Pulau Madura, dengan segala keunikan dan kekayaan budayanya, menyimpan berbagai tradisi yang tidak hanya indah secara estetika tetapi juga kaya akan makna dan nilai-nilai kehidupan. Keunikan ini tentu akan terlihat jelas saat kita pergi ke luar Madura dengan budaya yang jauh berbeda. Misal, dalam keramaian kota metropolitan seperti Jakarta dan Surabaya, mudah kita mengenali orang Madura melalui dialek yang khas, sarung yang dikenakan setiap saat, serta adat istiadat yang mereka bawa dan jalankan. Hal ini tidak hanya menunjukkan keteguhan mereka dalam menjaga identitas budaya, tetapi juga bagaimana budaya Madura mampu beradaptasi dan tetap relevan di tengah arus modernitas.
Salah satu hal yang mencolok adalah bagaimana masyarakat Madura mempertahankan tradisi berbusana. Di tengah dominasi fesyen modern, busana tradisional Madura (baju pesak, sarung batik, dll.) masih bisa kita jumpai pada acara-acara tertentu. Ini adalah bentuk kebanggaan terhadap identitas budaya yang kuat. Selain itu, penggunaan bahasa Madura dalam komunikasi sehari-hari di perantauan juga merupakan bukti nyata dari pelestarian budaya yang dilakukan oleh masyarakat Madura.
Di pulau Madura sendiri, kita melihat melimpah-ruahnya tradisi Madura yang masih dijalankan hingga kini, baik itu tradisi berpakaian, berkesenian, hingga bagaimana mereka mengolah hasil bumi. Namun, dalam perkembangannya, ada yang cukup menarik setelah jembatan Suramadu dibangun dan diresmikan pada 10 Juni 2009 oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Suramadu memberi dampak besar, seperti perubahan ekonomi, pengembangan infrastruktur, perubahan sosial dan budaya, pengaruh teknologi, hingga peningkatan wisata. Madura, yang pada masa lampau seolah terisolasi dari wilayah Jawa Timur lainnya, tumbuh secara masif. Uniknya, pertumbuhan ini tidak lantas menghilangkan ciri khas ketubuhan masyarakat Madura yang mulai dibalut dengan modernitas.
Berbicara tentang tubuh manusia, dalam konteks antropologi manusia Madura, ia tidak hanya dilihat sebagai sekadar wadah fisik yang memuat organ dan sistem biologis, melainkan sebagai entitas yang sarat dengan makna budaya, simbolisme, dan filosofi yang mendalam. Konsep tentang tubuh dalam budaya Madura mencakup aspek-aspek yang sangat kompleks dan kaya. Ia mencerminkan cara pandang yang unik terhadap hubungan antara manusia dan alam, kehidupan sosial, serta spiritualitas.
Sebuah parèbâsan Madura mengatakan, ‘abhântal ombâ’, asapo’ angin‘ yang merupakan perwujudan dari manifestasi -relasi kebijaksanaan yang membentuk kepribadian manusia Madura. Tubuh kekar, kulit cokelat kehitaman, dan tulang pipi menonjol keluar adalah bagian dari manifestasi ini.
Tubuh yang kekar mencerminkan kekuatan fisik; hasil dari kerasnya kehidupan di tengah tantangan alam dan budaya Madura. Kulit cokelat kehitaman menjadi lambang kedekatan manusia Madura dengan matahari yang bersinar sepanjang tahun. Hal ini menjadi simbol kehangatan sekaligus kekuatan. Tulang pipi yang menonjol keluar adalah penanda dari kebijaksanaan yang tumbuh bersamaan dengan tubuh tersebut. Setiap cekungan dan tonjolan adalah cerminan dari pengalaman hidup yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan, solidaritas, dan keberanian. Mereka adalah buah dari perjalanan panjang, di mana ombak kehidupan terus menghantam tepi pantai, membentuk dan mengukir karakter yang kuat.
Parèbâsan ‘abhântal ombâ’, asapo’ angin’ bukan sekadar sekumpulan ciri fisik, melainkan sebuah narasi hidup yang melintasi ruang dan waktu. Ia adalah cermin dari kebijaksanaan yang lahir di perbatasan dua dunia, tempat di mana kehidupan bersemuka dengan tantangan alam dan lingkungan yang berbeda.
Sebelum membahas lebih jauh tentang ketubuhan manusia Madura, saya lampirkan beberapa paragraf pembuka sebuah cerpen berjudul “Kesurupan” karya Abd. Rahem dari buku kumpulan cerpen Madura Menunggu Getah Batu, terbitan Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur tahun 2021.
Sambil menyunggi rumput, berpayung terik, Haji Lukman dan orang-orang sekampung berjalan beriringan menuju rumah masing-masing. Peluh menetes dari sela kerutan dahi. Angin menerbangkan debu-debu dan mengayunkan rerumputan serta ilalang. Namun begitu, angin yang menerbangkan debu, mencecap ujung daun dan ilalang tak pernah bisa menjadikan udara panas menjadi dingin. Begitu pun para pengarit rumput, pantang pulang sebelum berpayung rumput untuk dibawa pulang hingga suara sapi piaraan tetap menggema.
Ketika iring-iringan itu melintasi pematang, Haji Lukman berhenti, sementara yang lainnya terus melanjutkan perjalanan. Sejenak Haji Lukman melepas caping dan bajunya yang basah oleh keringat. Ia meletakkan caping dan pakaiannya pada alas balai yang terbuat dari anyaman bambu. Sambil menarik napas Panjang, Haji Lukman mengedarkan pandangan matanya ke bentangan sawah. Sambil mengamati dan menikmati suasana sekitar, ia mengambil sebuah kotak yang terbuat dari kayu. Kotak itu tidak terlalu besar sehingga bisa dimasukkan ke dalam saku. Di kotak itu Haji Lukman menyiapkan tembakau dan membiarkan jalan pikirannya mengitari aliran-aliran sawah.
“Mari pulang, Pak Haji,” suara Morakip membuat Haji Lukman terkejut.
“Silakan, Cong. Saya masih ingin istirahat sebentar,” sahut Haji Lukman sambil membuat parikan dan berkidung. Tidak lama setelah lelahnya berkurang, ia memakai baju, menyunggi keranjang, lalu pulang.
Dari kutipan cerpen ini kita tahu ada satu kata yang mencerminkan kebiasaan masyarakat Madura saat membawa barang, yaitu menyunggi. Menyunggi—sebuah kata yang sederhana, tetapi kaya akan makna dan tradisi—membawa kita pada sebuah perjalanan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Madura. Bayangkan Haji Lukman dan orang-orang sekampungnya, sambil menyunggi rumput di bawah terik matahari yang menyengat, berjalan beriringan menuju rumah masing-masing. Peluh yang menetes dari sela kerutan dahi mereka adalah saksi bisu dari kerja keras dan ketangguhan yang telah terpatri dalam jiwa dan raga.
Posisi tubuh saat menyunggi tidak hanya mencerminkan ketahanan fisik, tetapi juga kekayaan budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Tubuh yang tegap, kepala yang kokoh menahan beban di atasnya, serta langkah yang mantap adalah bukti dari keterampilan yang telah terasah oleh waktu. Dalam setiap langkah Haji Lukman dan kawan-kawannya, terdapat harmoni antara manusia dan alam yang tercipta melalui laku menyunggi.
Angin yang menerbangkan debu dan mengayunkan rerumputan serta ilalang mungkin tak sanggup mendinginkan udara panas, tetapi mereka adalah saksi dari keteguhan hati para pengarit rumput. Mereka tidak pulang sebelum keranjang mereka penuh dengan rumput untuk pakan ternak, memastikan suara sapi piaraan tetap menggema di desa mereka.
Ketika iring-iringan melintasi pematang, Haji Lukman berhenti. Ia melepas caping dan bajunya yang basah oleh keringat, mengambil waktu sejenak untuk beristirahat dan menghirup napas panjang. Pada momen ini, kita bisa melihat betapa pentingnya keseimbangan antara kerja keras dan waktu untuk merenung, sebuah keseimbangan yang sering kali terabaikan dalam kehidupan modern. Dengan kotak tembakau di tangannya, Haji Lukman membiarkan pikirannya mengembara bersama aliran-aliran sawah, menikmati keindahan alam dan merenungi kehidupan.
Menyunggi ini juga menjadi aktivitas yang saya temui di antara keluarga dan tetangga-tetangga saya di Dusun Balowar, Desa Nyapar, Kecamatan Dasuk, Sumenep. Laki-laki dan perempuan, tua atau muda, mereka masih kerap menyunggi selepas dari tegalan, entah itu mencari rumput untuk ternak, atau membawa buah-buahan hasil panen.
Tidak hanya menyunggi, saya juga memperhatikan aktivitas ketubuhan masyarakat Madura lainnya sehari-hari yaitu, bersimpuh dan bersila. Dalam keseharian masyarakat Madura, duduk bersimpuh dan bersila adalah kebiasaan yang penuh dengan makna dan fungsi.
Mari kita bayangkan sebuah pagi yang cerah di sebuah desa di Madura, di mana kegiatan sehari-hari dimulai dengan penuh semangat dan ketaatan pada tradisi. Di sebuah dapur yang sederhana, seorang ibu duduk bersimpuh sambil menata sarapan untuk keluarganya. Dengan lincah, tangannya mengolah bumbu dapur, mencampur rempah-rempah yang harum dan segar. Duduk bersimpuh bukan hanya posisi yang nyaman untuk bekerja di lantai, tetapi juga posisi yang mencerminkan kerendahan hati dan penghormatan terhadap makanan yang sedang disiapkan.
Sementara itu, di teras rumah, seorang anak muda duduk bersila di hadapan bapaknya. Mereka tengah mendiskusikan sesuatu. Dengan bersila, anak muda tersebut menunjukkan rasa hormat kepada orang tuanya dengan menempatkan diri dalam posisi yang rendah, mendengarkan dengan seksama setiap nasihat yang diberikan.
Di langgar, suasana menjadi hening saat warga Madura melaksanakan salat berjamaah. Setelah itu, mereka duduk bersimpuh dan bersila untuk berdoa dan berdzikir. Posisi ini mencerminkan ketundukan dan kepasrahan kepada Tuhan. Duduk bersimpuh dan bersila saat beribadah menjadi wujud dari kesungguhan hati dan rasa syukur atas segala nikmat yang telah diberikan.
Dalam kegiatan gotong royong, misalnya saat membangun rumah atau membersihkan lingkungan, duduk bersila sering terlihat saat warga mengambil jeda untuk makan bersama. Mereka duduk melingkar, bersila di atas rakara, berbagi hidangan dengan penuh rasa persaudaraan. Posisi ini menciptakan kesetaraan, di mana setiap orang, baik tua maupun muda, merasa dihargai dan dianggap sama pentingnya dalam komunitas.
Duduk bersila juga kerap terlihat saat upacara adat atau kompolan. Misalnya, saat acara pernikahan, para tamu undangan duduk bersimpuh dan bersila menyaksikan prosesi sakral yang berlangsung. Duduk bersimpuh dan bersila di sini mencerminkan rasa hormat terhadap upacara serta keluarga yang menggelarnya.
Melalui berbagai kegiatan tersebut, duduk bersimpuh dan bersila bukan sekadar posisi fisik, tetapi juga cerminan dari nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Madura. Ia melambangkan kerendahan hati, kesopanan, rasa kebersamaan, serta penghormatan. Duduk bersimpuh dan bersila mengajarkan kita untuk tetap terhubung dengan tradisi, menjunjung tinggi adat, dan menjaga hubungan harmonis dengan sesama; menjadikannya bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari di Madura.
Beberapa tahun yang lalu, antara tahun 2016 dan 2019 saya mengikuti produksi teater kolaborasi antara Bumi Purnati Indonesia bersama Suzuki Company of Toga, dari Jepang. Pada saat itu sejumlah aktor dari Indonesia dilatih secara langsung oleh sutradara Tadashi Suzuki dalam sebuah produksi yang berangkat dari kisah Yunani, Dionysus. Namun, yang menarik adalah sebelum kami masuk ke dalam naskah, berminggu-minggu kami dilatih metode khusus. Suzuki, seorang pioner teater Jepang, menciptakan metode latihan aktor yang dikenal sebagai Suzuki Method of Actor Training dengan meramu berbagai inspirasi dari tradisi Jepang dan pengaruh internasional. Metode ini terkenal dengan pendekatan fisiknya yang intens dan fokus pada pengembangan kehadiran panggung aktor.
Ia terpesona oleh teater Noh dan Kabuki. Setiap gerakan tampak sederhana. Namun dibalik kesederhanaan itu, terdapat makna mendalam dan dikontrol dengan tingkat kepresisian yang luar biasa. Di balik topeng dan kostum mewah, aktor Noh menunjukkan intensitas emosional yang menawan melalui gerakan-gerakan halus dan teratur. Begitu pula dengan Kabuki, yang dengan gerakan dinamis dan penuh semangat, menghidupkan karakter-karakter legendaris dari cerita rakyat Jepang. Dari sini, Suzuki memahami bahwa kontrol tubuh dan intensitas adalah kunci untuk menguasai panggung.
Suzuki konon juga sering mengingat latihan keras yang ia saksikan di dojo-dojo bela diri Jepang seperti Kendo dan Karate. Disiplin fisik yang ketat dan fokus mental yang tajam menjadi landasan latihan aktor dalam metodenya. Aktor dilatih untuk menghadapi tantangan fisik yang keras. Mulai dari gerakan yang kuat dan menuntut ketahanan hingga latihan keseimbangan, mirip dengan latihan bela diri. Melalui disiplin ini, aktor tidak hanya memperkuat tubuh, tetapi juga mengasah ketahanan mental dan konsentrasi.
Kini, bertahun-tahun kemudian, Suzuki mengajarkan metodenya kepada para aktor dari seluruh dunia. Latihan intens yang mereka jalani bukan hanya tentang menguatkan tubuh, tetapi juga tentang menemukan keseimbangan antara kekuatan fisik dan ketenangan mental. Dalam setiap langkah, tendangan, dan tarikan napas, mereka belajar untuk mengendalikan tubuh mereka sepenuhnya dan menghadirkan diri mereka sepenuhnya di atas panggung. Metode Suzuki bukan sekadar latihan fisik, tetapi juga perjalanan menuju pemahaman mendalam tentang diri sendiri dan seni peran. Dengan kombinasi inspirasi dari tradisi Jepang, pengaruh teater Barat, dan eksperimen pribadi, Suzuki menciptakan sebuah metode yang tidak hanya mengajarkan teknik akting, tetapi juga mengajak para aktor untuk menggali potensi terdalam mereka dan menciptakan penampilan yang autentik dan memukau.
Dari pengalaman Suzuki saya banyak belajar betapa inspirasinya berangkat dari tubuh autentik masyarakat Jepang, masyarakatnya sendiri. Ia tidak terjebak pada hegemoni standar Barat yang telah menjalari latihan-latihan aktor di seluruh dunia. Saya yang saat ini berkeseharian sebagai sutradara teater juga kerap menggunakan metode berlatih aktor. Sejak berproses dengan Suzuki saya mulai berpikir, bukankah tradisi ketubuhan di kampung halaman saya juga cukup kaya? Bagaimana jika tradisi itu dirangkai menjadi metode berlatih aktor-aktor saya? Kemudian perenungan itu tahap demi tahap saya lakukan.
Masyarakat Madura, dengan kehidupan yang penuh kerja keras dan tradisi yang kaya, memiliki tubuh yang telah ditempa oleh alam dan kebiasaan sehari-hari. Tubuh yang kekar, kulit yang kecokelatan akibat terik matahari, dan tulang pipi yang menonjol adalah bukti keteguhan dan keuletan. Seperti halnya Suzuki yang memanfaatkan keunikan tubuh Jepang, saya melihat potensi besar dalam mengangkat tubuh Madura sebagai metode latihan aktor.
Kegiatan sehari-hari masyarakat Madura, seperti menyunggi rumput, mengarit di sawah, atau berjalan jauh di bawah terik matahari, menuntut kekuatan fisik dan ketahanan yang luar biasa. Bayangkan orang-orang sekampung yang beriringan pulang dengan beban di kepala mereka, melintasi pematang sawah dengan langkah yang mantap dan penuh keteguhan. Gerakan mereka tidak hanya sekadar aktivitas fisik, tetapi juga mencerminkan ketahanan mental dan ketekunan yang bisa menjadi dasar latihan aktor.
Aktivitas menyunggi membutuhkan keseimbangan, postur yang ideal, dan otot yang terlatih. Ini mengajarkan para aktor tentang pentingnya kesadaran tubuh, bagaimana setiap bagian berkontribusi untuk menjaga keseimbangan. Setiap gerakan penuh perhitungan dan kehati-hatian, sesuatu yang sangat penting dalam latihan akting.
Selain itu, tubuh dianggap sebagai alat komunikasi yang amat penting dalam budaya Madura. Bahasa ragawi yang meliputi ekspresi wajah dan gerakan tubuh digunakan untuk menyampaikan pesan, emosi, atau makna dalam berbagai konteks, mulai dari interaksi sosial sehari-hari hingga dalam seni pertunjukan atau ritual keagamaan. Gestur tangan atau ekspresi wajah bisa menyampaikan makna yang jauh lebih dalam daripada kata-kata.
Dalam seni bela diri seperti pencak silat, tubuh dianggap sebagai alat untuk mencapai keseimbangan fisik dan spiritual. Latihan fisik dan disiplin mental dalam seni bela diri tidak hanya bertujuan untuk menguasai teknik bertarung, tetapi juga untuk mengendalikan tubuh serta kekuatan secara presisi dan terkendali. Hal itu mencerminkan kemampuan untuk bertahan hidup dan menjaga harmoni dengan alam.
Selain itu, pemeliharaan dan perawatan tubuh juga menjadi bagian integral dari budaya Madura. Ritual-ritual kecantikan, mandi bersama di sungai, atau penggunaan obat-obatan tradisional adalah contoh dari cara masyarakat Madura merawat dan menghormati tubuh sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan, mencerminkan hubungan yang erat antara manusia dan alam serta iman spiritual yang mereka percayai.
Melalui pemahaman mendalam tentang konsep ketubuhan dalam budaya Madura, kita dapat melihat betapa kompleks dan kaya warisan budaya yang dimiliki masyarakat setempat. Setiap aspek tubuh, baik fisik maupun metafisik, mencerminkan nilai-nilai, kepercayaan, dan cara pandang yang melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Madura; menggambarkan sebuah kekayaan budaya yang perlu dilestarikan dan dihargai.
Tradisi Madura, seperti gotong royong dan ritual-ritual adat, mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, kerja keras, dan ketekunan. Dalam latihan aktor, nilai-nilai ini bisa diintegrasikan untuk membangun disiplin, kerjasama, dan dedikasi yang kuat. Melalui latihan yang terinspirasi oleh kehidupan sehari-hari masyarakat Madura, aktor dapat belajar untuk menghargai dan meresapi setiap gerakan, serta memahami makna di balik setiap tindakan.
Dengan mengadopsi elemen-elemen dari kehidupan dan budaya Madura, saya mengembangkan metode latihan aktor yang saya beri nama Reality of Body. Metode ini tidak hanya akan memperkaya teknik akting tetapi juga memberikan apresiasi lebih terhadap budaya lokal. Kesadaran akan keunikan tubuh Madura membuat saya merasa terdorong untuk mengeksplorasi lebih dalam dan merumuskan metode latihan yang mampu mengangkat potensi itu. Dengan demikian, tubuh Madura yang autentik tidak hanya menjadi inspirasi tetapi juga menjadi landasan bagi perkembangan seni peran yang lebih dekat dengan pengalaman keseharian aktor-aktor saya, bahkan mungkin juga menjadi tawaran untuk para aktor di luar kultur Madura.
Kehidupan modern cenderung membuat manusia mengurangi aktivitas fisik, yang kemudian berdampak pada penurunan fungsi tubuh. Kita sering kali melupakan bahwa tubuh kita adalah instrumen yang luar biasa, yang mampu melakukan berbagai macam aktivitas dan memberi kita pengalaman nyata melalui pancaindra. Namun, dalam kenyataannya, banyak dari kita yang lebih memilih untuk hidup dalam dunia digital, di mana interaksi fisik dan pengalaman sensorik berkurang.
Konsep Reality of Body mengupayakan bagaimana cara mengatasi masalah ini. Melalui latihan dan pertunjukan teater, kita diajak untuk kembali mengoptimalkan esensi tubuh kita sendiri yang bertumbuh, bergerak, dan berkembang. Dengan demikian, kita dapat kembali merasakan dan menghargai keberadaan tubuh kita dan memanfaatkannya sebagai alat untuk berinteraksi dengan dunia di sekitar kita.
Dalam latihan aktor berbasis Reality of Body, aktor diajarkan bagaimana menggerakkan tubuh dengan cara yang ekspresif dan bermakna. Sementara itu, dalam pertunjukan teater berbasis Reality of Body, penonton diajak untuk merasakan dan mengalami realitas tubuh secara langsung. Melalui pertunjukan ini, penonton dapat merasakan gerakan dan energi dari tubuh aktor.
Di bawah ini, saya lampirkan kutipan lirik lagu salah satu band asal Madura yang belakangan sedang naik daun dan menggelar pertunjukan hingga luar kota, Lorjhu’. Kutipan yang akan saya bacakan dari lagu mereka berjudul Nemor.
Nyonara arè, ngamèra dâri tèmor
Nyonara arè, ngamèra dâri tèmor
Senengnga atè, bilâ maso’ mosèm nèmor
Senengnga atè, bilâ maso’ mosèm nèmorTèra’na langngi’, lèbât ghilina pello
Tèra’na langngi’, lèbât ghilina pello
Mèsemma tanè, bherkat ollèna bhâko
Mèsemma tanè, bherkat ollèna bhâkoArossa ombâ’, nyèsèr dâpa’ ka palo
Arossa ombâ’, nyèsèr dâpa’ ka palo
Du èbâ’-ambâ’, cè’ senengnga sè nyolo
Du èbâ’-ambâ’, cè’ senengnga sè nyoloNasè’ bujâ cabbhi, akowa ghângan marongghi
Nasè’ bujâ cabbhi, akowa ghângan marongghi
Bujâna dâddhi, èpolong mellè kalambhi
Bujâna dâddhi, èpolong mellè kalambhiRebbhâna konèng, mara dhuli pas rao
Rebbhâna konèng, mara dhuli pas rao
Jhuko’ èkennèng, pamaso’ dâlâm parao
Jhuko’ èkennèng, pamaso’ dâlâm parao
Dari kutipan tersebut kita mengingat betapa tubuh manusia-manusia Madura dibentuk dari alam yang ranggas dan keras. Ketika mengamati kehidupan masyarakat Madura, saya tidak bisa lepas dari kesadaran akan keterhubungan mendalam antara tubuh mereka dan alam sekitarnya. Tubuh Madura, dengan segala kekuatan dan alotannya, telah ditempa oleh alam yang keras dan tak kenal ampun. Alam Madura bukan hanya latar belakang hidup mereka, tetapi juga mitra yang membentuk dan menguji ketahanan fisik serta mental manusia-manusianya.
Setiap pagi, saat matahari terbit di ufuk timur, orang-orang Madura sudah memulai hari mereka dengan aktivitas yang penuh tantangan. Terik matahari yang menyengat bukanlah halangan, melainkan bagian dari kehidupan yang harus dihadapi dengan kepala tegak. Tubuh yang kekar dan kulit yang kecokelatan adalah bukti nyata dari ketahanan mereka terhadap panasnya matahari. Setiap tetes keringat yang mengalir adalah saksi bisu dari kerja keras dan ketabahan, menciptakan simbiosis antara manusia dan matahari.
Angin Madura yang kencang dan berdebu adalah kawan sekaligus lawan. Ia menerbangkan debu-debu dan mengayun rerumputan serta ilalang, menciptakan pemandangan indah yang di sisi lain juga menantang. Dalam aktivitas sehari-hari seperti mengarit rumput atau menyunggi hasil panen, tubuh Madura harus beradaptasi dengan kekuatan angin. Setiap langkah yang diambil, setiap gerakan yang dilakukan, harus memperhitungkan arah dan kekuatan angin. Ini membentuk tubuh yang tidak hanya kuat tetapi juga penuh kesadaran akan lingkungan sekitar.
Tanah Madura yang keras dan kering membutuhkan kerja keras untuk diolah. Orang-orang Madura mengarungi pematang sawah, mengayun cangkul, dan menanam benih dengan tangan mereka sendiri. Setiap kontak dengan tanah adalah bentuk penghormatan terhadap alam, sebuah perwujudan dari kerja keras yang tak kenal lelah. Tubuh mereka menjadi perpanjangan dari tanah itu sendiri, kuat nan kokoh, serta menciptakan hasil bumi yang menjadi sumber kehidupan.
Tidak bisa dipungkiri, laut juga memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat Madura. Para nelayan dengan tubuh yang kuat dan otot yang terbentuk dari tarikan jala dan ayunan ombak, menunjukkan keberanian dan keterampilan luar biasa. Laut memberikan tantangan yang berbeda, tetapi sama kerasnya. Tubuh mereka harus siap menghadapi arus yang kuat, angin yang garang, dan terik matahari yang memantul dari permukaan laut. Hubungan ini menciptakan tubuh yang tangguh dan siap menghadapi berbagai kondisi alam.
Dalam setiap aktivitas, tubuh Madura selalu mencerminkan alam sekitarnya. Kehidupan yang bersinggungan dengan elemen-elemen alam ini membuat tubuh mereka menjadi cermin dari kekuatan, ketahanan, dan keindahan alam Madura itu sendiri. Setiap gerakan yang mereka lakukan, setiap tantangan yang mereka hadapi, adalah ejawantah dari keselarasan dan keseimbangan antara manusia dan alam. Tubuh mereka tidak hanya bertahan tetapi juga tumbuh dan berkembang, menciptakan harmoni yang sempurna dengan alam.
Tubuh Madura tidak hanya terbentuk oleh alam yang keras, tetapi juga oleh budaya yang kaya dan penuh makna. Setiap gerak dan sikap tubuh mereka mengandung nilai-nilai budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tubuh mereka menjadi kanvas tempat budaya Madura terpahat dengan jelas, menunjukkan identitas dan karakter yang kuat.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Madura melakukan berbagai tradisi dan ritual yang melibatkan tubuh secara intensif. Salah satu contohnya adalah karapan sapi, di mana kekuatan dan ketahanan fisik sangat diutamakan. Para pemilik sapi dan joki harus memiliki tubuh yang kuat dan tangkas untuk mengendalikan hewan-hewan yang berlomba dengan kecepatan tinggi. Pada momen ini, tubuh Madura menjadi simbol keberanian dan keahlian, menunjukkan betapa budaya membentuk raga.
Seni tari tradisional Madura, seperti tari Topeng, juga menunjukkan bagaimana tubuh berfungsi sebagai medium ekspresi budaya. Gerakan tari yang lincah dan penuh semangat mencerminkan kehidupan sehari-hari dan nilai-nilai moral masyarakat Madura. Penari menggunakan seluruh tubuh mereka untuk bercerita, menghidupkan kembali kisah-kisah leluhur, dan menyampaikan pesan-pesan kebijaksanaan. Melalui tari, tubuh Madura menjadi alat komunikasi yang menghubungkan masa lalu dan masa kini.
Kehidupan komunal di Madura juga membentuk tubuh mereka dengan cara yang unik. Gotong royong atau kerja bakti adalah bagian integral dari budaya Madura, di mana seluruh komunitas berkumpul untuk menyelesaikan tugas bersama. Dalam kegiatan ini, tubuh digunakan tidak hanya untuk bekerja tetapi juga untuk memperkuat ikatan sosial. Gerakan tubuh yang serempak, beban yang dibagi rata, dan keringat yang dikeluarkan bersama-sama menguatkan rasa kebersamaan dan solidaritas. Tubuh mereka menjadi simbol dari kekuatan kolektif dan kesatuan komunitas.
Pakaian tradisional Madura, seperti kebaya dan sarung bagi wanita serta baju koko dan sarung bagi pria, juga menunjukkan bagaimana budaya memengaruhi tubuh manusia Madura. Pakaian ini dirancang tidak hanya untuk keindahan tetapi juga untuk kepraktisan dalam menghadapi iklim yang panas dan kegiatan sehari-hari yang berat. Tubuh Madura yang kekar dan berotot terlihat lebih gagah dalam balutan pakaian tradisional, menambah wibawa dan kepercayaan diri. Penampilan ini menjadi identitas visual yang kuat, mengukuhkan posisi mereka dalam masyarakat.
Beberapa waktu lalu saya bersama dengan tim melakukan riset terkait tari Topeng Ghulur yang bisa dikatakan di ambang kepunahan karena kelompok terakhir yang memainkannya telah vakum dan menjual segala perlengkapan tari, kecuali milik penari pribadi. Bersama dengan tim ahli yang terdiri dari Dr. Dwi Cahyono, seorang arkeolog; Dr. Setyo Yanuartuti, M.Si., seorang doktor tari dari Universitas Negeri Surabaya; Dr. Indar Sabri, S.Sn., M.Pd., yang juga dari Universitas Negeri Surabaya; serta Moch. Nurfahrul Lukmanul Khakim, S.Pd., M.Pd., pengajar dari jurusan Sejarah di Universitas Negeri Malang; kami menelusuri jejak-jejak peninggalan Topeng Ghulur.
Salah satu hal yang kami dapat adalah Topeng Ghulur ini digunakan dalam berbagai upacara dan ritual untuk memohon hujan saat musim kemarau panjang atau saat masa panen tiba, biasanya disebut dengan Rokat Bumi. Rokat Bumi dianggap penting karena kesuburan tanah sangat vital bagi pertanian dan kehidupan sehari-hari masyarakat Madura. Selama upacara, para pemuka agama dan masyarakat setempat berkumpul untuk melakukan serangkaian ritual, termasuk tarian dan persembahan kepada alam, dengan harapan mendatangkan hujan dan kesuburan tanah. Bagi masyarakat setempat di masa lampau, Topeng Ghulur adalah peristiwa spiritual yang dianggap sebagai persembahan kepada Sang Pencipta melalui penyatuan diri dengan bumi.
Desa Batu Putih diyakini mulai menarikan Topeng Ghulur sebagai bagian dari Rokat Bumi sejak masa Arya Wiraraja, yang dipindahtugaskan sebagai adipati di Sumenep pada masa Kerajaan Singhasari. Kondisi ekologi dan sosial masyarakat di wilayah Batu Putih pada masa itu juga memainkan peran penting dalam perkembangan ritus Topeng Ghulur. Wilayah ini, yang berada di bagian utara Madura, menampakkan lanskap perbukitan batu putih.
Hal unik kami temukan pada gerakan dalam Topeng Ghulur yang melibatkan gerakan bergulung-gulung dan memutar dengan seluruh tubuh menempel ke tanah. Gerakan ini bisa ditafsirkan sebagai “membumi” dan sebagai usaha transfer energi dari bumi ke tubuh manusia. Alam dan raga manusia memiliki esensi yang sama, yakni zat Tuhan yang bersemayam di dalamnya. Tubuh manusia memiliki sistem energi dengan titik pusat tertentu. Ketika manusia bisa menyelaraskan energi dalam dirinya dengan energi semesta, terciptalah satu kesatuan yang harmonis.
Konsep ini dalam kajian modern disebut grounding atau “pembumian”, yang bertujuan untuk menghubungkan kembali tubuh manusia dengan lingkungan sekitar. Grounding dalam Topeng Ghulur adalah praktik kuno di mana tubuh terhubung langsung ke permukaan bumi dan mengalami konduksi dari muatan listrik negatif. Pada masa lalu, praktik ini digunakan untuk menghubungkan tubuh fisik manusia dengan energi listrik bumi karena transfer elektron bebas selama proses berlangsung.
Topeng Ghulur, sebagai salah satu warisan budaya tak benda Madura, memiliki hubungan yang erat dengan tubuh budaya manusia Madura. Dalam setiap gerakannya, topeng ini mencerminkan tidak hanya aspek-aspek spiritual dan religius masyarakat Madura, tetapi juga nilai-nilai yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari mereka. Pertama-tama, Topeng Ghulur menjadi simbol penting dalam ritual Rokat Bumi, sebuah upacara yang dilakukan untuk memohon hujan dan kesuburan bagi tanah pertanian. Dalam ritual ini, para pemakainya tidak hanya menari dan bergerak, tetapi mereka menyatukan diri dengan alam melalui gerakan yang berkait erat dengan tanah. Gerakan-gerakan ini menjadi ekspresi konkret dari kesadaran akan keterhubungan manusia dengan alam, sesuatu yang menjadi nilai sentral dalam kehidupan masyarakat Madura.
Topeng Ghulur juga memiliki hubungan dengan tubuh budaya Madura melalui konteks sejarah dan kepercayaan lokal. Dianggap sebagai peristiwa spiritual, pemakaian topeng ini bukan sekadar tarian atau pertunjukan, tetapi merupakan bentuk persembahan kepada Sang Pencipta. Dalam pemakaian dan gerakan-gerakannya, terdapat nilai-nilai tradisional yang diwariskan dari generasi ke generasi, mencerminkan identitas budaya masyarakat Madura yang kuat.
Selain itu, ada juga dimensi sosial dalam Topeng Ghulur yang mengikatnya dengan tubuh budaya Madura. Dalam pelaksanaannya, upacara Rokat Bumi membawa masyarakat secara bersama-sama untuk berpartisipasi dalam sebuah ritual yang mengingatkan pada pentingnya solidaritas dan kebersamaan dalam menghadapi tantangan alam. Hal ini memperkuat ikatan sosial antarindividu dan antarkomunitas yang menjadi ciri khas budaya Madura.
Dengan demikian, Topeng Ghulur tidak hanya menjadi representasi visual dari warisan budaya Madura, tetapi juga menyatu dengan tubuh budaya manusianya melalui nilai-nilai spiritual, sejarah, dan sosial yang diwariskan. Dalam setiap gerakannya, topeng ini menghidupkan kembali hubungan mendalam antara manusia dan alam, menjaga kekayaan budaya Madura tetap hidup dan relevan dalam tubuh serta kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam perjalanan dan temuan riset kami, tentu kami bersyukur bisa bertemu dengan maestro dan saksi hidup pertunjukan Topeng Ghulur, tetapi kami juga menyayangkan saat melihat kenyataan bahwa ritus ini sedang di ambang kepunahan. Perlu daya dan upaya lebih lanjut untuk merevitalisasi Topeng Ghulur. Fakta ini yang ingin saya bagikan kepada pembaca sekalian. Semoga ada hal baik yang “mungkin” akan diinisiasi setelah ini.
Sebelum saya akhiri tulisan ini, mari kita merenungkan bersama tentang kekayaan yang terkandung dalam tubuh budaya manusia Madura. Melalui warisan budaya seperti Topeng Ghulur, kita tidak hanya menyaksikan sebuah pertunjukan seni, tetapi juga sebuah cermin di mana kita bisa melihat nilai-nilai yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Madura selama berabad-abad.
Ketika kita memahami dan menghargai potensi tubuh budaya manusia Madura, kita membuka pintu bagi pertumbuhan dan pembelajaran yang tak terbatas. Kita dapat belajar tentang solidaritas, keterhubungan dengan alam, dan kearifan lokal yang telah teruji sepanjang sejarah. Kita dapat memanfaatkan pengetahuan ini dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam memperkuat ikatan sosial, menjaga lingkungan, maupun merayakan keberagaman budaya.
Maka pertanyaannya adalah, dengan potensi ketubuhan yang luar biasa ini, apa yang akan kita ambil dan bawa untuk keseharian kita masing-masing?
*Tulisan ini disajikan sebagai Pidato Kebudayaan Dies Natalis ke-7 Sivitas Kothèka.
Anwari adalah seniman teater dari Sumenep.
Editor: Ikrar Izzul Haq