Menu

Mode Gelap
Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah One Piece, Nika, dan Genderang Pembebasan

Esai Budaya

Ingin pun Aku Tak Punya


					Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Di pucuk bilah panah Orion, Aldebaran bergelora. Bulan lingsir ke utara dari tempat ia nangkring tiga jam yang lalu. Saat itu pukul satu dini hari. Waktu yang pas untuk umat Diogenes berdansa di atas timbunan manusia yang tumpas, tewas, membusuk. The Night of The World, begitu Hegel mengiringi tarian satan. Jadi sekalian saja, mumpung masih terjaga dan arak-arakan Proteus belum sampai pada titik puncaknya; kutepuk pundak salah satu iblis, menarik lengannya, mempersilakannya duduk di ujung kasurku, berbincang dengannya.

“Ada yang salah denganku,” begitu aku berujar salam padanya. 

Iblis satu ini tidak kaget sama sekali, tidak meringis, tidak penasaran, apalagi balik bertanya. Seperti… pasti ada saja yang salah denganku, kalau ada yang wajar dan baik-baik saja itu justru yang dipertanyakan.

Ia diam. 

“Maksudnya apa?” lolos begitu saja kepenatan yang kutumpahkan padanya. “Sylvia Plath, aku baca buku hariannya. Katanya, kalau tanpa disadari tiba-tiba aku, misalnya, menginginkan segalanya, itu juga berarti aku berada di ambang kenyataan kalau aku krisis keinginan. Tak menginginkan apapun. Bahaya, kata Plath ini berbahaya.

“Mestinya terbalik, bukan? Sebagai manusia, aku harus tahu aku mau apa. Aku punya kemauan, dan aku hidup karena ada harapan mewujudkan kemauan itu. It’s written in your heart. Kau pasti sudah dengar lirik lagu Barbie itu, yang selalu kupilih buat karaoke! Kau sendiri bilang suaraku menyebabkan kebisingan lintas alam. Kemauanku, it’s written in my heart

“Lantas, mengapa Plath bilang, justru ini berbahaya. Segala yang kuinginkan, berbahaya. Mana bisa aku hidup menyanggah batu seperti Sisyphus; tak punya keinginan, tak punya tujuan. Putus asa. Pasrah. Lalu beban yang kusanggah menggelinding begitu saja tepat di posisi segala bermula. Mem―”

“Memangnya kamu mau apa?” Iblis satu ini memotong pembicaranku. Ya, aku paham posisinya, mana sempat ia membaca David Hume di kerak neraka yang menggorok leher dan memangkas lidah―justru kalau iblis satu ini punya sopan santun, aku harus mempertanyakannya. 

“Memangnya kamu mau apa?” ia mengulangi. “Siapa bilang Sisyphus tak punya kemauan―keinginan?” ia menambahkan, “Kau kira, kekuatan macam apa yang ia pakai untuk memikul batu hingga puncak gunung sana kalau bukan karena ia punya keinginan?” 

Sekarang aku diam. Lebih tepatnya, aku harus terdengar lebih pintar darinya. 

I doubt. I think, therefore I am

“Aku tak peduli padanya, Sartre,” katanya tiba-tiba, ia tahu dua kalimat tadi muncul begitu saja di kepalaku seperti Kuntilanak di mulut sumur yang menganga. “Atau Camus, atau Plath, Sisyphus, Hegel, Kafka. Ramai amat. Sesak. Kamu.”

“Aku?”

“Ya.”

“Kamu mau apa?”

“Kau tahu apa yang kuinginkan, kau punya kapasitas untuk mengetahuinya.”

Ia diam. Ia mengalihkan pandang, kali ini pada titik runcing daun-daun pandan, pada jendela yang terbuka, mengundang makhluk malam. 

“Kau tak punya keinginan, Putriyana,” ia berkata setelah jeda bising jangkrik bersenggama di waktu padi menguning dan kapuk rekah di pohonnya. “Kamu tak sanggup berkeinginan, Putriyana.”

“Kamu salah,” aku menyangkal, tentu saja. Kalau ia kutarik kemari hanya untuk sebuah pertikaian, ada baiknya ia ikut pawai malam saja. Aku bisa bicara dengan iblis lain. “Setelah beberapa tahun, akhir-akhir ini, keinginanku meledak-ledak. Aku yang biasa menimbang selai blueberry atau stroberi, topping wafer atau bubuk permen selama Thoreau menulis Walden, sekarang aku bisa milih dalam hitungan tiga detik.

“Aku sudah tahu mau masak apa hari ini, besok, seminggu kemudian. Aku langsung tahu apa saja yang mau kubeli di toko, di pasar, di agen, semua. Ini masalahnya, mengapa tiba-tiba gampang sekali bagiku menginginkan sesuatu―memilihnya.”

Sekarang ia berhasil meloloskan pandang dari runcing pucuk pandan, sedari tadi, seakan memanen pucuk-pucuk itu untuk ditusukkannya padaku. Di kedua mataku ia temukan hunian baru, lalu menguasainya.

“Kau tak punya keinginan, Putriyana.”

Aku bungkam. Lebih tepatnya, membungkam mulutku sendiri. Semilir malam menggelitik kelambu tapi tak punya cukup keberanian untuk menyibak rambutnya. Sekarang ia menghadapku, bukan seperti malaikat maut pada jiwa dalam catatan kematiannya, tapi seperti aku menatap aku, aku menghadapi diriku sendiri;

“Kau tak punya keinginan, Putriyana.

“Apa yang bisa kau katakan pada Eyang Mada saat ia bertanya, apa tujuanmu datang ke sini, Ngger (Jw. Sebutan untuk “nak”)? Apa yang kaumau?” 

Aku memang pernah ke petilasan Gajah Mada, di Mojokerto, mencari juru kuncinya, tapi tiba-tiba aku harus membawa sesembahan untuk diperkenankan berbincang dengan Eyang Gajah Mada. Selama lebih dari satu jam setengah aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Pengalaman yang cukup mengerikan, saat juru kunci kerasukan dan bertanya padaku, sontak aku tak memiliki jawaban untuk pertanyaan paling sederhana pun. 

“Kau tergerak membeli sekar telon, mengaduk pasar Dlanggu yang jaraknya ratusan kilo dari petilasan. Dupa yang dihaturkan padamu tak berkepul selincah itu di panggung moksa, hitungan batangannya pun sempurna untuk memanjatkan keinginan. Jadi, Putriyana, kamu mau apa?”

Ia bikin aku gelagapan. “Saat itu segalanya mendadak. Aku tak mau berkhianat pada Allah karena mengutarakan keinginanku pada Eyang Mada,” alasanku ini sangat apa adanya. Memang betul inilah yang kurasakan.

“Meskipun, Eyang Mada mengatakan padamu, akan kusampaikan dan kupanjatkan doa-doa baikmu pada Tuhanmu. Jadi, apa keinginanmu, Ngger?”

Aku tersedak. Batuk kering. Ranjang bergetar.

“Aku meragukannya, saat itu aku masih berpikir kalau bisa jadi itu tipuan, dan aku terlanjur memanjatkan doa, tidak pada Allah, tapi pada Eyang Ma―”

“Meskipun ia menepuk punggungmu,” ah lagi-lagi iblis satu ini memotong, “lalu berbisik padamu, jangan pernah kau merasa di dunia ini kau seorang diri, Allah selalu mengawasimu, Allah bersamamu, dan Ia lebarkan jalan untukmu, kau tidak sendiri. Tak pernah kau dibiarkan sendiri?”

Aku diam. Kali ini tidak ada tambahan “lebih tepatnya”. 

Ia bangkit berdiri, tapi tak terlihat ingin enyah. Ia bangkit berdiri karena ia memutuskan untuk tinggal lebih lama. 

“Di Watugede, juga di petilasan, batang-batang bambu basah karena gemuruh Sungai Brantas. Di gubuk samping pemakaman yang sunyi itu, saat kau menunggu seorang teman yang tersesat di Jalan Candi, Putriyana, saat itu kau juga tak tahu kau ingin apa.

“Dalam hati kaupanjatkan doa, meminta, Allah yang Maha Tahu, segala yang baik, apapun yang baik…lalu pada akhirnya, jiwamu yang kerontang sanggup berkata dengan apa adanya, Ya Allah hamba telah kehilangan daya untuk berkeinginan.

“Lalu air matamu menitik begitu saja, tanpa kausadari mengapa. Mengapa?”

“Mengapa?” aku ulangi leksikon terakhirnya. 

Kami diam. Lama sekali, sampai lengking pipit pertama terdengar, menandakan kala yang tadinya dini, sekarang bergulir pagi. Terpaan angin menggugurkan satu-dua kelopak kembang lidah buaya, mengguncang tangkai kurusnya. Seekor cicak merayap di lubang pot, menghilang dalam gelap. Rasanya, masing-masing dari kami juga menghilang seperti itu dalam gelap. 

“Orang mengakhiri hidup, tepat di saat ia sadar bahwa ia sangat menginginkan kehidupan. Tapi orang merenggut kehidupan darinya. Tidak ada pilihan lain, kau tahu itu? Lalu orang akan menuduhku, orang suka sekali menuduh, Putriyana, padahal bukan aku yang membebankan pajak atas pendapatan per bulan mereka, bukan aku yang mengkhianati cinta mereka, bukan aku yang merusak rumah tangga mereka, bukan aku yang menikung pasangan mereka, bukan aku yang menetapkan biaya seragam dan paket lembar kerja siswa lalu setiap tahun kurikulum dapat berubah segampang orang pilek di Siberia. Bukan aku. 

“Kau tahu sendiri, kan? Barusan aku ikut pawai. Lalu kau menyeretku untuk merana begini?

“Kau sangat menginginkan kehidupan ini, Putriyana, cuma itu yang aku tahu. Meskipun saat ini kau tak sanggup berkeinginan, menurutku, menjalani kehidupan ini saja sudah cukup.”

“Apa yang salah denganku?” 

“Jagung ranum melebihi tinggi badanmu, di jalanan tak beraspal, kaki bersepatu lumpur itu, gemuruh mengaduk perut langit, di suatu desa tak bergapura, seorang anak perempuan menunggu bapaknya. Petang menjelang, bapak tak kunjung pulang, bapak berjanji untuk pulang, bapak bersumpah… bapak bersumpah. Basah, anak itu muntah, dari sana ia dapatkan penyakit pertamanya: serangan panik, sengatan di ulu hati, pukulan di dasar lambung. Bapaknya menghilang, sudah berhari-hari. Bapak pergi, tapi tidak jauh dari jagung ranum―jalanan tak beraspal―desa tanpa gapura. Bapak sembunyi. 

“Suatu ketika bapak muncul, dinaungi sebuah payung, menggendong seorang anak perempuan. Bukan anak perempuan dengan kaki bersepatu lumpur. Anak perempuan bersepatu lumpur lenyap menerabas hujan. Punya keinginan apa anak perempuan ini selain seorang bapak yang menginginkannya?

“Pastilah segala yang kaucapai, yang kaubeli, dan nikmati, semua ini… bukan segala yang benar-benar kauingin. 

“Kalau sudah begini, Putriyana, tentu saja ada yang salah denganmu. Tapi itu bukan berarti kau bersalah.”

 

Putriyana Asmarani adalah penulis cerpen dan esai.

 

Editor: Asief Abdi

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

17 September 2025 - 12:00 WIB

Banyak dibaca di Esai Budaya