Menu

Mode Gelap
Kawin Silang Ekonomi dan Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

Esai Budaya

Bintang Kugalah, Bulan Kudapat


					Foto oleh Asief Abdi /Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Asief Abdi /Sivitas Kothèka

Dua puluh delapan tahun sudah saya hidup di Madura, di antara mitos dan tradisi lokal. Digempur kemajuan era dan globalisasi, tak heran jika karakter orang Madura yang saya temukan kini adalah orang Madura yang jauh dari muasalnya sendiri. Bahkan, saya menemukan keunikan dari perubahan-perubahan itu. 

Sebagaimana jamaknya masyarakat, orang Madura punya pandangan bahwa hidup tetap berputar. Terus aktif agar tetap sintas pun menjadi visi orang Madura dalam mengarungi hari. Hal itulah yang mereka sebut “bekerja keras”, prinsip yang dipegang teguh orang Madura dari dulu sampai sekarang. Akan tetapi, gara-gara cara hidupnya yang gigih, banyak orang luar melabeli suku Madura sebagai sosok yang “keras” dalam konotasi negatif tanpa melihat aturan main yang berlaku di Pulau Garam itu.

Kita tahu manusia butuh banyak hal untuk memenuhi kebutuhan hidup serta menciptakan kebahagiaan bagi diri sendiri dan orang lain. Sebuah upaya sepanjang hayat yang mau tak mau harus dikerjakan, bagaimanapun keadaannya. Lebih-lebih, tanah yang pelit membuat penduduk Madura mesti berusaha ekstra. 

Meski warga Madura ikhlas dalam menjalani hidup, bukan berarti mereka pasrah dan membiarkan diri terombang-ambing dalam gelombang takdir. Bagi mereka, kehidupan di dunia patut diperjuangkan. Laku semacam itu saya temukan dalam doa-doa orang Madura yang kebanyakan isinya: “mandhȃrȃ salameddhȃ neng dhunnya bȃn akhèrat (semoga selamat dunia dan akhirat). 

Walau permohonan itu belum tentu terwujud, orang Madura tak segan menggantungkan harapannya setinggi langit. Kecenderungan tersebut termanifestasi dalam falsafah Madura, ghȃi’ bintang, ghȃgghȃr bulȃn (bintang kugalah, bulan kudapat), yang maknanya yaitu menginginkan sesuatu yang jauh, tapi malah mendapatkan sesuatu yang dekat. 

Dari falsafah itu, orang Madura belajar menerima apa pun hasil akhir dari upaya mereka. Sebab proses lebih penting ketimbang hasil. Begitulah orang Madura mendapatkan citra “keras”-nya. Tentu stigma “keras” itu bermakna “pekerja keras” dan ulet dalam menjalani hidup yang serba tak pasti. Meski watak tersebut acap juga mewujud dalam gerak-gerik dan cara mereka bertutur.

Memang, tak banyak yang menerapkan prinsip tersebut sebagai pijakan hidup. Roda zaman bergulir, budaya pun berubah, dan kita cenderung yakin bahwa hal-hal yang lazim dilakukan orang-orang di masa lalu adalah mitos belaka. Ia tak benar-benar ada dan cuma cerita bualan orang tua di warung-warung kopi. Mempertegas pandangan itu, saya melihat manusia Madura masa kini seolah berada di jurang kebimbangan. 

Makna keikhlasan kini terjerembab ke dalam lautan nafsu. Orang Madura menyebut kondisi demikian sebagai kadhunnya’an. Masyarakat Madura masa kini memiliki pandangan bahwa semua benda dapat bernilai rupiah. Seperti jamaknya insan modern  yang menghamba pada uang. Tak ayal kalau kita sering melihat lahan-lahan tak lagi bisa dikelola gara-gara tercemar, pantai-pantai direklamasi sebelum disulap menjadi tambak udang atau restoran, dan alat pengebor minyak yang semena-mena menyedot isi bumi. Semua itu jadi ancaman bagi keutuhan ekosistem darat dan samudra. 

Ancaman tersebut timbul akibat ulah orang Madura sendiri yang dengan polosnya mau dikelabui penguasa atau para pemilik modal. Saya melihat bahwa kita sedang dimanfaatkan dan hal itu sedikit demi sedikit mengubah cara berpikir kita menjadi pribadi yang kadhunnya’an. Proses tidak lagi jadi prioritas utama. Yang penting adalah hasil akhirnya. Cara apa pun tak jadi soal asal hasil melimpah. Maka, orang jadi abai terhadap dampak dari aktivitas mereka di muka bumi. 

Akhirnya, semakin banyak warga yang kini menjadi perantau lantaran tanah dan segara kian tak menjanjikan apa-apa dan kondisi perekonomian tambah sulit. Belum lagi lapangan kerja yang sempit. Opsi merantau pun menjadi tak hanya masuk akal, tapi juga sebuah keharusan.

Para perantau merangsek ke berbagai penjuru negeri sampai mancanegara, meninggalkan orang-orang tercinta di kampung halamannya. Pekerja-pekerja itu memenuhi laman media sosialnya dengan segala keluh kesah mereka dalam menggapai standar ideal sukses di negeri orang. Kepulangan mereka ke kampung halaman setelah memeras keringat bertahun-tahun di tempat nun jauh menjadi momen yang ditunggu-tunggu sanak keluarga. Kisah kesuksesan mereka menarik banyak anak muda untuk turut mengadu nasib di rantau. Mereka berhasil menancapkan doktrin di alam pikir masyarakat Madura bahwa sukses itu kudu keluar. Meski demikian, tak semua perantau itu berhasil. Tidak jarang seseorang malah hidup sengsara di tempat rantau hingga tak pulang bertahun-tahun tanpa mengirim kabar apa pun ke handai tolan di kampung. Jangankan menelepon, berita di media sosial pun kadang tidak ada.

Nalar pragmatis itu, seperti yang sudah saya katakan, mengubah jalan pikir orang Madura dari hari ke hari. Ketidakmampuan mengolah lahan menuntun warga Madura berpikir praktis dan instan. Orang menjadi buta pada apa pun yang bernilai. Semua yang bisa ditukar dengan uang layak dijual. Pasir laut pun dikeruk, bukit-bukit kapur dihancurkan, kawasan pesisir dijual untuk direklamasi. 

Hasilnya, sumber-sumber air mengering, banjir jadi kian sering. Para nelayan kini harus berlayar lebih jauh demi ikan-ikan yang kabur makin ke tengah segara lantaran ekosistem pesisir sudah compang-camping akibat polutan dan cara penangkapan ikan yang tak ramah lingkungan. Alam pun menjerit dan tidak sanggup lagi mencukupi kebutuhan hidup manusia. 

Dari fenomena-fenomena tersebut saya membaca bagaimana orang Madura menjalani hidup di tengah-tengah dunia yang makin modern ini. Memang, keterbacaan itu tak berarti semua orang Madura melakukan hal-hal yang saya rinci dari awal tulisan. Akan tetapi, menurut pengamatan yang saya temukan, baik di lingkungan sekitar, buku, maupun artikel, mereka rata-rata begitu. Kemajuan memang punya banyak definisi dan kadang “perusakan” termasuk di dalamnya. Tapi apakah merusak tatanan juga layak dibilang “maju”? 

Mampukah kita mengembalikan tatanan yang sudah kita obrak-abrik ke kondisi mula-mula? Ke tempat di mana segala sesuatu yang kini kita anggap mitos kembali dianggap lumrah? Padahal, kalau diurai, baik logika tradisional maupun modern, tidak ada bedanya. Semua punya mitosnya masing-masing, yang berpijak di atas dasar kebenarannya sendiri-sendiri. Saya tentu tidak menyalahkan orang Madura yang memilih untuk merantau. Pun saya tidak mengutuk orang Madura yang tak lagi “asin” di pulaunya sendiri. Karena gerak budaya semakin berkembang, saya kira, alam pikir orang Madura juga bakal mengalami dinamika seiring tuntutan zaman. 

Dengan begitu, ghȃi’ bintang, ghȃgghȃr bulȃn bukan lagi sekadar pengingat, melainkan juga landasan agar kita tetap awas dan bijak dalam berkehendak. Merusak itu sangat mudah. Lain dengan merawat dan mempertahankan yang butuh komitmen dan konsistensi. Bisa jadi, angan yang terlampau tinggi malah jatuh pada kerusakan yang masif dan tak terpulihkan.

 

Zainal A. Hanafi merupakan penulis asal Pamekasan serta penjual buku yang bergiat di komunitas Sivitas Kothèka dan Compok Literasi.

 

Editor: Asief Abdi

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Kawin Silang Ekonomi dan Politik

4 Oktober 2025 - 13:00 WIB

Tentang Roh dan Seks

27 September 2025 - 11:52 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Mencari Surga dalam Peta

20 September 2025 - 13:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka
Banyak dibaca di Esai Budaya