Menu

Mode Gelap
Jerit Jerat Proletariat Gosip Horor di Batuputih Fotografi dan Ambisi Hidup Abadi Ketika AI Menyulam Ingatan Pesantren, Sastra, Saya Dari Verbal ke Visual

Kritik Seni

Lagu Ber-Ani Rhoma Irama


					Foto oleh Zainal Abidin/Sivitas Kothèka Perbesar

Foto oleh Zainal Abidin/Sivitas Kothèka

Siapa yang tak tahu Rhoma Irama? Ya, banyak. Saya pikir, daya pikat Rhoma Irama sudah tak seperti dulu. Bagi mereka yang berdarah muda alias Gen-Z, deretan penyanyi jebolan D’Academy atau pedangdut yang mengorbit lewat kanal YouTube seperti Denny Caknan, lebih populer. Itu baru perbandingan dalam jagat dangdut. Jika dijajarkan dengan genre lain, tentu makin sedikit anak muda yang tahu bahwa kita punya superstar bernama Oma—nama asli sang bintang.

Rhoma memang layak kita sebut “bukan bintang biasa”. Ia artis yang memiliki sinar unik dan pancaran dahsyat. Mudah sekali mengetahui perbedaan Bang Haji itu dengan bintang kawakan lain sezamannya macam A. Rafiq, Meggy Z, Mansyur S, Hamdan ATT, Rita Sugiarto, dan Elvy Sukaesih. Pertama, begitu menyebut Rhoma, kita secara otomatis memikirkan entitas lain berupa band bernama Soneta, yang berdiri tahun 1970—delapan bulan setelah lahirnya Indomie. Rhoma identik dengan grup musik itu. Kedua, lewat Soneta, ia menunjukkan bahwa dirinya berbeda. Soneta muncul sebagai kelompok musik yang menjadi patron dalam akulturasi alat-alat musik ‘baru’ pada saat itu.

Dengan berani, Rhoma membuat warna agak laen dalam komposisi lagu-lagunya. Horn section dan distorsi ala rock ia pakai meskipun suara-suara macam itu tak memiliki kedekatan dengan akar musik dangdut, yakni orkes Melayu. Pilihan jenis atau pola ritmisnya, juga memberi kesan bahwa lagu Soneta “tidak benar-benar dangdut”. Keberanian yang disertai kecerdasan—juga keberuntungan—mengantarkan Oma pada derajat mulia, sang Raja Dangdut. Mazhab musiknya yang semula dipandang sebelah mata, dicap tak bergengsi, kemudian menjelma menjadi wajah baru yang segar berkat Soneta. Alhasil, lagu-lagu rock populer kala itu, yang dimotori salah satunya oleh Ahmad Albar, menemukan rivalnya.

Kompetisi inilah yang menjadi stimulan bagi Soneta sehingga ia bercitra rockdut (rock dangdut). Grup musik rock, tapi sebenarnya dangdut.  Ambiguitas tersebut tampak dari lagu-lagu mereka. Misalnya dalam lagu “Judi”. Pada bagian intro, orang yang pertama kali mendengarnya, lebih-lebih yang tak kenal Soneta, akan sukar menebaknya sebagai nyanyian dangdut. Tarikan gitar dengen efek distorsi, juga tendangan pada bass drum menunjukkan wajah rock meski tiga belas detik selanjutnya menyadarkan pendengar akan roh sejati lagu tersebut. Nuansa macam itu sengaja diciptakan Rhoma. Ia membenarkan bahwa rasa rock masuk dalam racikannya sebagai respons terhadap ramainya penggemar Deep Purple di tanah air waktu itu. Rhoma, saya pikir, bergerak dengan misi kesetaraan genre. Ia seolah ingin berteriak “jangan remehkan musisi dangdut. Kami bisa berdendang melayu, bermain kasar juga oke”.  Strategi seperti itu acap dilakukan Soneta dan mungkin nyaris semua lagunya tak betul-betul bebas rock. Bahkan, pada lagu “Nafsu Serakah”, nuansa dangdut bukanlah unsur yang dominan, di mana beat dan tone scale-nya bercorak rock.

Hal menarik lainnya dari lagu “Judi” bisa dilihat pada lirik paling awal. Rhoma tak sekadar melakukan teknik doubling (vokal utama yang disusul suara penyanyi latar), tetapientah bagaimana saya menyebutnya, mungkintripling (suara dari trompet). Dalam pengamatan saya, Rhoma jarang melakukan pengulangan “kalimat nada” hingga tiga kali (tripling). Umumnya cukup dua kali, layaknya karakter musik Arab.

Menyadari lagu-lagu Rhoma banyak digubah dengan teknik doubling, saya menengarai ia cukup punya wawasan tentang musik Arab. Dugaan itu dikokohkan dengan adanya lagu yang dulu sempat menghebohkan kalangan ulama, Laa Ilaaha Illallah. Lagu yang sangat berani karena menarasikan ayat suci (surah al-Ikhlas) dalam bentuk nyanyian. Pada lagu bertema tauhid tersebut, Rhoma lagi-lagi menunjukkan kepionirannya dalam meracik komposisi. Genre yang digunakan tak cuma dangdut dan rock. Ia juga mengembuskan hawa padang pasir dalam gubahannya. Nuansa baru itu tampak begitu diniati dengan memperdengarkan suara angin kering ala Gurun Sahara pada momen sebelum Rhoma “mengaji”. Seolah tak cukup, pola ritmis (iiqa’) dalam musik Arab juga ia terapkan. Anak hadrah, saya pikir, bakal mudah mengenali tabuhan gendang bagian verse pertama yang kearab-araban. Namun, mereka barangkali kesulitan untuk menyebut nama pola ketukannya sebagai maqsum (iiqa’ paling umum digunakan, yang biasanya bermodulasi ke ketukan 4/4 lainnya seperti baladi atau wahda).

Untuk membangun kesan timur tengah yang kuat, saya melihat pemilihan skala (maqam) nadanya diputus bukan tanpa alasan. Saat itu (dekade 80-an), di tempat lain, yakni sekitar pantura Jawa Tengah, kelompok musik gambus juga sedang getol mengimpor lagu-lagu Arab. Orang kemudian banyak mengenal karya Farid al-Atrash atau Fairouz melalui album Nasida Ria—meski mereka mengira lagu itu karangan warga lokal. Keterbatasan fitur quarter tone yang tidak tersedia pada keyboard zaman dulu, memberikan konsekuensi peredaran lagu Arab hanya berputar-putar pada maqam kurd, ajam, hijaz, dan nahawand, bahkan yang aslinya bayati, dipaksa menjadi kurd. Maka tak heran kalau kurd dipilih Rhoma agar rasa Arab dalam Laa Ilaaha Illallah makin tebal. Upaya khas Arab lainnya dalam lagu tersebut juga bisa kita temukan melalui struktur yang memberikan ruang improvisasi instrumen secara tunggal (taqsim). Akan tetapi, di sini saya merasa agak kureng. Permainan seruling (untuk menggantikan nay) sebelum interlude, bagi saya kurang eksploratif. Soneta bermain pada rentang nada yang sempit dan miskin modulasi. Padahal ruang ini biasa digunakan musisi untuk menciptakan pengalaman ekstase bagi pendengar. Meski demikian, hal itu tak membuat lagu “ambisius” tersebut menjadi buruk. Lagu itu tetap layak dicap brilian dan sukses membuat musisi-musisi kafe (yang bertutur pada saya) kesusahan saat meng-cover-nya.

Ambisi Rhoma untuk mengenalkan bebunyian baru kepada penggemar dangdut rupanya tidak berhenti pada genre rock dan Arab. Terdapat beberapa lagu rilisan Soneta yang sebenarnya merupakan saduran dari lagu hit India era 70 sampai 80-an. Kesadaran soal ini bermula saat saya membuka ulang playlist terbaik Soneta di YouTube dan pada gilirannya, lagu “Purnama” berputar. Sempat saya acungkan jempol dalam pikiran waktu memerhatikan suara perkusinya yang berpola ketukan India klasik—keherwa taal. Namun, setelah saya telusuri, lagu itu ternyata saduran dari “Neele Gagan Ke Tele”. Sama seperti “Gulali” yang Soneta comot dari lagu “Aane Se Uske Aaye Bahar”. Upaya penyaduran ini saya pikir merupakan strategi Rhoma untuk menarik perhatian banyak segmen. Ia sebar jala ke segala penjuru untuk mendapat kemungkinan hasil yang lebih banyak. Selain itu, hal tersebut juga menunjukkan betapa kosmopolitnya Oma. Keterbukaannya pada budaya musik lintas bangsa patut diteladani. Ia lincah berkomunikasi dengan gaya musik lain tanpa kehilangan jati dirinya

Penegasan akan karakternya terwujud melalui “Viva Dangdut”, sebuah lagu meta (mengacu pada atau membahas dirinya sendiri). Dalam lagu ini, dia berusaha menjelaskan posisi Soneta kepada penggemarnya bahwa kelompok musik yang ia pimpin itu tetap dangdut. Pesan tersebut ia ungkapkan secara musikal dengan menekankan suara gendang maupun liriknya yang menceritakan genealogi genre dangdut. Dengan demikian, kita bisa memahami Soneta sebagai aliran baru yang kadang bisa berkamuflase menjadi rockdut seperti pada lagu “Stress”, atau bermuka benar-benar dangdut sebagaimana dalam lagu “Ani”.

 

*Tulisan ini disampaikan pada Koloman Budaya ke-91.

Afnan Rahmaturrahman adalah seorang musisi dan Ketua Sivitas Kothèka.

 

Editor: Asief Abdi

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Ketika AI Menyulam Ingatan

22 Oktober 2025 - 13:00 WIB

Dari Verbal ke Visual

15 Oktober 2025 - 11:00 WIB

Foto oleh Asief Abdi/Sivitas Kothèka

Frau dan Sesudahnya

8 Oktober 2025 - 18:00 WIB

Banyak dibaca di Kritik Seni