Menu

Mode Gelap
Kawin Silang Ekonomi Politik Festival Sastra-Sains 2025, Epistemologi Maut dan Cinta Tentang Roh dan Seks Park dan Roman Klise Mencari Surga dalam Peta Perihal Puisi dan Gejala Kematian Sejarah

Kritik Seni

Takdir dan Tuhan


					Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Ikrar Izzul Haq/Sivitas Kothèka

Sutan Takdir Alisjahbana dikenal sebagai pendiri majalah Pujangga Baru pada 1933 sekaligus pelopor angkatan yang kelak bernama serupa dengan majalah tersebut. Baik majalah maupun angkatan ini memiliki misi untuk memodernisasi Indonesia dari segala aspek.  Dalam edisi perdana majalah tersebut dikatakan bahwa kewajiban yang hendak dipikul Pujangga Baru, yaitu “berusaha berjuang untuk membangkitkan kesusastraan baru pada khususnya dan kebudayaan baru pada umumnya, yang sesuai dengan semangat di kalangan rakyat Indonesia.”

Kenyataannya, sebagai sebuah angkatan, Pujangga Baru tidak berhasil memodernisasi kesusastraan Indonesia. Dalam praktiknya, ia hanya menyelenggarakan modernisme sosial. Modernisme artistik baru dilaksanakan Chairil Anwar yang tercermin pada puisi-puisinya. 

Apa yang membuat Pujangga Baru gagal menyelenggarakan modernisme artistik? Salah satu jawaban yang bisa diajukan ialah karya sastra pada masa Pujangga Baru hanya dijadikan alat propaganda modernisme sosial. Akhirnya tidak ada upaya untuk memodernisasi sastra sebagai seni itu sendiri. Dalam siaran yang ditandatangani Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisjahbana menjelang terbitnya edisi pertama Pujangga Baru disebutkan bahwa kesusastraan “harus menyampaikan berita kebenaran yang terbayang-bayang dalam hati segala bangsa Indonesia yang yakin akan tibanya masa kebesaran itu.”

Jika Pujangga Baru, atau lebih khususnya Takdir, dianggap gagal membawa misi modernisme artistik, apakah ia memang berhasil membawa misi modernisme sosial? Kita tahu, salah satu sifat modernisme, yaitu bergesernya kesadaran teosentris menuju kesadaran antroposentris. Menurut kesadaraan modernisme, manusia adalah pusat jagat, axis mundi. Jika manusia dianggap pusat jagat, lalu mengapa puisi-puisi Takdir masih menempatkan Tuhan pada posisi yang lebih superior ketimbang aku-lirik manusia? 

Ihwal inilah yang menjadi latar belakang mengapa saya mengangkat puisi-puisi Takdir untuk diulas. Pada esai ini, saya mengambil tiga puisi Takdir dalam buku Tebaran Mega (1996). Tiga puisi tersebut dipilih karena hubungan antara aku-lirik dengan Tuhan menjadi persoalan utama. 

Membicarakan Takdir sebagai pelopor modernisme, baik di majalah Pujangga Baru maupun sebagai angkatan kesusastraan Indonesia, menarik jika melihat hubungan antara ideologi dan karya-karyanya—katakanlah puisi. Dalam Tebaran Mega, puisi-puisi Takdir tidak menggaungkan ideologi yang dianutnya. Dilihat dari sudut pandang mana pun—bentuk dan isi— puisi-puisinya tidak menggambarkan sebuah modernisme yang ia gaung-gaungkan. 

Warren dan Wellek membagi psikologi sastra menjadi empat kemungkinan, antara lain, psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi; studi proses kreatif; studi tipe hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya-karya sastra; studi dampak pada pembaca (psikologi pembaca). 

Pada esai ini, saya mengambil kemungkinan kedua sebagai landasan berpikir. Pada kemungkinan ini, penyair dianggap sebagai pencipta yang puisi-puisinya diduga perwujudan persepsi hidupnya. Dengan demikian karya sastra dianggap sebagai media ekspresi seorang sastrawan, baik yang ia sadari maupun yang tak disadari. 

Ketiga puisi Takdir di bawah akan dianggap sebagai cermin dari kepribadian penyairnya. Meski demikian, pemikiran semacam ini memiliki kelemahan. Sebuah karya memang bisa berkaitan erat dengan kepribadian pengarang, tetapi bisa jadi juga tidak. Hal ini selaras dengan pendapat T.S. Eliot yang mengatakan bahwa sastra merupakan alat pengarang keluar dari kepribadiannya (escape from personality). Berikut saya akan memperlihatkan beberapa puisi yang termaktub dalam Tebaran Mega. 

 

NIKMAT HIDUP

Api menyala di dalam kalbu,
Ganas membakar tiada bergerak.
Hangus badan rasa seluruh,
Kepala penuh bersabung sinar.

Malam mata tiada terpicing,
Gelisah duduk sepanjang hari.
Rasa dicambuk rasa didera,
Jiwa ‘embara tiada sentosa.

Ya Allah, ya Tuhanku!
Biarlah api nyala dikalbu,
Biarlah badan hangus tertunu.

Api jangan Engkau padamkan,
Mata jangan Engkau picakan,
Jiwa jangan Engkau lelapkan.

14 April 1935

 

Pada bait pertama, aku lirik memiliki semangat yang membara. /Api menyala di dalam kalbu/ /Ganas membakar tiada bergerak/. Pada umumnya api memendarkan cahaya dan bersifat panas. Sifat itulah yang membuat api di sini menjelma simbol yang menunjukkan bahwa aku lirik memiliki semangat yang membara dalam kalbu. Dengan demikian, di larik kedua, api tersebut membakar tiada ragu. Artinya,semangat dalam jiwa aku lirik di sini akan terus membara

/Hangus badan rasa seluruh,/ /Kepala penuh bersabung sinar./ Di larik ketiga dan keempat ini aku lirik menggambarkan seluruh badannya yang hangus karena api. Namun, di sisi lain, api itulah yang menjadi sumber semangat aku lirik.

/Malam mata tiada terpicing,/ Kata Malam pada bait kedua larik pertama ini seperti menyiratkan keheningan atau kesunyian. mata tiada terpicing artinya aku lirik tidak bisa tidur di malam hari. Apa sebabnya? Mungkin karena aku lirik merasa jiwanya tiada aman atau gelisah. Karena di sini aku lirik mulai gelisah, ia butuh sosok yang mahasegalanya untuk berlindung, bersandar, dan seterusnya. Siapakah sosok itu? Ialah Tuhan si aku lirik. 

/Ya Allah, Ya Tuhanku!/ /Biarlah api nyala di kalbu,/ /Biarlah badan hangus tertunu./ Isi dalam bait ketiga, yaitu aku lirik menyebut untuk mengingat Tuhannya dan memohon agar semangat dalam dirinya tetap menyala meski dalam keadaan resah dan patah arang. Yang disampaikan pada bait tersebut berlanjut pada terakhir: aku lirik memohon kepada Tuhan agar semangatnya jangan pernah dihilangkan meski dalam keadaan resah dan gelisah. 

 

SESUDAH DIBAJAK

Aku merasa bajakMu menyayat,
Sedih seni mengiris kalbu.
Pedih pilu jiwa mengaduh,
Gemetar menggigil tulang seluruh.

Dalam duka semesta ini,
Beta papa, apatah daya?
Keluh hilang disawang lapang,
Aduh tenggelam dibisik angin.

Ya Allah, ya Rabbi,
Hancurkan, remukkan sesuka hati,
Sayat iris jangan sepala.

Umat daif sekedar bermohon:
Semai benih mulia raya
Dalam tanah sudah dibajak.

1 Mei 1935

 

Puisi kedua ini bercorak ekspresif di mana aku lirik semakin memperjelas harapan kepada Tuhannya. Di bait pertama ini aku lirik mengeluh sakit karena merasa dibajak oleh Tuhan. Apakah makna di balik diksi dibajak tersebut? Dibajak yang dimaksudkan aku lirik adalah sebuah ujian dari Tuhan. Hatinya sangat sedih sehingga seluruh tubuhnya gemetar menggigil.

/Dalam duka semesra ini,/ /Beta papa, apatah daya?/ Larik kedua pada bait kedua menunjukan frasa apatah daya? Apatah adalah kata interogatif untuk mengungkapkan pertanyaan retorik. Dengan penggunaan diksi tersebut aku lirik mengajak pembaca untuk terlibat dalam dialog semu dengannya. 

/Keluh hilang disawang lapang,/ /Aduh tenggelam dibisik angin./ Di dalam larik ketiga dan keempat, aku lirik merasa hilang. Perasaan hilang pada larik ketiga digambarkan semacam tersangkut di jaring laba-laba yang luas, sehingga, pada larik keempat ia tertidur oleh bisik angin

/Ya Allah, Ya Rabbi,/ /Hancurkan, remukkan sesuka hati,/ /Sayat iris jangan sepala./ Pada bait ketiga, aku lirik menunjukkan keberpasrahannya kepada Tuhan. Ia pasrah jika Tuhan berkehendak untuk menghancurkan jiwa aku lirik. Barangkali ia lelah menghadapi ujian dari Tuhan sehingga merasa tak berdaya di hadapan-Nya. 

/Umat daif sekedar bermohon:/ /Semai benih mulia raya,/ /Dalam tanah sudah dibajak./ Di bait terakhir ini aku lirik benar-benar berharap kepada Tuhan agar ujian yang ditimpakan kepadanya segera usai.

 

TIADA TERTAHAN

Tanah dipijak serasa air,
Dahan dipegang menjadi awang,
Pandangan ke depan mengabut awal,
Menoleh belakang gulita semata.

Terbang diri ditiup angin,
Tiada berarah tiada bertuju,
Terhempas ke bumi tertepuk ke batu,
Kejam didera ganas disiksa.

Ya Allah, ya Tuhanku,
Benamkan beta di api nyala,
Bakar beta di api nyala.

Sangsi begini tidak tertanggung:
Di laut tidak di darat tidak,
Segala penjuru kabut mengepung.

3 Mei 1935

 

Di puisi terakhir, aku lirik seperti sudah patah arang. /Tanah dipijak serasa air,/ /Dahan dipegang menjadi awang./ Di bait pertama larik pertama, tanah yang dipijak terasa seperti air. Ke-terasa-an yang ganjil. Namun, pengalaman aneh beta lirik itu tak berhenti di larik pertama: dahan atau batang pohon yang dipegang pun menjadi awang yang tak kalah muskil. Dari keganjilan yang berturut-turut itu, bolehlah kita mengira-ngira, bahwa aku lirik merasa semacam halusinasi akibat masalah yang dihadapinya.

Pada bait kedua, aku lirik merasa dirinya sudah putus asa dan tidak memiliki arah tujuan. Ia sudah terlalu larut dalam kesedihannya. Dalam suasana larut-dalam kesedihan itu, di bait ketiga aku lirik kembali mengingat Tuhan. Barangkali di sini aku lirik sudah berada dalam puncak kesedihannya, bahkan meminta agar dibakar dalam api.

/Sangsi begini tidak tertangung:/ Pada larik pertama bait keempat tersebut, aku lirik merasa dirinya sudah tidak sanggup lagi menahan kesedihan atas segala yang menimpa dirinya. Larik pertama ini benar-benar mengungkapkan kejujuran aku lirik yang sudah tidak tahan dengan ujian Tuhannya.

Dari pembahasan ketiga puisi di atas dapat disimpulkan bahwa sosok yang dihadirkan Sutan Takdir Alisjahbana berbeda dengan pribadi dalam karya-karya sebelumnya yang cenderung teguh dan modernis. Aku lirik pada Tebaran Mega bersifat patah arang dan hilang arah, bertolak belakang dengan kepribadian Takdir, si pengarang.

 

Wardedy Rosi adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Madura. Ia menulis esai dan reviu buku di media cetak dan maya.

 

 

Editor: Ikrar Izzul Haq

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Park dan Roman Klise

24 September 2025 - 20:31 WIB

Anastomosis Maut dan Cinta

6 September 2025 - 13:00 WIB

Memandang Cinta dari Jauh

3 September 2025 - 16:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni