yang berbeda dengan istilah-istilah yang digunakannya. Dalam erotisme, singkatnya, tertulis sesuatu yang berbeda dari seksualitas secara harfiah [5].

“Persetubuhan Kunthi”sebuah sajak yang berhipogram pada salah satu fragmen kisah epos Mahabharata; berkisah tentang perjumpaan Kunthi dengan Dewa Surya yang berujung pada persetubuhan keduanya—hemat saya, merupakan sebuah sajak yang kiranya dapat menjadi sampel representatif bagaimana “erotika”—sebagaimana dijelaskan Paz—merupakan sebuah “metafora” sehingga membuat seksualitas tidak tampil sebagai pertunjukkan aktivitas seksual secara telanjang. Berikut saya kutipkan “Persetubuhan Kunthi” secara utuh.

 

Persetubuhan Kunthi

Untuk tarian Sulistyo Tirtokusumo

 

Semakin ke tengah tubuhmu
yang telanjang
dan berenang
pada celah teratai merah

Ketika desau angin berpusar
ikan pun
ikut menggeletar

Dari pinggir yang rapat
membaur ganggang.
Antara lumut lebat
dan tubir batu
ada lempang kayu apu
yang timbul tenggelam
meraih
arus dan buih

Sampai badai dan gempa seperti menempuhmu
dan kau teriakkan
jerit yang merdu itu
sesaat sebelum kulit langit biru
kembali, jadi biru

Engkau dewa? kau bertanya
Engkau matahari?

Laki-laki itu diam sebelum menghilang
ke sebuah asal
yang tak pernah diacuhkan:
sebuah khayal
di ujung hutan
di ornamen embun
yang setengah tersembunyi.

Yang tak pernah kau miliki, Kunthi
tak akan kau miliki.

1996

 

Berkolofon 1996, dengan keterangan tribut bercetak miring di bawah judulnya: —Untuk tarian Sulistyo Tirtokusumo, “Persetubuhan Kunthi” terasa seperti sajak yang menentang judulnya sendiri. Apa yang dirujuk secara tekstual di dalam tubuh teksnya, ketika kita baca, seolah-olah tak merepresentasikan kata yang tertera di dalam judulnya sendiri, yakni Persetubuhan—sebuah kata yang (mestinya) kental dengan seksualitas. Akan tetapi, pada saat serentak, kita juga seakan-akan—meski secara samar belaka—merasakan adanya sugesti-sugesti, simbol-simbol verbal, yang mengacu pada persetubuhan itu sendiri.

Kita agaknya perlu untuk acuh terhadap tribut yang tertera di kaki judul sajak tersebut. Tercetak jelas di sana: —Untuk tarian Sulistyo Tirtokusumo. “Tarian” walhasil menjadi sebuah kata penting untuk membaca sajak ini. Ada semacam upaya memaralelkan “persetubuhan” dengan “tarian”. Tribut itu, sepertinya bukan sekadar keterangan untuk memberi pembaca markah dari hulu manakah sajak tersebut berpangkal. — Untuk tarian Sulistyo Tirtokusumo, yang diterakan di kaki judul itu adalah sebuah “aposisi” yang berfungsi memberi keterangan lebih lanjut tentang frasa di judul sajak, yakni “persetubuhan”. Dengan demikian, secara tak langsung, penyejajaran—penyejajaran yang dimaksud di sini ialah “aposisi” dan bukan “jukstaposisi”—antara persetubuhan dengan tarian di mana yang kedua merupakan aposisi dari yang pertama, menyodori kita makna bahwa persetubuhan, sebagaimana halnya tarian, merupakan bentuk seni yang melibatkan gerak tubuh, ekspresi, dan keindahan visual. Keduanya, lebih dari sekadar aktivitas yang bertujuan trivial, lebih-lebih hanya melibatkan syahwat yang karnal. 

Dengan menerakan “tarian” sebagai “aposisi” di kaki judulnya, penyair sejatinya hendak mengetengahkan satu hal yang menjadi semacam kredo dari puitika erotis-nya, bahwa pengalaman intim digambarkan sebagai tarian yang harmonis alih-alih sekadar persentuhan fisik. Penyair, singkatnya, seolah ingin mempertegas, bahwa seksualitas dalam bingkai pornografi menerungku tubuh sebab di sana, tubuh diobjektikasi, difragmentasi, dan direduksi. Sedangkan seksualitas dalam aras erotisme, sebagaimana sebuah tarian, cenderung memerdekakannya. Itulah mengapa Saras Dewi (2022) menyebut bahwa seseorang yang sedang menari, sejatinya sedang merayakan segala aspek dalam kehidupannya. 

Seorang penari, jelas Dewi, sejatinya sedang menjangkau 0rang lain di sekitarnya ketika ia sedang menari. Ia tak bergerak dalam ruangnya sendiri, tetapi menciptakan relasi dengan audiens. Di situlah perayaan terjadi, betapa pun ia sesungguhnya paradoks, sebab—sebagaimana dijelaskan Dewi—tarian adalah sesuatu yang datang murni dari subjektivitas diri, tetapi pada saat yang bersamaan, tarian itu merupakan sesuatu yang bermakna karena aktivitas itu merupakan peristiwa yang dibagi bersama-sama. Menari, tukas Dewi, adalah tindakan menyentuh rasa keberadaan seseorang [6]. 

 

Senarai Pustaka

[1] Oktavio Paz, The Kingdoms of Pan dalam The Double Flame (Houghton Mifflin Harcourt, 1995)

[2] Ini mungkin bisa diperdebatkan jika kita misalnya menyadari, bahwa puisi kadang—bahkan sering—justru mikraj dari bahasa yang masih bergerak di tataran komunikasi. Sementara wacana, di dalam linguistik, bergerak ke arah yang sebaliknya. ‘Komunikasi’, singkatnya, merupakan efek utama dari ‘Wacana’. Konsekuensi logisnya, kalau kita berpegang pada gagasan konvensional demikian ini, maka jelas saja meletakkan puisi sebagai diskursus atawa wacana adalah ‘kurang tepat’. Sayangnya, menjadikan ‘komunikasi’ sebagai efek utama ‘wacana’ ala bagan Jakobson, sebagai definisi daripada ‘Wacana’ itu sendiri, tampaknya merupakan tindakan yang cenderung gebyah uyah.

[3] Penjelasan lebih terperinci mengenai puisi sebagai discourse dapat diakses dalam Poetry as Discourse karya Anthony Easthope (Routledge, 2003)

[4] T. S. Eliot, The Use of Poetry and The Use of Criticism (Faber & Faber, 1950)

[5] Ibid, hlm, 1-2

[6] Saras Dewi, Tari dan Tubuh Politis dalam Sembahyang Bhuvana: Renungan Filosofis tentang Tubuh, Seni, dan Lingkungan (Tanda Baca, 2022)

 

Yohan Fikri adalah penulis kelahiran Ponorogo. Merampungkan studinya di Universitas Negeri Malang.

 

Editor: Asief Abdi

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Memandang Cinta dari Jauh

3 September 2025 - 16:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni