Madura kontemporer adalah Madura dengan anak-anak muda—juga generasi dewasanya—yang menggandrungi lagu-lagu pop dalam bahasa ibunya. Lagu-lagu pop tersebut menggema di seantero kampung, di angkutan umum, di hajatan-hajatan, di kedai-kedai kopi, bahkan sebagian di kota dan di kampus ketika mahasiswa sedang rehat. Lagu-lagu dengan lirik yang berpotensi bikin baper ini dengan syahdu dibawakan para pengamen dan turut disenandungkan oleh yang mendengarnya.
Yang dimaksud lagu-lagu pop di sini tidak seperti pengertian pada umumnya. Lagu-lagu pop di sini merangkul semua genre musik yang digemari massa. Dalam konteks tulisan ini, lagu-lagu pop tersebut antara lain musik pop Melayu, dangdut, dan gambus. Ketiga genre yang oleh saya dikategorikan sebagai lagu pop inilah seni massa yang kini merajai selera masyarakat Madura, terutama kalangan mudanya.
Meskipun dianggap telah muncul sejak awal milenium 2000, lagu-lagu pop berbahasa Madura makin menggaung kira-kira satu dekade terakhir. Mungkin popularitas lagu-lagu pop berbahasa Madura didorong oleh perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang kian canggih. Adanya media sosial dan wahana seperti Youtube yang rata digunakan baik oleh masyarakat kota maupun desa, masyarakat terpelajar atau yang tidak, berperan besar atas popularitas lagu-lagu pop berbahasa Madura.
Bahasa Madura yang digunakan dalam lirik lagu-lagu pop ini merupakan bahasa Madura berbagai daerah, mulai Sumenep hingga Bangkalan dengan ragam bahasa yang juga campuran. Namun, dialek Sumenep ragam halus mendominasi. Meskipun lirik-liriknya didominasi bahasa Madura Sumenep halus, produsen lagu-lagu pop ini kebanyakan berasal dari Madura bagian barat (Sampang dan Bangkalan). Pemilihan bahasa Madura Sumenep halus sebagai diksi dalam lagu-lagu pop tersebut barangkali karena dianggap memiliki bunyi dan nilai kesusastraan yang lebih baik ketimbang kosa-bahasa Madura di daerah lainnya.
Budayawan, seniman, dan media jurnalistik juga ikut andil dalam merevitalisasi bahasa Madura. Di Madura, lembaga-lembaga bahasa Madura seperti Pakem Maddhu memiliki program-program kerja yang berkaitan dengan penyintasan dan pengembangan bahasa ibu. Pementasan drama tradisional seperti ludruk dan kidung masih menggunakan bahasa Madura dalam pertunjukannya. Sastrawan-sastrawan seperti Lukman Hakim Ag, M. Tauhed Supratman, Mat Toyu Aradana, Zainal A. Hanafi, N. Shalihin Damiri, dan sebagainya menulis fiksi dan prosa dalam bahasa Madura, bahkan bebera di antaranya menerima penghargaan Rancage—sebuah anugerah sastra berbahasa daerah yang didirikan Ajip Rosidi. Para penulis berbahasa Madura ini juga terbantu oleh media cetak seperti Radar Madura, Jokotole, atau media maya seperti Arsip Puisi Penyair Madura dan Arsip Prosa Madura untuk menampung karya-karya mereka.
Ada banyak upaya untuk merevitalisasi bahasa Madura. Salah satunya, yaitu dengan mengenalkan karya seni (musik) pop berbahasa Madura yang diharapkan dapat merevitalisasi Bahasa Madura. Hal ini menjadi salah satu upaya agar para remaja atau anak muda mengenal kosakata Madura yang ada. Untuk memperkaya kosakata, anak muda tidak hanya memerlukan adanya pembelajaran bahasa Madura, tetapi bisa melalui media lagu pop berbahasa Madura.
Aktivitas bersastra dalam bahasa ibu memiliki peran strategis dalam pemertahanan, pengembangan, dan pertukaran budaya antargenerasi atau antarkelompok. Beberapa aktivitas bersastra juga tergambar dalam lagu-lagu daerah, seperti album Ahmed Habsyi yang saat ini populer di Madura dan digemari masyarakatnya, khususnya anak-anak muda. Seiring perkembangan zaman, lagu-lagu ini banyak diputar di acara-acara seperti pernikahan dan selamatan. Selain lirik-liriknya memakai metafora, lagu-lagu ini juga banyak menggunakan rima. Karena menggunakan peranti sastra, lirik-lirik lagu pop berbahasa Madura dalam konteks ini dianggap seperti puisi. Maka, tulisan ini menggunakan dalil-dalil ilmu sastra sebagai landasan teoretisnya.
Pada zaman Renaisans di Amerika, sebagaimana yang disinggung Rene Wellek dan Austin Warren, penyair-cerpenis Edgar Allan Poe menggugat konsep bahwa puisi bersifat didaktis. Namun, konsep sastra yang umum pada zaman itu berbeda dengan istilah didactic heresy yang dilontarkan Poe: Sastra berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Karya sastra memiliki dua fungsi yang sesuai dengan wataknya. Kedua fungsi tersebut, yaitu kesenangan dan manfaat (dulce dan utile) saling mengisi. Ragam bahasa karya sastra penuh asosiasi, irasional, dan ekspresif untuk menunjukkan sikap penulisnya sehingga menimbulkan dampak tertentu bagi pembaca, seperti memengaruhi, membujuk, dan mengubah sikap pembacanya.
Lagu-lagu pop berbahasa Madura yang banyak diputar orang-orang Madura ditulis dengan lirik yang menggunakan kosakata dari keempat kabupaten (Sumenep, Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan). Lagu-lagu ini juga menggunakan ragam bahasa campuran. Bahkan, lagu-lagu tersebut kadang menyerap bahasa Indonesia dan menggunakan campur kode bahasa Madura-Indonesia. Maka, secara tidak langsung, lagu-lagu pop berbahasa Madura turut menambah kosakata bahasa Madura, terutama bagi anak-anak muda yang mendengarnya. Perbedaan tempat tinggal membuat anak-anak muda mengenal kosakata atau dialek di daerah lainnya. Sementara itu, perbedaan usia juga memperkaya perbedaharaan kosakata ketika anak-anak muda menemukan diksi yang jarang digunakan generasi mereka, tetapi sering dipakai generasi yang lebih tua.
Seperti salah satu lagu Madura yang saat ini sedang viral, Matèya Manjheng (Kholis, 2018), misalnya, liriknya menggunakan kosakata yang tidak sering dipakai dalam percakapan anak-anak muda sehari-hari.
Tèmbhâng nga’ nèka
Lebbi bhâgus du bulâ buta
Ta’ ngatèla’a dhika asandhing bân laènna
Aèng mata beng-rembeng
Ngabâs dhika neng-senneng
Ta’ kowat bulâ mandheng
Rassa matèya manjheng
Malo rassa atè, bulâ sala ngartè’è
Ngarep mabhunga atè tapè masakè’ atè
Pada bait tersebut, kosakata asandhing dan mandheng jarang digunakan anak-anak muda Madura masa kini. Kata asandhing memiliki arti bergandeng. Dalam sintaksis bahasa Madura, kata ini sering dipakai dalam konteks sedang bersama. Namun, kata asandhing lebih banyak digunakan generasi lebih tua. Anak-anak muda Madura lebih sering menggunakan kata abhâreng daripada asandhing. Kata asandhing juga memiliki nuansa lebih halus dan sastrawi ketimbang abhâreng.
Adapun kata mandheng memiliki arti menatap. Namun, anak-anak muda di Madura lebih sering menggunakan kata ngabâs (melihat) ketimbang mandheng meskipun tentu saja kedua kata ini memiliki intensitas yang berbeda. Kata menatap merupakan kata kerja yang lebih intens daripada melihat sebagai perbedaan intensitas antara menyimak dengan mendengar. Seperti asandhing, kata mandheng lebih kerap digunakan generasi lebih tua ketimbang anak-anak muda di Madura. Dalam bahasa Madura, kata mandheng memiliki intensitas, arti yang sama, dan senuansa dengan kata ajhelling.
Di Madura, bahasa tinggi diajarkan kepada anak-anak di madrasah atau pesantren. Di sekolah-sekolah umum di desa, bahasa pengantar dalam proses belajar-mengajar masih jamak menggunakan bahasa Madura. Namun, bahasa Madura halus kerap diajarkan di madrasah atau pesantren. Mengajarkan bahasa halus kepada anak-anak dianggap urgen, sebab anak yang tidak bisa menggunakan bahasa halus dalam konteks percakapan yang tepat akan dinilai tidak punya etika.
Lirik lagu-lagu yang menjadi objek penelitian ini kebanyakan menggunakan bahasa menengah. Strata bahasa menengah digunakan karena lagu-lagu tersebut menarasikan tentang hubungan asmara. Hubungan asmara tersebut lumrahnya dijalani sepasang laki-laki dan perempuan yang berusia relatif setara. Dengan demikian, masuk akal jika lagu-lagu tersebut menggunakan bahasa menengah. Sebenarnya bahasa kasar juga lumrah digunakan dalam percakapan seusia. Namun, bahasa menengah akan lebih cocok digunakan dalam lirik lagu karena nuansanya lebih lembut dan terdengar lebih intim ketimbang bahasa tinggi yang terdengar formal.
Meskipun pada umumnya menggunakan bahasa Madura menengah, lirik-lirik lagu tersebut juga menyisipkan kosakata halus dan kasar. Akhirnya, dalam satu bait, misalnya, terdapat campuran antaragam, seperti yang terdapat pada lagu Banni Jhudu (Habsyi, 2020).
Pasayangè pagghun apèsa
‘Nèka paparèngan sè kobâsa
Pastè lebbi bhâgus tantona
Bait tersebut menggunakan tiga ragam bahasa Madura, yaitu halus, menengah, dan kasar, bahkan juga meminjam kosakata bahasa Indonesia. Kata ‘nèka (yang merupakan kependekan dari kata panèka) merupakan ragam bahasa menengah yang berarti ‘ini’. Kata bhâgus merupakan kosakata bahasa Madura kasar yang berarti ‘baik’. Sementara itu, kata paparèngan merupakan kosakata bahasa Madura tinggi yang berarti ‘pemberian’. Adapun kata pasayangè merupakan pinjaman dari bahasa Indonesia, yaitu ‘sayang’ yang mendapat imbuhan bahasa Madura sehingga memiliki arti ‘sayangi’. Pinjaman kosakata bahasa Indonesia ini juga muncul dalam lagu Baras Kerrong (Habsyi, 2021), Edhina Abhakalan (Salju, 2018), dan Ghantongna Ate (Icha dan Fajar, 2022).
Campur antaragam bahasa tersebut juga digunakan dalam lirik lagu Nanges Ta’ Asowara (Nabila, 2018).
Allah pakowat abdhina
Dâlem narèma takdir ‘nèka
Allah sè ngator sadhâjâ
Dhika bân bulâ pasabbârâ
Pada bait pertama lagu tersebut, abdhina merupakan kata dalam ragam bahasa Madura tinggi yang berarti ‘saya’. Sementara itu, kata ‘neka (yang merupakan kependekan dari kata panèka) adalah ragam bahasa menengah yang berarti ‘ini’. Adapun kata bân (yang merupakan kependekan kata kalabân) adalah kata dalam ragam bahasa Madura kasar yang berarti ‘dan’.
Pada lagu-lagu tertentu, sejumlah kata dalam ragam bahasa Madura kasar mendominasi. Di lagu Edhina Abhakalan (Salju, 2018), misalnya, beberapa baitnya didominasi kata dalam ragam bahasa Madura kasar.
Lambâ’ sè ngoca’ cinta
Lamun bânni bulâ ta’ alakèya
Bahkan, sampè’ asompa
Mon pas lo’ judhu aghu’an matèya
Tingkat campuraduk ragam bahasa dalam bait di atas cukup tinggi. Lambâ’ (dahulu), ngoca’ (berkata), lamun (namun), ta’ (tidak), alakèya (bersuami), mon (jika), lo’ (tidak), aghu’an (lebih baik), dan matèya (mati saja) merupakan kata-kata dalam ragam bahasa Madura kasar. Lo’ adalah kata yang dipakai dalam dialek Bangkalan. Sementara itu, cinta dan bahkan merupakan kosakata bahasa Indonesia. Adapun bulâ (saya), merupakan kosakata dalam ragam bahasa Madura menengah.
Secara tidak langsung lirik lagu-lagu di atas mengajarkan ragam bahasa Madura kepada pendengarnya, khususnya anak muda. Kata-kata dalam strata bahasa tersebut juga menunjukkan betapa kayanya sinonim dalam bahasa Madura. Namun, di sisi lain, kita juga sadar bahwa kosakata-kosakata dalam bahasa Indonesia menyusup masuk, baik dalam lagu maupun percakapan sehari-hari orang Madura meskipun kata-kata tersebut ada padanannya dalam bahasa Madura. Hal ini tidak terlepas dari betapa berpengaruhnya teknologi komunikasi dan informasi terhadap perkembangan bahasa daerah.
Orang-orang Madura dikenal sebagai manusia yang bersastra. Bahkan, dalam dunia sastra nasional, Madura dikenal sebagai Pulau Penyair. Hal ini disebabkan oleh betapa seringnya anak-anak Madura yang kerap berpartisipasi dalam perhelatan-perhelatan sastra nasional seperti sayembara-sayembara sastra, bahkan sering menjadi juara pada kompetisi-kompetisi tersebut. Karya sastra anak Madura juga sering tayang di media-media massa nasional.
Watak kesastraan orang-orang Madura ini ditempa sejak zaman praaksara. Oleh karena itu, selain karya-karya sastra modern yang dihasilkan oleh orang-orang Madura pasca-mengenal aksara, masyarakat Madura juga memiliki karya-karya sastra lisan berupa tembang, pantun, syair, seloka, dan cerita rakyat. Bahkan, di desa-desa dan di hajatan-hajatan adat, karya sastra lisan Madura tersebut masih dipraktikkan hingga kini.
Perkembangan sastra di Madura tidak terlepas dari banyaknya pesantren yang ada di Pulau Garam ini. Lembaga pendidikan Islam tersebut mengenalkan corak komunikasi artistik kepada santri-santrinya dengan mengajarkan mereka sastra, khususnya sastra Arab. Karya-karya sastra dari Jazirah Arab tersebut kemudian diadaptasi ke dalam budaya lokal sehingga melahirkan sastra Madura. Maka, di masjid, langgar, atau di acara-acara keagamaan, sastra Madura yang dipengaruhi sastra Arab ini dilantunkan sebagai wirid, kasidah, dan sebagainya.
Lagu-lagu pop berbahasa Madura berpotensi mengingatkan kembali orang-orang Madura pada wataknya yang gemar bersastra. Hal ini terjadi karena lirik lagu-lagu tersebut tidak sedikit yang menggunakan peranti-peranti sastra seperti metafora, permainan rima, dan sebagainya. Beberapa lirik lagu tidak hanya menggunakan ekspresi bahasa yang lugas. Maka, lagu-lagu yang mengangkat persoalan asmara tersebut menjadi terdengar lebih indah ketika dinyanyikan.
Lagu Nyangkole Tanges (Ramanda, 2022), misalnya, beberapa bagian liriknya menggunakan majas. Judulnya saja, Nyangkole Tanges (mencangkul tangis) sudah menggunakan peranti sastra.
Kantha tajhemma carang è atè
Nyakcak rassana du alokaè
Alakè dhika mangkèn
Pon alakè bânni pèlèna
Pastè bulâ dhika
Ta’ èpastè bânni jhudhuna
Atè arassa ancor ekalè
È bakto bulâ ngatèla’è
Dhika toju’ ka duwâ’ è korsè
Ongghu dâ’ bulâ nyakè’è
Odi’ rassana padâ matè
Rassa ta’ kowat bulâ mèkkèrè
Cekka’ è atè ta’ dhik aghântè
Berra’ rassana du alokaè
Larik pertama dan kedua Nyangkole Tanges: “kantha tajhemma carang è atè, nyakcak rassana du alokaè” yang berarti “bagai tajamnya onak di hati, mencabik melukai” menggunakan majas simile. Lagu ini adalah ungkapan seorang laki-laki yang ditinggal menikah kekasihnya. Tidak hanya sampai di situ, untuk mencapai efek superlatif, penderitaan yang disebabkan patah hati tersebut juga disampaikan pada bagian “atè arassa ancor ekalè” yang berarti “hati terasa hancur seperti tanah yang digali”. Bagian tersebut menggunakan majas hiperbola untuk menunjukkan betapa sakitnya dikhianti. Puncak dari kegalauan itu ditunjukkan pada bagian “odi’ rassana padâ matè” yang berarti “hidup terasa seperti mati”. Di lagu yang sama, di bait yang berbeda, judul lagu tersebut disisipkan: “nyatana dhika ghun nyangkolè tangès” yang berarti ‘kenyataannya, engkau hanya memberi tangis’ ketika sang kekasih menikah dengan laki-laki lain dan hanya mewarisinya air mata.
Patah hati yang sama juga muncul dalam lagu Peggha’ Tengnga Jhalan (Habsyi, 2018).
Maskè tarèsna lobâr
Bulâ tapè ghi’ nèser
Ta’ èlang dâri pèkkèr
Dâlem atè aokèr
Bait itu berarti: “Meski cinta telah usai, aku masih sayang. Tak hilang dari pikiran. Dalam hati terukir.” Larik terakhir menggunakan metafora: dâlem atè aokèr (di dalam hati terukir) yang bermakna bahwa cintanya itu tidak akan hilang karena membekas dalam ingatannya meskipun telah putus hubungan.
Metafora tentang hati yang merana cukup bertaburan dalam lirik lagu Loka Ta’ Adhara (Zain, 2016), antara lain: aèng mata aghâgghârân padâ ‘bân ojhân (air mata berjatuhan laksana hujan), najjân sampè’ ghunong aoba dhâddhi saghârâ (kendatipun hingga gunung menjelma lautan), atè loka kèng ta’ adârâ kantha kaca bellâ (hati terluka tapi tak berdarah bak kaca pecah), dan atè rassa èyobbhâr (hati terasa dibakar).
Tidak hanya menggunakan metafora, lirik-lirik lagu pop berbahasa Madura tersebut menggunakan perangkat bunyi seperti dalam lagu Edante’a Kerronga (Ramanda, 2022) berikut.
Tarèsna mon lakar sè soccè
Bilâ pon pegghâ’ ngakan atè
Ènga’ berrâ’ ngaloppaè
Sanajjân ampon èkotorèMella’ badâ è atè
Meddhem bâdâ è mèmpè
Tèra’ nyonarè
Dhika dâteng nyapoè
Perangkat bunyi yang sama juga muncul dalam lagu Ghantongna Ate (Icha dan Syahid, 2022) berikut.
Mon bhâdhân tako’ taobbhâr
Jhâ’ sampè’ nyemma’è apoy
Moghâ terros padâ sabbhâr
Sampè’ paghi’ ngembhân kompoy
…Tèra’na sonarra arè
Burung ta’ ghâgghâr ojhânaDhika sè è dâlem atè
Sèttong tadâ’ sè laènnaJiwa ‘bân ragana bulâ
Pon èbâghiyâ sadhâjâ
Moghâ tadâ’ sè megghâ’â
Salaèn tadâ’na nyabâ
Peranti bunyi pada rima akhir bait-bait kedua lirik lagu tersebut akan mengingatkan kita pada puisi-puisi lama. Bait-bait empat seuntai barangkali dipengaruhi puisi lama seperti syair dan pantun. Rima akhir dalam lirik-lirik tersebut berfungsi sebagai ornamen untuk memperindah lagu. Tidak hanya itu, rima juga berfungsi agar lagu-lagu itu mudah diingat atau dihafal.
Lagu-lagu pop tersebut secara tidak langsung mengajarkan anak-anak muda Madura tentang penggunaan peranti sastra dalam bahasa. Hal ini akan memperkaya ungkapan mereka dalam pergaulan sehari-hari. Hal ini juga akan memupuk rasa cinta bahwa bahasa yang dituturkan mereka setiap hari memiliki nilai estetika yang tinggi.
Terdapat banyak cara merevitalisasi bahasa daerah, di antaranya memasukkan pelajaran bahasa daerah ke dalam kurikulum pendidikan. Namun, ada cara yang lebih mangkus dan sangkil, yaitu melalui kesenian, apalagi genre kesenian yang memang populer dan digemari masyarakat. Lagu-lagu pop berbahasa Madura merupakan bentuk karya seni yang digandrungi dan populer di kalangan orang-orang Madura, terutama di kalangan generasi mudanya. Lagu-lagu pop berbahasa Madura jelas akan lebih sangkil dan mangkus dalam merevitalisasi bahasa daerah ketimbang jenis karya seni lainnya, terutama bentuk-bentuk kesenian tradisional yang sudah banyak ditinggalkan masyarakat Madura itu sendiri, lebih-lebih pelajaran bahasa Madura di sekolah/kampus yang cenderung dianggap membosankan. Peran lagu-lagu pop berbahasa Madura terhadap revitalisasi bahasa daerah sangat signifikan, otomatis, organik, dan tidak membutuhkan biaya besar sebagaimana sebuah program yang disusun lembaga tertentu untuk memertahankan eksistensi bahasa Madura itu sendiri.
Wardedy Rosi adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Madura. Menulis esai dan reviu buku di media cetak dan maya.
Editor: Ikrar Izzul Haq