Menu

Mode Gelap
Kawin Silang Ekonomi dan Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

Kritik Seni

Nèmor dan Lima Perihal


					Foto oleh Muhammad Dzulqornain & Ika Nurcahyani/Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat Perbesar

Foto oleh Muhammad Dzulqornain & Ika Nurcahyani/Cemeti – Institut untuk Seni dan Masyarakat

Ketika pameran Némor: Southeast Monsoon dibuka pada 17 Agustus 2019 di galeri Cemeti Institute for Art and Society, angin muson timur sedang bertiup dari arah benua Australia, melewati Indonesia, kemudian menuju benua Asia. Sementara Negeri Kangguru itu mengalami musim dingin, Indonesia menjumpai musim kemarau. 

Orang-orang Madura menyebut angin muson timur sebagai nèmor. Nèmor bukan saja penanda waktu bahwa musim kemarau telah tiba, melainkan juga penanda berputarnya moda ekonomi, terutama di sektor pertanian dan laut. Di waktu yang sama pada tahun 2019, adalah hari di mana beberapa seniman Madura bertolak ke arah barat, menyeberang selat Madura melalui pelayaran singkat  Kamal-Perak atau melintas di jembatan Suramadu yang dingin dan asing. Seniman-seniman itu bergerak seolah mengikuti tiupan angin, ke arah Jawa, lantas bersandar di Yogyakarta. 

Nèmor: Southeast Monsoon (selanjutnya disebut Nèmor) boleh jadi adalah pameran yang hendak berikhtiar untuk bergerak ‘ke luar’, sembari menoleh ‘ke dalam’. Bergerak ‘ke luar’ berarti menyasar sesuatu di luar kategori primordial, semacam upaya yang didorong oleh keinginan untuk membuka dialog dan hadir di tengah-tengah percakapan. Idealnya berada di dalam situasi hubungan yang setara, di kursi dan meja yang sama. 

Némor tidak membayangkan dirinya sebagai objek tatapan yang menggulirkan narasi satu arah, suatu sudut pandang di mana Madura dilihat sebagai negeri yang jauh nan molek; satu pandangan yang kolonialistik dan eksploitatif. Nèmor justru ingin mencari padanan sejarah sosial di tempat lain untuk bersitatap, bertukar pikiran, berbagi persoalan, menawar pandangan, dengan menimbang logika perbedaan sekaligus persamaan. Gayung pun bersambut, Cemeti membuat pikiran itu menjadi mungkin dilakukan.  

Sementara menoleh ‘ke dalam’ adalah upaya untuk berhenti sejenak dan menghela napas; membuka lembar referensi, menjahit perca-perca ingatan, memilin lintasan peristiwa, mengumpulkan seluruh akumulasi pengetahuan, menimbang ingatan personal sekaligus pengalaman komunal, namun dengan gestur yang tetap mengarah ke depan; menuju pintu percakapan.

Ketika pameran sebagai pintu percakapan ditutup beberapa minggu kemudian, dialog terus berlangsung bahkan selepas pengunjung pulang dan meninggalkan sepi di pintu depan galeri Cemeti, setidaknya di dalam diri saya. 

Ada yang mengganggu dan menunggu untuk ditelusuri lebih jauh. Ada pernyataan dan pertanyaan yang perlu dibaca dan direfleksikan. Oleh karena itu, ketimbang melihat apa yang terjadi selama pameran (ungkapan apresiatif atas impresi publik terhadap karya, misalnya), tulisan ini lebih ‘melayani’ pikiran-pikiran yang datang pascapameran. Menyusur dan memapar pengalaman ‘traumatik’ dengan cara memasuki dan menghayati kembali 13 karya dari 13 seniman Madura. 

Pengalaman traumatik yang saya maksud adalah ‘momen tertinggal’, semacam residu atas peristiwa lampau yang berpotensi menjadi gangguan. Seperti sebuah ‘pertunjukan’ yang terjadi di dalam pikiran persis setelah pertunjukan/pameran itu sendiri selesai ditampilkan. ‘Momen tertinggal’ ini berkisar pada pikiran tentang bagaimana para seniman bernegosiasi dengan sejarah mereka (juga sejarah saya) dan sekaligus bagaimana sejarah dilihat bukan sebagai narasi tunggal yang pekat dengan dominasi politik kuasa (atas sejarah/pengetahuan), melainkan sesuatu yang dinamis dan terus mencari relevansinya. 

Selain itu, karena yang disebut ‘trauma’ di sini bukanlah tinjauan dan analisis psikologis, maka tulisan ini tidak bertujuan untuk mengatasi pengalaman traumatik, tetapi justru mengikat trauma sebagai pijakan subjektif untuk membuka kualitas narasi/gagasan personal di masing-masing karya. Bagian yang disebut terakhir ini sekaligus untuk menimbang tatapan “Bagaimana seniman Madura melihat Madura?” dan “Bagaimana seniman non-Madura melihat Madura?”, serta “Bagaimana saya melihat Madura di dalam karya-karya para seniman di pameran Nèmor?. Tentu sembari menyadari bahwa tulisan ini tak bisa menghindari bias kultural dan politik sebab saya sendiri adalah orang Madura.

Karya-karya dalam pameran Nèmor saya sikapi sebagai fragmen-fragmen yang terpecah dan tidak tunggal, baik di level tematik maupun mediumnya. Oleh karena itu pameran ini tidak berupaya untuk mendefinisikan atau memberi gambaran utuh tentang Madura. Kami tahu bahwa Nèmor adalah salah satu bab kecil dari sekian lembar halaman sejarah panjang perihal Madura. Maka, merespons sesuatu yang terpecah dan tak utuh, tulisan ini dibuat dengan cara fragmentatif pula berdasarkan kerangka tematik pada masing-masing karya, seraya memadankannya dengan karya yang menyerukan ‘suara’ yang sama. 

 

Perihal Satu: Sejarah dan Kuasa

Kompleksitas sejarah telah menjadi momen panjang di mana trauma bukan hanya tentang peristiwa, cerita, mitos, dan tragedi yang melekat sebagai pengalaman personal dan kolektif. Berangkat dari keyakinan bahwa sejarah tidak pernah stabil, maka upaya mempertanyakan, menelaah, membongkar, dan menggugat dalam Nèmor adalah niscaya. Tentu saja sembari mengutuki diri sendiri karena pembacaan atas Madura selalu dibayang-bayangi oleh narasi kolonial yang memproduksi citra manusia Madura sebagai masyarakat kelas rendah. Dalam konteks keterhubungannya dengan Jawa, bagi saya sejarah Madura adalah bagian dari sejarah tanah seberang itu. Demikian juga sebaliknya, sejarah Jawa adalah bagian dari sejarah Madura. Dan yang disebut ‘bagian’ tidak lantas dimaknai secara hirarkis, karena yang dirujuk bukan pada keseluruhan riwayat masa lalu keduanya, melainkan sebagian saja. Dalam konteks Nèmor, adalah periode pemberontakan Trunajaya terhadap kekuasaan Mataram pada Abad-17.  

Oleh karena itu, Nèmor tidak berupaya untuk mencari dan menulis ulang sejarah secara presisi melalui sudut pandang orang-orang Madura. Pun ia tidak ingin menampilkan Madura sebagai dunia tunggal yang kedap atas kritik yang justru membatalkan potensi pertumbuhan dan perluasan perspektif, melainkan menunjukkan kompleksitasnya sebagai wilayah yang hidup dan dapat menumbuhkan percakapan kritis, menakar sejarah (dan trauma) sebagai medan pengetahuan, sekaligus menampakkan riwayat gagasan serta artistik seniman-seniman di dalam pameran Nèmor.

Sejarah yang digulirkan di dalam teks Babad Tanah Jawa membuat Ika Arista, melalui karyanya yang berjudul Pètodhu (2019), menyusun siasat dengan melibatkan fiksi sebagai strategi sekaligus pendekatan untuk menawar, mengganggu, dan mempertanyakan ulang ‘apa itu sejarah?’. Tersebab juga Babad Tanah Jawa menggunakan retorika pengucapan sastra atas ‘kesaksian’ tertentu tentang sebuah peristiwa, maka bermain-main dengan fiksi adalah salah satu kemungkinan yang bisa ditempuh oleh Ika. Pètodhu berangkat dari satu asumsi bahwa sejarah selalu berada dalam kondisi tidak stabil. Sejarah adalah sebuah versi dari satu tatapan, dan ia tak mewakili tatapan-tatapan yang lain. Ika, seorang Mpu perempuan pembuat keris, menempatkan sejarah tentang Trunajaya di dalam Babad Tanah Jawa sebagai ensiklopedia yang tak lengkap, dan karenanya penuh retakan. 

Pengisahan politik kekuasaan antara Trunajaya dengan Amangkurat III yang berakhir dengan tragedi pembunuhan atas Raja Madura mendorong Ika untuk membayangkan senjata macam apa yang dipakai para raja-raja pada masa itu. Maka, Ika membuat keris yang ia bayangkan dipakai Trunajaya ketika melawan raja Mataram. Pada titik itu Ika melibatkan fiksi sebagai siasat justru untuk berspekulasi tentang masa lalu sembari membayangkan masa depan melalui pertanyaan: Apa yang terjadi apabila Trunajaya tidak dibunuh? Apa yang terjadi apabila Trunajaya bertarung secara terpuji/adil (fair) dengan Amangkurat? Di level itu sesungguhnya keris karya Ika adalah sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan politis.

Fiksi untuk mengatasi trauma juga bekerja dalam karya Rifal Taufani. Bagi Rifal, teks Babad Tanah Jawa, khususnya di bab Trunajaya, dilihat sebagai naskah drama kolosal yang berlumur adegan-adegan kebijaksanaan dan juga dendam. Sebagai sebuah drama, Rifal mengapropriasi teks itu menjadi komposisi suara melalui strategi live coding dengan menggunakan program Sonic Pi. Rifal membawa teks Babad Tanah Jawa menjadi pengalaman auditif atas kenyataan kontemporer di mana pendengaran kita dipenuhi dengan ingar (noise) yang datang dari berbagai sumber. Apropriasi pada karya Rifal yang berjudul Ngongghâin (2019), di level tertentu, bisa jadi sebenarnya juga sedang ‘mengacaukan’, atau setidaknya mengaburkan narasi teks Babad Tanah Jawa.

Dramaturgi sejarah yang bekerja dalam karya Ika Arista dan Rifal Taufani, dilengkapi oleh karya Suvi Wahyudianto yang berjudul Madura, Mun Marè Ondhura (2019). Suvi mengibaratkan dirinya seperti peziarah yang sedang mengunjungi petilasan masa silamnya. Perkara identitas melekat kuat sebagai residu yang terus dibawa bahkan ketika ia mengapropriasi tangga di lokasi makam raja-raja di Imogiri. Konon (menurut satu versi kisah), Trunajaya dibunuh dan dinistakan di sana, di tangga itu. Tangga yang dibuat Suvi telah dipiuhkan dari tangga aslinya. Plat besi yang keras dan kokoh dipilih sebagai material karya untuk mengkonstruksi tangga Imogiri, dan sejumput daging sebesar kepalan tangan yang tergeletak di atasnya, serta lembaran teks Babad Tanah Jawa yang tergantung di dinding. Namun, bagaimana ia bisa melampaui politik identitas atas sejarah yang silam, dan pada saat yang sama kritis terhadap narasi Babad Tanah Jawa dan sekaligus Madura?

Bagi saya, tangga dan onggokan daging mengisahkan satu dari sekian babak yang ada dalam sejarah Mataram dan Madura. Dari material karya itu, sejarah sesungguhnya adalah sejarah tentang kekerasan, baik kekerasan fisik (tangga dan onggokan daging) maupun kekerasan dalam politik pengetahuan (lembaran teks di dinding). Dua model kekerasan ini sama-sama meninggalkan trauma. Namun, kekerasan jenis kedualah yang paling ‘memukul’ karena terus menerus diputar dan direproduksi.

 

Perihal Dua: Tanah dan Konflik

Pengalaman traumatik atas tanah berdiri di atas dua subjek percakapan: tanah sebagai ikatan primordial dan tanah sebagai teritori kekuasaan. Tanah sebagai ikatan primordial bersumber dari keyakinan kultural bahwa ia adalah tempat bermula sekaligus berakhirnya hidup, atau sebagai lokus perjumpaan antara yang hidup dengan yang mati. Di level tertentu (di luar kategori ritual keagamaan), ziarah kubur merupakan salah satu artikulasi atas hubungan itu, seperti juga upacara rokat bumè (ruwatan tanah/bumi) di Madura yang mengartikulasikan hubungan spiritual manusia Madura dengan tanah. Penghormatan atas tanah juga berlangsung pada praktik pembagian warisan kepada generasi sesudahnya melalui sistem hukum adat dan agama. Dalam konteks kebudayaan Madura, menjual tanah warisan (sangkolan) sama artinya dengan menjual harga diri, berikut dengan implikasi/artikulasi turunannya: produksi cerita lisan dan mitos tentang bahaya/dampak jika tidak menjaga dan merawat tanah. 

Sementara tanah sebagai teritori kekuasaan dalam agenda developmentalistic merupakan satu isu penting dan mendesak di Madura. Kasus alih fungsi lahan dan kapitalisasi sumber daya membuat orang-orang Madura memikirkan kembali makna ‘tanah’. Dan ikatan primordial di dalam isu tanah sebagaimana yang dijelaskan di atas menjadi relevan dibicarakan. Ikatan primordial menemukan momentumnya untuk menjadi subjek percakapan bukan untuk menebalkan kondisi ontologis pada cerita lisan dan mitosnya, melainkan bagaimana ikatan primordial itu bekerja dalam perlawanan atas perampasan tanah. Dalam konteks ini, nilai dan makna dari ikatan primordial menjadi politis (dan progresif).

Hubungan manusia Madura dengan tanah bukanlah hubungan di level sosial dan ekonomi semata, melainkan juga hubungan spiritual (religio-magis). Ulang alik pembacaan melalui dua kategori percakapan atas tanah diberlangsungkan dalam pertunjukan Bun Tèmor (2019) karya Anwari. Lanskap kampung yang diresonansikan melalui tubuh dan peristiwa beserta artefak domestiknya seperti batu kapur, sarung, tikar pandan, dan lain-lain dalam karya itu bukan untuk mengabarkan ‘kesilaman’, melainkan anasir atas ingatan dan ikatan atas tanah serta rumah. Hal yang sama juga terjadi dalam (arsip video) pertunjukan teater SAPAmèngkang (2018) karya Syamsul Arifin. Dua karya ini mengutip tanah sebagai lokus kultural untuk menatap dan membayangkan tanah Madura di masa depan. Hemat saya, tanah dalam karya Anwari dan Syamsul mendudukkan ikatan primordial sebagai posisi politik. 

Sementara bagi negara, kompleksitas dan lapisan isu tentang tanah disederhanakan menjadi agenda ekonomi dan pembangunan semata. Dari situlah konflik perebutan lahan pecah karena eksploitasi atas tanah dapat mencabut hubungan manusia dengan habitusnya. Oleh karena itu, melalui tatapan yang lebih berjarak, di mana tanah sepenuhnya adalah wilayah konflik dan kekuasaan, instalasi berjudul Voice from the Base of the Dam (1994) karya FX Harsono menjadi relevan. 

FX Harsono merekam peristiwa pembangunan Waduk Nipah di Sampang pada tahun 1993 yang menyebabkan pembunuhan terhadap beberapa petani di desa itu. Seturut judulnya, instalasi itu menampilkan ‘suara-suara’ warga melalui objek-objek temuan dan rekaman wawancara dengan warga Nipah dan ditampilkan secara verbatim. Karya ini memantik lapisan lain di luar objek materialnya, yaitu praktik dan pendekatan ‘dokumenter’ yang ditempuh oleh Harsono. 

Rekaman wawancara dan objek-objek temuan di Sampang membuka pintu dan mengungkap lapisan masalah dan sekaligus memperluas dialog tentang isu-isu sosial. Dokumenter pada level tertentu, meski tidak bertujuan ‘menyalin dan mewakili’ kenyataan sebagaimana adanya (karena di situ ada representasi subjektif: salah satunya keterlibatan perspektif sang seniman dalam melihat isu dan kerja kurasi atas objek temuannya), berpeluang memberi ‘suara’ pada warga yang berada di luar dinding kekuasaan, yang suaranya tak punya potensi didengar dan dipertimbangkan. Apabila ia tak merepresentasikan kenyataan, sekurang-kurangnya itu adalah upaya menangkap dan ‘mendekati’ kondisi objektif orang-orang/warga, tempat/wilayah, dan peristiwa nyata.

Tatapan ‘dari dalam’ yang dilakukan oleh Anwari dan Syamsul tentang bagaimana mereka berspekulasi tentang kondisi tanah Madura di masa depan, seolah mendapat respon dari FX Harsono yang mewakili tatapan ‘dari luar’, bahwa isu tentang hubungan manusia Madura dengan tanah(-airnya) sedang berada dalam kondisi terancam.

 

Perihal Tiga: Keluarga dan Gender

Rumah adalah situs di mana pengalaman traumatik bekerja di dalam hubungan antaranggota keluarga, terutama antara anak dan orang tua. Apabila menggunakan pengertian sosiologis mengenai keluarga sebagai komunitas terkecil dari masyarakat, maka kita juga menyadari implikasi turunannya bahwa keluarga adalah institusi di mana logika kekuasaan juga beroperasi di dalamnya. Salah satu hal yang bisa kita lihat di sini adalah bagaimana ‘Bapak’ memiliki peran tunggal sebagai kepala keluarga. Kultus Bapak sebagai kepala keluarga mengandaikan relasi struktural di mana terdapat pemusatan kekuasaan pada Bapak, yang pada gilirannya menempatkan pendidikan moral seperti sopan santun, tata krama, pengabdian, penghormatan, dan kepatuhan kepada orang tua merupakan salah satu bentuk artikulasi dari relasi kuasa.

Problem mengenai ‘kepatuhan’ dalam keluarga membuat Fakhita Madury merefleksikan hubungan dirinya dengan Bapak. Melalui lukisan berjudul To’koto’ (2019), Fakhita mengajak kita memasuki wilayah domestik tentang kerentanan dirinya sebagai anak perempuan. Bagi Fakhita, operasi kekuasaan di ranah keluarga tidak hanya tentang hubungan anak dengan orang tua, melainkan juga menyentuh soal konstruksi patriarki: hubungan tak setara antara perempuan (anak) dengan laki-laki (Bapak). Lantas bagaimana Fakhita mengeksplorasi dan meresonansikan problem domestik itu ke dalam karyanya?

Fakhita menampilkan satu lukisan di atas kanvas berukuran 150 x 150 cm dengan baluran warna-warna tegas yang mencolok. Lukisan digantung “telanjang” dengan melepaskan kanvas dari spanramnya, seolah karya dibebaskan dari struktur persegi sehingga menciptakan garis batas antara “di dalam” dan “di luar” lukisan. Bidang kanvas bagian tengah bertekstur keras karena laburan cat yang berlapis-lapis, sementara di bagian tepi yang membentuk bekas lipatan pada spanram dan tembakan gun tacker menjuntai kusut. Itu membuat keseluruhan lukisan terlihat sedang atau hendak membatalkan apa yang disebut “indah”. Tepat di situ Fakhita bermain-main dengan paradoks. Perhatikan juga bagaimana Fakhita mengeksplorasi warna dan “menabrakkannya” satu sama lain tanpa memberi gradasi, yang kemudian dilengkapi dengan objek-objek seperti manusia, burung di dalam sangkar, rumah, bintang-bintang, dan lain-lain, sehingga membuat objek dan citra di dalam lukisan terasa penuh dan sesak. Dan di antara kehadiran objek-objek dan warna-warna dasar yang meriah, Fakhita menutup sebagian spasi/ruang lengang dengan blok warna hitam. Di situ kita melihat ironi atas “ketiadaan ruang” untuk sekadar bergerak dan menghela napas di sebuah lukisan yang terkesan tampil “bahagia” dan berwarna-warni. 

Eksplorasi tematik tentang keluarga dan hubungannya dengan bagaimana medium diolah seturut agenda gagasannya, yang selanjutnya juga menciptakan ironi, dapat kita lihat pada (arsip video) pertunjukan teater berjudul Pocèt (2017) karya Fikril Akbar.

Pocèt mengangkat isu pernikahan dini yang terjadi di Madura. Fikril Akbar, sutradara pertunjukan ini, menempatkan konteks keluarga sebagai wilayah yang rentan atas kekerasan apabila sepasang mempelai belum semestinya memasuki biduk rumah tangga. Atau, dengan artikulasi yang lebih tegas, pernikahan dini telah merebut waktu belajar dan bermain anak-anak serta memaksa mereka menjadi dewasa sebelum waktunya. 

Karya ini diciptakan melalui sudut pandang anak-anak sekaligus meletakkan isu pada aspek kerentanan perempuan yang kerap menjadi korban dalam pernikahan dini. Atau, di level yang berbeda, sepasang mempelai muda adalah pihak yang dirugikan dari tindakan dan cara pandang orang tua. Sebagaimana pada karya Fakhita, kita bisa melihat relasi kuasa dalam struktur hubungan keluarga antara anak dengan orang tua dalam Pocèt. Fikril menyorot bagaimana kultur domestik di lingkungan keluarga dan kekerabatan di Madura turut memengaruhi cara pandang atas masa depan. Fikril mencoba mengkritisi paradigma dominan masyarakat tentang ‘masa depan’ yang kerap menempatkan perempuan (juga anak laki-laki) sebagai korban. 

Sementara di level mediumnya, Pocèt mengapropriasi struktur dan dramaturgi pernikahan di desa-desa yang biasanya terjadi di halaman rumah. Fikril memulihkan pengalaman penonton ketika hadir ke resepsi pernikahan dengan cara mementaskan karyanya di halaman rumah warga di Dusun Bugih, Pamekasan. Halaman itu telah dikondisikan sebagaimana acara resepsi, seperti membangun dekor pelaminan untuk mempelai, mendirikan terop untuk tamu serta objek-objek lain seperti janur kuning di pintu masuk, tulisan ‘Selamat Menempuh Hidup Baru’ di dinding rumah, dan lain-lain. Pilihan-pilihan material ini bukan hanya memanfaatkan bentuk-bentuk performativitas pada acara pernikahan dengan mengandaikan penonton sebagai tamu undangan sehingga suasana dan tindakan mendekati peristiwa yang nyata, melainkan juga untuk mendekatkan konteks keruangannya dan menempatkan warga (baik tua maupun muda, terutama warga Dusun Bugih) sebagai subjek percakapan atas isu pernikahan dini. 

Otoritas atas rumah yang dipegang oleh Bapak dengan segera dapat meluaskan percakapan tentang peran dominan laki-laki di ranah publik. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah merupakan akumulasi dari konstruksi patriarki yang terjadi di lingkungan sosial masyarakat. Percakapan ini beririsan dengan karya Remi Decoster yang berjudul Mascara (2019). 

Mascara adalah proyek fotografi dokumenter yang menempatkan Hairul Saleh, seorang penata rias pengantin asal Bangkalan, sebagai subjek amatannya. Ada dua kategori potret dalam karya ini. Kategori pertama adalah potret-potret di sekitar proses merias pengantin serta objek-objek visual yang berkenaan dengan material resepsi pernikahan seperti baju, kursi pelaminan, dan seterusnya, serta potret aktivitas keseharian Saleh di rumah. Kategori kedua adalah mengenai sosok pribadi seorang Saleh. Remi memotret sisi lain Saleh yang seorang transpuan dengan dandanan feminin. Hal ini dapat menumbuhkan diskusi yang menarik tentang bagaimana kehadiran Saleh dengan dandanan feminin diterima di ruang publik. Masyarakat di sekitar Saleh tidak mempersoalkan serta tidak menunjukkan adanya resistensi tertentu dari otoritas kultural dan agama. Potret itu menunjukkan betapa warga menerima Saleh sebagai bagian dari mereka. Pada titik ini, masyarakat Madura yang dianggap tradisional dan konservatif tidak melulu menganggap gender sebagai suatu yang dikotomis dan tunggal. (Contoh seperti ini banyak kita temukan padanannya di seni pertunjukan tradisional Madura seperti Sandur, Ludruk, dan lain-lain.)

Berarsiran dengan kerangka tematik pada karya Remi Decoster, namun dengan bacaan yang berbeda, kita perlu menengok juga instalasi berjudul Have You Been to Madura, Mam? (2009) karya Nindityo Adipurnomo. Karya ini menggambarkan bagaimana seorang wisatawan berjalan-jalan ke Madura dan untuk kali pertama melihat dan menemukan citraan-citraan eksotik Madura melalui objek dan produk kreatif yang biasanya dibuat secara massal dan berulang-ulang, seperti ukiran, batik, dan pernak-pernik lainnya. Namun, apa yang sesungguhnya diproyeksikan dari karya tersebut adalah tentang bagaimana citraan pada kerajinan populer turut memengaruhi cara pandang orang luar melihat Madura.

Karya ini dibuat dengan mengumpulkan dan membuat ulang artefak-artefak kerajinan yang Nindityo anggap mewakili Madura, lantas menyatukannya menjadi satu monumen/menara yang kokoh tegak ke atas. Objek yang bagi saya dapat segera memancing pertanyaan adalah penis yang terbuat dari kayu di dalam kotak berdinding kaca dan beberapa celurit berwarna emas dalam posisi ‘aktif’ (posisi horizontal, celurit seperti hendak menebas sesuatu). Dua objek representatif yang dihadirkan Nindityo ini segera memunculkan tema percakapan tentang bagaimana ‘maskulinitas’ mendominasi ruang publik yang didistribusikan melalui produk-produk kerajinan kepada para wisatawan. Apa yang dituturkan Nindityo melalui karya ini adalah salah satu bacaan (kritik) yang tak perlu dielakkan dan patut dipikirkan bersama.

Karya Remi Decoster dan Nindityo Adipurnomo sama-sama mewakili pembacaan jauh atau tatapan ‘dari luar’. Namun keduanya menghadirkan bacaan yang saling memantik diskusi.

 

Perihal Empat: Laut dan Batas

Kebudayaan laut (maritim) merupakan salah satu risalah historiografi Madura. Bagi orang-orang pesisir Madura, laut adalah ‘halaman depan’ di mana ihwal tentang pembentukan identitas, karakter, dan moda produksi ekonomi bersandar pada laut. Kita bisa mencatat betapa kota tua Kalianget, di bagian timur kabupaten Sumenep, pernah menjadi situs niaga yang melibatkan banyak orang dari banyak tempat. Dari situ kita juga bisa menjelajahi riwayat kolonial pada jejak-jejak arsitektur. 

Apabila kita menandai pesisir sebagai batas terluar Pulau Madura, maka pada ‘batas’ kita juga mengandaikan satu ‘hubungan’. Batas bukan lagi soal kategori yang dikotomis, yang terpisah, melainkan spektrum. Pada paragraf ini saya menyebut Madura dengan frasa ‘Pulau Madura’, sebab apa yang disebut Madura tidak bisa ditandai dengan batas geografi. Kabupaten Sumenep, memiliki ratusan pulau kecil, salah satunya Pulau Kangean. Di pulau itu, warga tidak berbicara dalam bahasa Madura, melainkan bahasa Bugis. Kabupaten Sampang juga memiliki pulau kecil yang padat penduduk: Pulau Mandangin. Di Sampang ada pelabuhan Tanglok yang menjadi tempat sandar bagi kapal-kapal kecil milik warga Mandangin yang beraktivitas di Sampang. Masyarakat di Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, memakai Bahasa Madura sebagai bahasa komunikasi sehari-hari (penduduk di sana tidak menyebut itu Bahasa Madura, tetapi Bahasa Bawean). Di wilayah Jawa Timur lainnya seperti daerah Tapal Kuda memakai bahasa Madura sebagai bahasa keseharian.

Dari fakta di atas, laut bukanlah dinding, melainkan simpul-simpul yang menyatukan, yang menghubungkan banyak daratan. Oleh karena itu apa yang disebut Madura tidak lagi dalam pengertian tunggal seperti orang-orang, kebudayaan, dan seterusnya, yang ada dan tinggal di Pulau Madura. Namun dalam konteks Nèmor, khususnya pada karya-karya Hidayat Rahardja dan Tohjaya Tono, Madura di sini berada dalam pengertian (kultur pesisir di) ‘Pulau Madura’.

Hidayat Rahardja adalah pencatat yang tekun. Selain menulis puisi, ia juga merekam peristiwa, tempat, dan situs-situs ingatan lainnya dalam sketsa. Dari lini masa biografi artistiknya yang merentang antara tahun 1992 sampai 2019 yang dibawa ke pameran Nèmor, kita bisa melihat perubahan dan pertumbuhan kota serta nilai-nilai yang terus bergeser.

Dâri Pasêsêr Têmor (1992-2019) karya Hidayat terdiri dari delapan fragmen sketsa tinta hitam di atas kertas yang merekam situasi pesisir di wilayah timur Pulau Madura, sebagai penyelidikan atas dinamika ruang sosial dan sejarah yang berkisar di laut. Objek-objek visual yang dihadirkan tidak terlepas dari perahu dan para nelayan. Apa yang dikerjakan Hidayat ini adalah satu babak kecil dari sekian babak yang mengisahkan hubungan orang-orang Madura dengan laut, yang sebenarnya sudah berlangsung sejak abad 15 ketika perahu-perahu Madura berlayar ke banyak tempat. Peristiwa berlayar kemudian berhubungan dengan budaya merantau. Di titik itu Hidayat juga menyertakan satu sketsa tentang orang-orang Madura di atas Kapal Feri di pelabuhan Kamal, Bangkalan, untuk berlayar menuju Jawa. 

Pelabuhan Kamal pada karya Hidayat menjadi situs di mana mobilitas diberlangsungkan. Hal ini bisa terjadi karena kultur laut yang membentuknya. Sketsa ini sekaligus merentangkan pengalaman panjang orang-orang Madura di masa lalu tentang praktik migrasi pada abad 19 akhir ketika industri perkebunan di masa kolonial membutuhkan banyak tenaga kerja. Ini bisa jadi adalah salah satu ihwal bagaimana orang-orang Madura mendominasi daerah Tapal Kuda dan selanjutnya menciptakan satu komunitas masyarakat yang hibrid. 

Segendang sepenarian dengan Hidayat Rahardja, video animasi yang dibuat dari sketsa arang (charcoal) di atas kertas berjudul Ojhân Résé’ (2019) buah tangan Tohjaya Tono mengisahkan pesisir barat Pulau Madura seperti daerah Sepolo, Tanjungbumi, dan Arosbaya. Tono bertolak dari biografi masa kecilnya dengan cara mengunjungi dan memanggil ingatan yang mungkin lamat-lamat hadir melalui tempat dan peristiwa. Jarak temporal antara masa lalu dan masa kini coba dijembatani dengan menapaktilasi spasialitas ruang pasar, pelabuhan Telaga Biru di Tanjungbumi, sambil membayangkan bagaimana ruang-ruang itu mengalami perubahan. Pengamatan lapangan yang dilakukan Tono berarti juga melibatkan tubuh yang menyimpan ensiklopedia ingatan tentang fragmen-fragmen pesisir. Lantas Tono merekam apa yang ia temui ke dalam buku sketsa untuk mengidentifikasi apa yang masih bertahan, dan apa yang telah berubah.

Satu hal yang menarik apabila karya Hidayat Rahardja dan Tohjaya Tono diletakkan dalam satu spektrum percakapan tentang mobilitas, yaitu apabila pada karya Hidayat Rahardja kita melihat mobilitas pada manusia, maka dalam karya Tono kita menyaksikan mobilitas dan/atau perpindahan pada sapi-sapi Madura. Sampai saat ini, setiap tahunnya puluhan ribu sapi-sapi Madura ‘migrasi’ melalui jalur laut ke Kalimantan (dan juga Jawa).

 

Perihal Lima: Apakah Madura dan Jawa Bisa Setara?

Di bagian akhir ini saya ingin mengenang Suramadu, sebuah penghubung Pulau Madura dengan Pulau Jawa. Jembatan sepanjang 5 km lebih ini menurut saya turut serta mengubah paradigma kebudayaan laut ke kebudayaan darat. Proyek infrastruktur itu adalah agenda negara yang tentu bisa kita tebak arahnya: ekonomi. Bertahun-tahun kemudian setelah jembatan ini diresmikan pada 10 Juni 2009, kita bisa melihat dengan terang betapa aktivitas perputaran uang dan mobilitas orang-orang keluar-masuk semakin deras. Lahan semakin menyempit karena kepemilikan tanah berpindah ke tangan-tangan ‘orang luar’. Namun, apa yang bisa disumbangkan oleh jembatan ini dalam konteks kebudayaan, atau dalam konteks percakapan sebagaimana saya paparkan di atas? Apakah kehadiran Suramadu yang terbentang lurus lantas membuat Madura dengan Jawa menjadi setara? 

Pertanyaan itu saya biarkan lepas saja dan mungkin bernilai apabila dijadikan tolakan diskusi lebih lanjut. Jika berusaha dijawab, maka jawabannya beririsan dengan tulisan ini di bagian “Perihal Satu: Sejarah dan Kuasa”. Dan implikasi sosial turunannya ada di bagian “Perihal Dua: Tanah dan Konflik”. 

Pertanyaan di atas saya pilih sebagai bahan refleksi dengan cara memantulkannya pada karya Lutvan Hawari yang berjudul Akar Suara (2019). “Apakah Madura dan Jawa bisa setara? Apakah mungkin kita dapat berpikir dengan melampaui cara pikir dikotomis? Bukankah (sejarah) Madura dan Jawa saling berjejalin?” adalah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Luthvan ketika membuat karyanya. Pertanyaan tersebut coba ia terjemahkan ke dalam komposisi bunyi berdasarkan pengalamannya tinggal di Madura dan Jawa. 

Berdiri di posisi ‘antara’ itulah yang membuat Luthvan menelusuri dan sekaligus mengidentifikasi pengalaman bunyi di dua tempat yang pernah ditinggalinya. Ingatan personal dilibatkan justru untuk menatap satu gagasan yang lebih besar: penyejajaran Madura dengan Jawa bukanlah kategori pengetahuan yang dikotomis, melainkan dialektis. Dan musik adalah pilihan medium yang memungkinkan untuk memasuki dan melampaui ketegangan itu, sebab ketika kita mendengarkan musik, maka pada saat itu kita tidak sedang memikirkan lagi asal usul bunyi, tetapi menikmatinya sebagai komposisi yang utuh dan menyeluruh.

Maka demikianlah pameran Nèmor mengisahkan dirinya sebagai ruang diskusi yang dinamis. Sebagaimana angin muson timur pada tahun 2019 yang membawa beberapa seniman Madura bertolak ke Yogyakarta dan angin muson timur yang berbeda yang datang di tahun-tahun berikutnya. Tidak ada yang diam dan tetap. Pada kenyataan yang terus berubah itulah Nèmor sebagai semesta gagasan masih relevan dan dimungkinkan untuk digali lebih jauh seturut perubahan serta kenyataan yang berlangsung, seraya berharap masalah-masalah sosial yang telah dipaparkan di atas turut berubah ke arah yang lebih baik. 

Yogyakarta, 10 Juni 2020

 

*Tulisan ini merupakan refleksi personal penulis sebagai salah satu kurator—bersama Ayos Purwoaji—pameran Nèmor: Southeast Monsoon (2019).

Shohifur Ridho’i adalah penulis dan seniman pertunjukan asal Sumenep. Kini tinggal dan bekerja di Yogyakarta.

 

 

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Memandang Cinta dari Jauh

3 September 2025 - 16:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni