I.
Membaca puisi-puisi Goenawan Mohamad, kita seakan dihadapkan pada realitas yang serba-paradoks. Pembaca seakan-akan mampu merasakan (atau hanya meraba-raba [?]) apa yang hendak dikomunikasikan oleh penyairnya, tetapi dalam saat bersamaan, sekaligus tidak sama sekali. Realitas yang disajikan Goenawan Mohamad dalam puisinya, sering berwujud semesta yang tak utuh, dunia yang tampil cuma separuh. Tak hanya itu, kita pun sekali kala berhadapan dengan frasa-frasa yang ganjil. Bulan marly, misalnya. Tapi, seakan-akan kita pun merasakan, dalam “kerumitan” itu, “keindahan” berjalin-kelindan. Kita terjebak di antara tegangan yang tarik-ulur antara keduanya dalam saat yang serentak.
“Namun, bagaimanakah sesungguhnya menandai utuh tidaknya sebuah teks, dalam hal ini puisi?”
Menggunakan ancangan semiotika Roland Barthes, Puji Santosa menjelaskan lima kode semiotik yang jamak dikenal sebagai “modus transaksi amanat”. Kelima modus yang terdiri atas: Kode teka-teki (the hermeneutic), kode konotatif (the code of seines of signifiers), kode simbolis (symbolic code), kode aksian (the proarietic code), dan kode budaya (the cultural code of references code). Kode tersebut berfungsi sebagai ancangan bagi pembaca untuk untuk menginterpretasi pesan dalam sebuah karya sastra. Tujuannya jelas, agar pembaca tidak sia-sia dalam menginterpretasi makna yang hendak digalinya. Dalam proses penciptaan karya sastra, kelima kode tersebut besar kemungkinan disimpangi. Penyimpangan itu tentu dilakukan secara sadar, sebagai upaya mencapai derajat artistik tertentu. Kendati demikian, Santosa menerakan garis bawah tebal, penyimpangan-penyimpangan ini tidak akan dilakukan terhadap seluruh kode di atas. Sebab dengan begitu, karya tersebut akan menjadi “tidak komunikatif”. Kelima kode tersebut pada dasarnya saling membentuk suatu jaringan yang berkaitan satu dengan yang lain, dan dengannyalah, karya sastra menjadi teks yang “bulat” dan “utuh”.
Masalahnya adalah, “Mestikah sebuah puisi bulat nan utuh? Salahkah puisi jika ia tak komunikatif?”
Pernyataan Santosa 32 tahun lalu itu, yang juga terdapat dalam bukunya di kemudian hari, akan sangat berbenturan bahkan runtuh bila dihadapkan pada sejumlah puisi GM. Betapa banyak, saya pikir, puisi GM yang bila dicermati, seakan melanggar kode-kode dalam modus transaksi amanat di atas—atau sebaliknya, kode transaksi amanat memang tidak gathuk dengan puisinya? Perhatikan puisi “Senja pun Jadi Kecil Kota pun Jadi Putih” berikut.
Senja pun Jadi Kecil
Kota pun Jadi Putih
Senja pun jadi kecil
Kota pun jadi putih
Di subway
aku tak tahu saat pun sampai
Ketika berayun musim
dari sayap langit yang beku
ketika burung-burung, di rumput-rumput dingin
terhenti mempermainkan waktu
Ketika berdiri sunyi
pada dinding biru ini
menghitung ketidak-pastian dan bahagia
menunggu seluruh usia
1966
Bertitimangsa 1966, sajak ini dibuka dengan dua larik yang imajis—dua larik, yang, diterakan juga sebagai tajuknya. Dua larik imajis itu membentangkan lanskap: senja yang menjadi kecil, dan kota yang menjadi putih. Kita tahu, dua larik ini disusun secara paralel, di mana keparalelan tersebut diindikasikan dengan adanya pengulangan pun dan jadi—dalam satu larik kalimat yang identik. Efek yang ditimbulkan dari penyusunan larik kalimat yang disusun sedemikian rupa ini, ialah timbulnya semacam efoni atau kemerduan. Kemerduan ini, terasa amat menghanyutkan, sampai-sampai kita tak sadar bahwa sang penyair seakan-akan sedang memasang umpan. Kita pun terkecoh. Imaji tersebut ganjil. Dahi kita dibuat berkerut-bingung membayangkan senja yang kecil dan kota yang putih. Senja dan kota yang bagaimanakah kiranya, yang jadi kecil dan putih?
Dua larik tersebut, kemudian, disusul oleh larik: /Di subway/ /aku tak tahu saat pun sampai/, yang sekaligus, menjadi penutup bait pertama. Sampai di penutup bait ini pun, kita—pembaca—masihlah seorang penumpang yang gamang; tak tahu pasti ke mana tujuan, tak menemukan apa-apa selain lanskap yang ganjil dan kemerduan bunyi belaka. Dan kemerduan, betapapun itu, tak kuasa menimbun teka-teki. Maka begitu sampai di pijakan pertama ini, saya meraba-raba, “Siapa yang sampai di subway? Aku, ataukah Saat?” Kita tahu, saat di sana menduduki fungsi sintaksis sebagai “objek”. Karenanya, ia mungkin sebuah “nomina”; ia mungkin juga berarti “waktu” (?). Jika demikian, “Waktu-kah yang sampai di subway?”
Terhenyak dari imajinasi yang dibangun melalui struktur dan kata nan kompleks itu, saya pun seakan sadar bahwa rupanya, “saya” tidak ubahnya aku lirik yang tak tahu saat pun sampai itu, di kota yang menjadi putih, dengan senja yang menjadi kecil. Kita sebetulnya patut curiga dengan cara kerja penciptaan puisi GM. Terutama dalam caranya memilih kata dan membentuk frasa. Sering saya membayangkan, GM layaknya seorang anak kecil yang sedang bermain lego. Anak kecil, sering memasangkan satu bagian lego dengan satu bagian lainnya secara acak. Mereka tak berpikir apakah satu bagian lego dengan yang lain adalah pasangan yang sesuai atau tidak. Lego pun terbentuk, tapi tidak dengan wujud yang bagi mata dewasa kita paripurna.
Tapi, anak kecil yang tak ambil-pusing antara “sesuai-tak sesuai” itu, kita tahu, menciptakan bentuk yang sama sekali tak terpikirkan. Dan itu artinya, “kreativitas” sedang bekerja. Bagian atap rumah mungkin dipasang menjadi ubin, pun sebuah lengan terletak di leher. Namun, GM bukan anak kecil yang tak paham antara yang “sesuai” dan “tak sesuai”, tentu saja. Siapa pun mengetahui dan bahkan menyakini itu. Kata kecil pada larik /Senja pun jadi kecil/ dan kata putih pada kalimat setelahnya /Kota pun jadi putih/, tentu tak ditulis dengan asal comot kata yang berserakan di hadapan mata begitu saja. Seorang GM hampir pasti, saya kira, memiliki sejumlah pertimbangan dalam memilah-milih kata. Tapi, kita pun juga sangsi, jangan-jangan /Senja pun jadi kecil/ dan /Kota pun jadi putih/ memang ditulis dengan cara seperti seorang anak kecil yang menyaut satu-dua bagian lego secara acak, kemudian semerta-merta memasangkannya?
Ketika berayun musim
dari sayap langit yang beku
ketika burung-burung, di rumput-rumput dingin
terhenti mempermainkan waktu
Ketika berdiri sunyi
pada dinding biru ini
menghitung ketidak-pastian dan bahagia
menunggu seluruh usia
Kedua bait di atas, lagi-lagi membentangkan sebuah lanskap visual: sayap langit yang beku dari musim yang berayun, hingga burung-burung di rumput-rumput dingin yang terhenti mempermainkan waktu. Bait kedua dibangun menggunakan pola kuatrin seperti bait pertama, dengan penyusunan pola permainan bunyi yang rapi. Tak ada yang ganjil dari bait ini—atau mungkin belum (?).
Imaji yang disajikan GM dapat kita bayangkan dengan jelas. Namun, bait kedua di atas terbilang menarik, jika kita cermati bagaimana sang penyair memilih kata musim, alih-alih cuaca. Secara literal, musim adalah eksponen waktu. Musim bertalian dengan iklim. Musim hujan, misalnya, berarti waktu di mana langit mencurahkan mata airnya hampir setiap hari. Larik pertama bait kedua, bila disusun secara berkesinambungan dengan larik setelahnya, maka akan berbunyi: Ketika berayun musim dari sayap langit yang beku. Di sinilah, ambiguitas muncul.
Secara semantis, sebab GM memakai kata musim, maka semestinya, gejala yang dipakai untuk mengindeks musim bukanlah langit yang beku. Sebagai pengandaian sederhana, jika seseorang menyebut “musim panas”, misalnya, apakah kiranya gejala yang menandai musim tersebut? Kita dapat menyebut sejumlah eksponen: mungkin matahari yang terpancang di langit, mungkin langit siang yang terlihat jingglang, mungkin panas terik yang serasa ditumpahkan ke sekujur jangat. Artinya, musimlah yang membuat gejala-gejala itu muncul. Gejala itu hanya berfungsi sebagai sarana yang mengindeks musim. Tapi apa yang ditulis GM justru sebaliknya, langit yang beku-lah yang membuat musim berayun.
Pada larik setelahnya, GM menulis: /ketika burung-burung, di rumput-rumput dingin/ /terhenti mempermainkan waktu/. Dua larik ini bertalian dengan dua larik sebelumnya. Kegamangan kita memudar, karena dua larik ini seakan menjadi penjelas perihal musim yang berayun dan langit yang beku. Kita mungkin akan membayangkan sekawanan burung berada di atas rumput, yang dingin atau basah, setelah musim berayun dari langit yang beku (setelah hujan redakah (?)). Namun, tak perlu waktu lama hingga akhirnya kita menyadari, dalam imaji yang tampak lugas pun, ambiguitas itu tetaplah dominan. Sebuah penafsiran yang salah, saya kira, bila beku difungsikan sebagai penanda (signifiant) untuk petanda (signifie) hujan. Dalam relasi semiotik, kendatipun relasi penanda-petanda tersebut dikembangkan ke tahap sekunder sehingga menghasilkan konotasi, kata beku yang memberikan konotasi sifat yang padat nan kaku, tak akan berkonotasi ke sesuatu yang cair.
Pemandangan visual yang ditulis GM pada bait kedua itu, kemudian ia lanjutkan pada bait ketiga. Pada bait ini, GM menulis: /Ketika berdiri sunyi/ /pada dinding biru ini/ /menghitung ketidak-pastian dan bahagia/ /menunggu seluruh usia/. Memasuki bait ketiga, chaos itu menginterupsi kembali. Perhatikan bagaimana baik bait kedua maupun ketiga, diawali dengan penghubung ketika. Alih-alih ketika di sana menunjukkan satu koherensi bait-perbait (bait satu, dua, dan tiga), justru sebaliknya, ketika memunculkan ambiguitas. /Ketika berayun musim/ /dari sayap langit yang beku/ /ketika burung-burung, di rumput-rumput dingin/ /terhenti mempermainkan waktu/, setelahnya apa? /Ketika berdiri sunyi/ /pada dinding biru ini/ /menghitung ketidak-pastian dan bahagia/ /menunggu seluruh usia/, selepasnya apa? Tak ada! Penyair seakan sengaja membuat sajaknya menjadi tanggung, bahkan rumpang. Sajak itu tak utuh. Tak selesai. Tetapi ketidakselesaian itu menyelesaikan segalanya, termasuk pembacaan kita. Tentu, tidak dengan enigma yang ditimbulkan olehnya.
II.
Apabila seorang pembaca, saya misalnya, diminta untuk merumuskan impresi atas pembacaan terhadap sejumlah puisi GM (puisi di atas, misalnya) barangkali kalimat yang, sekurang-kurangnya ingin saya sampaikan adalah, “Sajak-sajak Goenawan Mohamad adalah sajak-sajak yang ditulis justru dengan etos untuk berpretensi pada suatu tujuan komunikatif.” Bukan berarti, kita lantas tak menemukan makna apa pun dari sajak-sajak yang ditulisnya. GM mungkin, hanya ingin—jika boleh meminjam ungkapannya dalam sajak Asmaradana—“mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba” atau, jika kita pinjam ungkapan Subagio, “menerjemah gerak daun yang tergantung di ranting yang letih.” Tak kurang, tak lebih.
Di dalam puisi, makna sering kita pandang sebagai sebuah kepastian. Ia, dengan keyakinan penuh-seluruh, kita yakini terkadung di dalam sebuah teks. Karenanya, pembaca sering bertungkus-lumus memburunya. Padahal, sangat dimungkinkan, puisi adalah upaya yang ditempuh seorang penyair untuk meruntuhkan menara hierarki antara pengertian dan pembacaan. Pembaca acapkali bersujud di kaki pengertian. Hasrat untuk menemukan arti yang demikian obsesif ini, tak ubahnya sindrom menara babel. Hasrat tersebut begitu tinggi dan menguasai, seolah-olah, menemukan keberartian adalah puncak daripada kepuasan. Tapi, puisi, kadang—bahkan sering—merobohkan hasrat itu, kepuasan itu. Sajak lain yang saya kutip adalah “Dingin Tak Tercatat”. Berikut saya lampirkan secara utuh.
Dingin Tak Tercatat
Dingin tak tercatat
pada termometer.
Kota hanya basah.
Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi kita tetap saja
di sana. Seakan-akan
gerimis raib
dan cahaya berenang
mempermainkan warna.
Tuhan, kenapa kita bisa
bahagia?
1971
Ketika membaca sajak tersebut, satu hal yang terasa amat menguasai psikis saya selaku pembaca: nuansa “ngungun” nan “terasing.” Sajak itu dibuka dengan kalimat yang tak benar-benar kita mengerti: Dingin tak tercatat pada termometer. Kemudian, dilanjutkan dengan, kota hanya basah. Pada Dingin tak tercatat pada termometer, ada dua kata yang dapat kita garisbawahi sebagai semacam, katakanlah, kata kunci: “dingin” dan “termometer.” Termometer, sebagaimana kita tahu, adalah alat yang berfungsi untuk mengukur temperatur/suhu. GM tak menyebut ukuran kuantitatif di sana. Tapi ketika kita membaca larik setelahnya: kota hanya basah, kita pun mafhum, bahwa kalimat yang dibangun dengan sintaksis yang amat menarik itu, ia jadikan sebagai pengganti ukuran kuantitatif tersebut. Larik /kota hanya basah/ mungkin dapat diartikan dengan “tidak lebih dari; sekadar; cuma”. Tetapi, mari kita cermati ulang larik tersebut.
“Tidakkah hanya di sana, justru menyiratkan keadaan yang “total”? Bahwa kota di sana “sungguh-sungguh seluruhnya” hanya basah di manapun dan ke manapun pandang disauhkan? Keadaan yang—jika dihubungkan dengan pembuka sajaknya—telah membuat dingin sampai tak tercatat pada termometer?”
Sayangnya, sebelum bahkan dagu kita tuntas mengangguk mafhum, imaji yang dibangun GM pada bait setelahnya, pelan-pelan dan dengan cara yang elegan, seakan ingin meruntuhkan pijakan awal kita. Ketika membaca bait: /Angin sepanjang sungai/ /mengusir, tapi kita tetap saja/ /di sana. Seakan-akan/ /gerimis raib/ /dan cahaya berenang/ /mempermainkan warna/, imaji-imaji yang ditulis GM dengan amat liris nan lembut itu membentangkan pada kita tentang subjek-lirik yang tetap saja duduk di sana; di tritisan sungai, padahal angin sepanjang sungai—angin pada saat di mana dingin sampai tak tercatat pada termometer—terus mengusir.
Tak ada bayangan yang jelas atas kata “kita” sebagai pronomina persona pertama jamak di sana merujuk kepada siapa. Mungkin antara penyair dengan seseorang yang lain—yang tak pernah kita tahu ia siapa. Mungkin juga merujuk kepada pembaca sajaknya, yang artinya, sang penyair ingin mengajak pembaca untuk masuk dan membayangkan atau merasakan suasana “ngungun” nan “terasing” yang ia tuliskan di sana. Sangat menarik melihat bagaimana GM menyigi bahasa dalam sajaknya.
Pada kelanjutan nuansa “ngungun” dan “terasing” di sepanjang sungai ketika angin mengusir itu, GM menulis: /Seakan-akan/ /gerimis raib/ /dan cahaya berenang/ /mempermainkan warna/. Larik-larik tersebut semakin mempertegas kedua nuansa yang telah dihadirkan, bahwa “kemurungan” dan “keterasingan” yang dirasakan oleh Kita mampu membuat seakan-akan gerimis raib dan cahaya berenang mempermainkan warna. Membayangkan visualisasi dari gerimis yang seakan raib dan cahaya yang berenang sungguh seperti memberikan satu pemahaman bagaimana puisi bergerak di antara hubungan yang dijahit oleh “bunyi” dan “imaji”.
Realitas di dalam puisi, agaknya tak lebih berupa sugesti, yang dimunculkan oleh suara, lagu, irama, dan rasa yang timbul oleh jalin-kelindan unsur-unsurnya. Music above all else, kata Verlaine. Arti, di dalam puisi hanyalah apa yang kita sentuh lewat sugesti yang dihasilkan jalinan bunyi. Tak ayal, Pradopo (2018) menyebutkan bahwa tugas puisi (sebagai kristalisasi simbol verbal) adalah mendekati kenyataan-kenyataan (yang hanya dapat dirasakan melalui sugesti bunyi tersebut), dengan cara tak usah memikirkan arti katanya. Melainkan, dengan mengutamakan suara, lagu, irama, dan rasa yang timbul karenanya, dan tanggapan-tanggapan yang mungkin dibangkitkannya. Dengan demikian, bunyi mendesak arti, alih-alih yang sebaliknya. Sebab ketika justru arti lebih digdaya, bukan tidak mungkin, sebuah teks puisi akan merupa sebuah jargon. Kita tentu saja tak tahu bagaimana konkretnya GM mencipta puisi. Tapi dari imaji yang ia tampilkan—sekurang-kurangnya, melalui puisi yang kini kita kuliti—tahulah kita bahwa kata-kekata dipertimbangkan untuk tidak hanya mencapai efek merdu pada taraf tertentu, tetapi sekaligus juga memaksimalkan pelbagai fungsi bahasa itu sendiri.
Jakobson dalam Teeuw (1984: 60) menjelaskan enam fungsi bahasa, yang salah satunya adalah poetic function of language. Bahwa di dalam pengungkapan bahasa mana pun, akan selalu ada satu fungsi paling dominan di antara enam fungsi bahasa yang ada (ekspresif/emotif, fatik, konatif, referensial, metalingual, dan puitik). Kendati demikian, ia mengonfirmasi bahwa hal tersebut bukan berarti menafikan kelima fungsi yang tak dominan. Di dalam puisi, fungsi puitiklah yang dominan di antara enam fungsi yang jadi kerabatnya. Dalam fungsi puitik, acuan di luar bahasa bukanlah yang utama. Melainkan kata atau pemakaian bahasa itulah yang menjadi pusat perhatian. Pandangan Jakobson sekaligus memberikan afirmasi dari apa yang dijelaskan oleh Pradopo tentang simbolisme sebelumnya. Maka bagi pembaca yang menikmati teks, yakni pembaca yang menempatkan dan mengembalikan puisi sebagai teks itu sendiri, barangkali akan lebih tertarik mempertanyakan, “Mengapa gerangan penyair memilih kata raib di antara sekian kata yang sebanding? Mengapa penyair meletakkan kata berenang alih-alih kata yang lain?” ketimbang, misalnya, “Apa makna yang terkadung di dalam puisi tersebut?”
Hal tersebut agaknya berhubungan dengan prinsip konstitusi puisi, yang menurut Jakobson, adalah ekuivalensi. Pada praktiknya, ekuivalensi ini dirumuskan Jakobson melalui ungkapannya yang terkenal: The poetic function projects the principlen of aquivalence from the axis of selection into the axis of combination. Fungsi puitik memproyeksikan prinsip ekuivalensi dari poros seleksi “parataksis” ke poros “kombinasi” (sintaksis). Dari sini, kemudian dapat kita tarik satu hubungan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas, perihal pemilihan kata raib dan berenang.
Ini sekaligus meruntuhkan asumsi liar kita bahwa penyair asal mencomot kata seperti seorang anak belum cukup umur bermain lego. Bahwa dalam kerja menyigi bahasa, sistem bahasa akan menyediakan kemungkinan-kemungkinan kata yang sinonimi: raib sebanding dengan hilang, tandas, musnah, muspra, dll., untuk kemudian penyair menimbang segi yang menonjolkan ekuivalensi dari sejumlah kemungkinan yang disediakan sistem bahasa tersebut. Adapun ekuavalensi itu dapat terwujud dalam pelbagai macam gejala: bunyi, tata bahasa, hingga semantik. Perhatikan skema di bawah ini.
Hilang
Tandas
Raib Gerimis poros sintaktik
Musnah
Muspra
“Mengapa gerangan penyair memilih kata raib di antara sekian kata yang sebanding?” Jawabannya jelas, di antara sejumlah kemungkinan kata yang sejajar, secara semantis, barangkali kata-kata yang sejajar memang memiliki ke-ekuivalensi-an. Namun, konsep dasar fungsi puitik, tidak ditarik berdasarkan itu. Ia diproyeksikan dari poros parataktik ke poros sintaktik. Dalam kata lain, hubungan kata. Bahwa di antara sinonim-sinonim yang tersedia, yang disajikan oleh sistem bahasa, raib dengan gerimis memiliki ekuivalensi yang menonjol dalam hal bunyi kata. Begitupun yang terjadi pada: cahaya berenang mempermainkan warna.
Puisi “Dingin Tak Tercatat” dipungkasi dengan pertanyaan falsafi: Tuhan, kenapa kita bisa bahagia? Membaca larik ini, kita merasa GM tiba-tiba saja melompat demikian jauh. Seakan-akan puisi itu menarik ulur pembacaan kita dari yang konkret ke yang abstrak; yang wadak ke yang niskala. Sialnya, hal itu disampaikan secara serentak tanpa memberi kesempatan bagi kita untuk mencari titik lompatnya. Kita boleh saja dengan gegabah menyebutnya sebagai sajak yang rumpang, inkoheren, dan karena itu, tak utuh. Tapi justru di sanalah titik koordinatnya. Ketidakselesaian, adalah penyelesaian itu sendiri. Lagi pula kita memang kerap terjebak pada petak-petak konseptual yang kita bikin sendiri. Kita membedakan antara yang profan dan yang sakral, yang imanen dan yang transenden. Sementara terkadang—bahkan sering—keduanya saling-silang, timpa-menimpa. Terhadap yang konseptual seperti telah disebutkan, puisi, seringkali bekerja dengan cara melampauinya.
Yohan Fikri adalah penulis kelahiran Ponorogo. Merampungkan studinya di Universitas Negeri Malang.
Editor: Ikrar Izzul Haq